Entah apa yang ada di pikiran Brenton Tarrant. Pria yang dikenal sebagai seorang pelatih kebugaran dari pedesaan di Australia itu menebar aksi teror yang tak akan bisa dilupakan umat manusia di muka bumi hingga puluhan tahun mendatang.
Bak permainan game online, pada Jumat (15/3), Tarrant merekam aksi kejamnya membantai jemaah di Masjid Al Noor dan Linwood, kota Christchuch, Selandia Baru melalui kamera yang terpasang di kepalanya.
Tarrant ditangkap sekitar 36 menit usai laporan aksi teror diterima polisi Selandia Baru pada Jumat (15/3) waktu setempat.
Jika tak tertangkap, besar kemungkinan Tarrant masih akan melanjutkan aksi kejinya.
Korban tewas sejauh ini dilaporkan mencapai sedikitnya 49 orang, dengan rincian 41 orang tewas di Masjid Al Noor, tujuh orang tewas di Masjid Linwood dan satu orang tewas di Rumah Sakit Christchurch.
Sedangkan korban luka mencapai 48 orang, namun hanya 39 orang yang masih dirawat di rumah sakit dengan 11 orang di antaranya menjalani perawatan intensif.
Kepolisian Selandia Baru mengatakan sejauh ini ada empat orang yang diduga terlibat dalam serangan massal di dua masjid kota Christchuch diyakini memiliki pandangan ekstrem.
Empat orang yang ditangkap tidak lama setelah serangan pada Jumat (15/03) terdiri dari tiga laki-laki dan seorang perempuan. Salah seorang di antara mereka kemudian dibebaskan.
Manfaatkan Medsos
Hal yang membuat miris adalah dalam menebar aksi terornya, pelaku memanfaatkan media sosial (Medsos) untuk menyampaikan pesannya.
Ia merekam aksinya dengan kamera yang dipasang pada bagian kepala dan menyebarkannya lewat layanan streaming atau siaran langsung di Facebook.
Facebook mengatakan telah menutup akun Facebook dan Instagram pelaku dan berusaha untuk mencabut semua rekaman yang telah beredar di platform media sosialnya.
Dalam manifesto 74 halaman yang diunggah ke medsos, pelaku mengaku mulai mempertimbangkan serangan pada April dan Mei 2017 saat bepergian ke Prancis dan tempat lain di Eropa Barat.
Dia mengaku terkejut dengan invasi imigran di kota-kota di Prancis. Selain itu dia juga merasa putus asa saat melihat pemilihan Presiden Prancis karena melihat sentris pro-Eropa Emmanuel Macron.
Tarrant menggambarkan diri sebagai orang kulit putih biasa yang lahir di Australia dari kelas pekerja, dan lahir dari keluarga berpenghasilan rendah.
Ayahnya meninggal karena kanker pada 2010. Tarrant punya ibu dan saudara perempuan yang tinggal di Grafton.
Manifestonya mengatakan bahwa dia mengambil inspirasinya dari para ekstremis sayap kanan lainnya, termasuk pembunuh rasis Norwegia Anders Behring Breivik. Sosok tersebut pernah membunuh 77 orang di Norwegia pada 2011 karena kebenciannya terhadap multikulturalisme.
Tarrant juga menggambarkan Oswald Mosley, tokoh pemimpin fasis dan anti-Semit Inggris sebagai orang dari sejarah
Pemerintah Selandia Baru menjerat Tarrant dengan dakwaan pembunuhan atas tindakan biadabnya.
Di Indonesia, hingga sekarang, video rekaman dari aksi Tarrant masih beredar melalui aplikasi perpesanan.
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengaku telah mengerahkan kekuatan mesin pengais (Mesin Ais) konten untuk memantau peredaran video penembakan itu.
Kabarnya lebih dari 500 posting konten yang ditapis dari berbagai platform oleh Kominfo terkait aksi pembantaian itu.
Kominfo mengingatkan konten video yang mengandung aksi kekerasan merupakan konten yang melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sebenarnya, tanpa menggunakan UU ITE pun, dengan alasan kemanusiaan, cukup sudah video rekaman pembantaiaan itu beredar di tangan Anda (jika menerimanya). Menyebarkannya, sama saja Anda bagian dari terorisme!
@IndoTelko