Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum lama ini mengidentifikasi 62 konten hoaks yang tersebar di internet dan media sosial berkaitan dengan pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres).
Konten bisa terungkap berkat hasil penelusuran menggunakan mesin AIS oleh Sub Direktorat Pengendalian Konten Internet Direktorat Pengendalian Ditjen Aplikasi Informatika.
Jumlah konten hoaks terbanyak ditemukan pada bulan Desember 2108, yakni sebanyak 18 konten hoaks.
Sebelumnya, Kominfo juga mengumumkan 10 konten Hoaks paling berdampak pada tahun 2018.
Konten Hoaks penganiayaan terhadap tokoh politik Ratna Sarumpaet menempati urutan pertama dari 10 konten hoaks yang paling berdampak pada tahun 2018.
Sedangkan pada 62 konten hoaks yang berbau politik terkait Pemilu 2019 terlihat berdampak terhadap dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlibat kontestasi.
Penyebaran hoaks di media sosial sepertinya telah menjadi bagian dari permainan politik di Indonesia layaknya yang terjadi di Amerika Serikat atau Brazil.
Beberapa konten hoaks yang tercatat diantaranya konten Dian Sastro dengan tagar ganti presiden, Voting Online KPU, Cina minta Jokowi jual pulau Jawa dan Sumatra, Banser resmi dukung Prabowo Sandi, Survei kemenangan Prabowo, Putusan gugatan MK pada Pilkada Kab. Sampang, Pernyataan Sandiaga tidak yakin Indonesia raih juara di Asian Games 2018, Dukungan KH. Said Aqil terhadap paslon Prabowo Sandiaga, Badai pasir terjadi karena spanduk #2019gantipresiden, Statement Sri Mulyani tantang pembenci Jokowi, dan lainnya.
Konten Hoaks terbaru terkait politik di awal 2019 tentunya isu tujuh kontainer berisi jutaan surat suara yang sudah tercoblos dari Tiongkok.
Aparat penegak hukum pun bergerak cepat untuk mengusut isu tujuh kontainer surat suara ini dengan telah menangkap dan menetapkan dua tersangka sebagai penyebar konten hoaks.
Gerakan cepat memberantas hoaks ini wajar diperlukan di tengah fenomena post-truth society yang menghinggapi dunia maya di Indonesia.
Post-truth menunjukkan suatu keadaan di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini.
Fakta-fakta bersaing dengan hoaks dan kebohongan untuk dipercaya publik. Keriuhan orang untuk bersaing mengklaim kebenaran menjadikan fakta dan data kabur.
Setiap orang merasa dirinya (pasti) benar dan orang lain (pasti) salah. Setiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versinya, sesuai kepentingannya, dan meniadakan fakta. Opini dan tafsir terhadap fakta disemburkan untuk mengaburkan kenyataan.
Jika hoaks dibiarkan merajalela, maka legitimasi dari pemilu 2019 bisa luntur dan membuat kehidupan demokrasi menjadi terancam.
Lantas bagaimana cara efektif melawan hoaks di tahun politik ini?
Pertama, tentu dari pengguna di media sosial yang harus terus meningkatkan literasi dan sering melakukan verifikasi terhadap informasi yang diterima sebelum dibaginya.
Mengadopsi cara kerja jurnalistik adalah hal yang baik bagi setiap netizen ketika menerima atau ingin memproduksi informasi. Kuncinya adalah verifikasi, verifikasi, dan verifikasi.
Kedua, dari sisi pemerintah terutama Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) harus bisa melakukan pencegahan bukan menginformasikan sebuah isu setelah menjadi kontroversial.
Hoaks muncul biasanya karena kurang lengkap atau tak cepatnya respons dari pemerintah terhadap sebuah isu yang meresahkan masyarakat.
Salah satu tugas Kominfo sebagai Government Public Relations (GPR) harus lebih digenjot untuk mencegah sebuah hoaks muncul, bukan hanya sibuk menangkal.
Kominfo juga harus lebih mengoptimalkan kinerja dari MesinAis yang sudah menelan dana ratusan miliar rupiah untuk menjaga dunia maya dari sebaran konten hoaks.
Janji-janji manis tentang MesinAis yang diibaratkan seperti "Silver Bullet" kala pengadaannya dibuat harus dibuktikan.
Jika dilihat dalam setahun terakhir, kinerja MesinAis malah lebih banyak terbantu dengan adanya aduan dari masyarakat terhadap sebuah konten Hoaks, bukan hasil olahan dari kecerdasan buatan yang "katanya" dimiliki oleh alat tersebut.
Berikutnya, pemilik platform media sosial harus diminta pertanggungjawabannya terhadap penyebaran konten hoaks.
Terakhir, penegakkan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu agar tingkat kepercayaan publik terhadap putusan pemerintah bisa dipercaya.
@IndoTelko