Babak penentu lelang frekuensi 1,4 GHz

Lelang frekuensi 1,4 GHz resmi memasuki tahap e-Auction pada Senin, 13 Oktober 2025.

Tiga peserta yang lolos seleksi administrasi, PT Telkom Indonesia Tbk (Telkom), PT Eka Mas Republik (MyRepublic), dan PT Telemedia Komunikasi Pratama (anak usaha Surge/WiFi), bersaing memperebutkan pita frekuensi yang akan menjadi salah satu tulang punggung layanan broadband di Indonesia.

Kompetisi ini menarik karena mencerminkan tiga model bisnis berbeda. Telkom adalah pemain mapan dengan infrastruktur nasional dan sumber daya finansial besar.

MyRepublic mewakili operator fixed broadband yang berupaya memperluas jangkauan melalui jaringan nirkabel.

Sementara Surge/WiFi datang sebagai pendatang baru yang mencoba menawarkan model berbasis komunitas dan biaya rendah.

Namun di balik semangat kompetisi ini, para peserta dihadapkan pada satu persoalan yang sama yakni harga dasar lelang yang terlalu tinggi.

Harga Dasar
Pada lelang 2,1 GHz tahun 2021, pemerintah menetapkan nilai hak penggunaan frekuensi 10 MHz selama 10 tahun senilai Rp2,93 triliun, setara Rp29,3 miliar per MHz per tahun.

Jika patokan ini kembali digunakan di lelang 1,4 GHz, maka pemenang harus mengeluarkan sedikitnya Rp3 triliun hanya untuk hak penggunaan frekuensi, belum termasuk biaya jaringan, tower, dan backhaul.

Sebagai perbandingan, di Singapura harga lisensi 10 MHz untuk 15 tahun hanya sekitar Rp511 miliar, atau Rp3,4 miliar per MHz per tahun. Artinya, operator Indonesia menanggung beban hampir sembilan kali lipat lebih besar.

Jika biaya frekuensi sebesar itu dibagi rata ke 200 juta pelanggan seluler nasional, tambahan beban operasional bisa mencapai Rp10.00015.000 per pelanggan per bulan, angka yang jelas bertentangan dengan ambisi pemerintah menghadirkan paket internet murah Rp100.000 per bulan.

Kuburan Operator
Indonesia sebenarnya pernah mengalami fase serupa. Pada 2010-an, pemerintah membuka izin Broadband Wireless Access (BWA) dengan memanfaatkan pita frekuensi 2,3 GHz dan 3,3 GHz. Harapannya waktu itu sama yakni menghadirkan kompetisi baru dan memperluas akses internet.

Namun hasilnya jauh dari harapan. Operator seperti Bolt akhirnya tumbang karena dua hal yakni harga frekuensi yang mahal dan pita yang tidak umum secara global. Ekosistem perangkat terbatas, biaya perangkat pelanggan tinggi, dan investasi jaringan tak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh.

Kisah itu penting diingat karena pita 1,4 GHz juga tergolong non-prime band alias tidak sepopuler 1,8 atau 2,6 GHz yang digunakan secara luas untuk 4G/5G di pasar global.

Tanpa dukungan ekosistem perangkat yang masif dan kebijakan harga yang realistis, lelang frekuensi ini berpotensi mengulang sejarah yang sama yakni hanya menarik di atas kertas, tapi sulit berkelanjutan secara ekonomi.

Skenario
Jika pemenang lelang adalah operator eksisting seperti Telkom, beban investasi bisa diserap oleh basis pelanggan yang sudah ada. Tambahan biaya Rp3 triliun mungkin hanya menambah Rp20.000 per pelanggan per tahun atau sekitar Rp2.000 per bulan. Namun efek jangka panjangnya tetap terasa yaitu operator cenderung menunda ekspansi jaringan ke wilayah non-komersial karena margin makin tipis.

Sebaliknya, jika pemenang adalah pendatang baru seperti Surge/WiFi atau MyRepublic, tantangannya jauh lebih besar. Mereka tidak memiliki basis pelanggan besar untuk menyerap biaya. Untuk bersaing, mereka harus membangun 5.000 BTS baru di tahun pertama. Dengan biaya rata-rata Rp1 miliar per BTS, total investasi mencapai Rp5 triliun. Ditambah lisensi Rp3 triliun, kebutuhan modal awal bisa tembus Rp8 triliun.

Kombinasi harga frekuensi mahal dan infrastruktur padat modal membuat peluang masuknya pemain baru semakin kecil. Padahal, kompetisi baru semestinya menjadi cara menekan tarif dan memperluas akses internet cepat.

Pelajaran
Negara tetangga Singapura menunjukkan pola kebijakan berbeda. Pemerintahnya menurunkan harga lisensi agar operator bisa mengalihkan lebih banyak modal ke pembangunan jaringan dan peningkatan kapasitas. Dengan biaya spektrum yang hanya sekitar Rp3,4 miliar per MHz per tahun, operator di sana bisa berinvestasi lebih agresif pada teknologi dan layanan pelanggan.

Hasilnya terlihat jelas yakni kualitas broadband di Singapura menjadi salah satu terbaik di dunia, dan biaya akses tetap kompetitif. Pendekatan ini berangkat dari pandangan bahwa frekuensi bukan sumber kas jangka pendek, tetapi fondasi ekonomi digital jangka panjang.

Belum Berubah
Di Indonesia, pendekatan itu belum bergeser. Frekuensi masih dipandang terutama sebagai sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), bukan sebagai instrumen strategis untuk mempercepat transformasi digital.

Pertanyaannya kini sederhana, apakah pemerintah ingin lelang 1,4 GHz ini sekadar menghasilkan angka besar di APBN, atau benar-benar memperluas jangkauan internet ke seluruh pelosok?

Sebab, setiap rupiah yang dikorbankan untuk menurunkan biaya spektrum bisa kembali berlipat ganda lewat efek ekonomi digital, dari tumbuhnya startup, transaksi eCommerce, hingga inklusi digital di daerah tertinggal.

Selama paradigma itu tidak berubah, setiap lelang frekuensi akan selalu berhenti di angka PNBP, bukan di visi besar bagaimana internet bisa menjadi lokomotif ekonomi digital Indonesia.

Babak Penentu
Tahap e-Auction yang berlangsung mulai 13 Oktober 2025 ini menjadi babak akhir sebelum pemerintah mengumumkan pemenang lelang frekuensi 1,4 GHz dalam waktu dekat.

Siapa pun yang keluar sebagai pemenang akan menentukan arah kompetisi broadband nasional beberapa tahun ke depan.

Hasil lelang kali ini akan menjadi ujian bagi Kementerian Komunikasi dan Digital, mampukah menyeimbangkan antara penerimaan negara dan percepatan transformasi digital Indonesia.

@IndoTelko