Kabar besar datang dari Amerika Serikat. Pada 8 September 2025, SpaceX resmi mengumumkan akuisisi perusahaan satelit EchoStar dengan nilai fantastis mencapai US$17 miliar.
Di balik angka itu, tersimpan kepentingan yang jauh lebih strategis: penguasaan spektrum AWS-4 (20002020 MHz dan 21802200 MHz) serta H-block (19151920 MHz dan 19952000 MHz).
Kedua pita frekuensi tersebut sejak lama menjadi incaran industri telekomunikasi karena posisinya yang krusial untuk layanan seluler berbasis satelit. Saat ini, transaksi akuisisi itu masih menunggu persetujuan dari Federal Communications Commission (FCC), regulator telekomunikasi di Amerika Serikat.
Jika restu FCC diperoleh, maka SpaceX melalui Starlink akan memiliki sumber daya spektrum yang sangat menentukan. Dengan tambahan ini, mereka bukan hanya memperluas kapasitas layanan internet satelit konvensional, melainkan juga membuka jalan menuju direct-to-cell connectivity, yaitu kemampuan satelit untuk langsung berkomunikasi dengan ponsel pintar pengguna tanpa perlu infrastruktur menara BTS di darat. I
nilah yang membuat akuisisi EchoStar menjadi lebih dari sekadar manuver bisnis, tetapi langkah strategis untuk mengubah wajah industri telekomunikasi global.
Arti Spektrum
Spektrum adalah “bahan bakar” dari layanan telekomunikasi. Setiap pita frekuensi memiliki karakteristik teknis yang menentukan jangkauan, kapasitas, dan kecepatan layanan. AWS-4 dan H-block sendiri awalnya dirancang untuk layanan seluler berbasis satelit, namun belakangan dipandang ideal untuk mendukung ekosistem non-terrestrial network (NTN) yang menjadi bagian dari standar 5G dan 6G.
Dengan menguasai spektrum ini, Starlink tidak lagi hanya bertumpu pada kapasitas satelit LEO yang beredar di orbit. Mereka bisa meningkatkan throughput hingga puluhan kali lipat, mengurangi latensi, sekaligus memperluas integrasi layanan dengan perangkat ponsel yang sudah ada di tangan konsumen. Bagi SpaceX, langkah ini seperti menyatukan dua kekuatan yakni satelit global dan aksesibilitas seluler massal.
Implikasinya sangat besar. Operator telekomunikasi tradisional yang selama ini mengandalkan menara dan jaringan fiber bisa menghadapi kompetitor baru yang beroperasi tanpa batas teritorial. Saham perusahaan raksasa seperti AT&T, Verizon, dan T-Mobile sudah menunjukkan koreksi pasca pengumuman akuisisi ini, mencerminkan kekhawatiran pasar akan dominasi baru yang mungkin terbentuk.
Starlink saat ini mengoperasikan lebih dari 6.000 satelit LEO dan melayani puluhan negara. Dengan tambahan spektrum baru, mereka berencana memperluas konstelasi hingga 600 satelit lagi yang didesain khusus untuk layanan direct-to-cell. Proyeksinya, throughput satelit bisa meningkat hingga 20 kali lipat dibandingkan generasi saat ini. Artinya, Starlink bukan hanya memperbaiki layanan broadband satelit, tetapi juga merintis model bisnis baru: layanan seluler global.
Model ini punya daya tarik luar biasa. Bayangkan seorang pengguna ponsel di daerah terpencil, di hutan, laut, atau gunung, tetap bisa menerima sinyal tanpa perlu menara BTS. Lebih jauh lagi, layanan ini tidak memerlukan kerja sama roaming dengan operator lokal. Semua lalu lintas data bisa langsung terkoneksi melalui satelit Starlink. Dari sisi konsumen, ini adalah kemudahan yang revolusioner. Namun dari sisi industri dan regulator, inilah awal dari tantangan besar.
Menatap Indonesia
Fenomena global ini tidak bisa dipisahkan dari situasi di Indonesia. Beberapa minggu terakhir, Starlink kembali agresif berjualan di tanah air. Setelah sempat menutup pendaftaran pelanggan baru karena kapasitas penuh, kini mereka membuka kembali akses dengan menawarkan paket residensial sekitar Rp 479 ribu per bulan dan paket jelajah hingga Rp 1,6 juta per bulan.
Langkah ini langsung menuai sorotan. Regulator Indonesia menegaskan bahwa perangkat jelajah tidak boleh digunakan secara bergerak di darat, kecuali untuk kapal laut dalam durasi terbatas. Jika aturan ini dilanggar, pemerintah bahkan mengancam akan mencabut hak labuh (landing rights) Starlink di Indonesia. Sikap tegas ini penting, karena praktik di lapangan bisa dengan cepat melewati batas yang diperbolehkan.
Di sisi lain, Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyuarakan kekhawatiran bahwa paket jelajah bisa menciptakan kompetisi tidak sehat dengan operator seluler nasional.
Jika dikaitkan dengan akuisisi EchoStar dan potensi layanan direct-to-cell, maka kekhawatiran ini semakin relevan. Begitu spektrum baru dikuasai dan teknologi direct-to-cell diaktifkan, Starlink bisa menjual layanan seluler langsung ke ponsel pengguna Indonesia, tanpa harus bekerja sama dengan operator lokal. Skenario ini jelas akan mengancam struktur industri telekomunikasi nasional, mulai dari potensi turunnya pendapatan operator hingga terganggunya model bisnis investasi jaringan.
Kedaulatan Digital
Masalah lain yang tidak kalah serius adalah kedaulatan digital. Layanan direct-to-cell memungkinkan data pengguna Indonesia mengalir langsung ke satelit asing tanpa melewati infrastruktur nasional. Artinya, mekanisme pengawasan, kewajiban penyimpanan data lokal, hingga akses aparat penegak hukum terhadap data bisa terhambat.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, isu ini menyentuh jantung kedaulatan digital. Kita tentu ingin masyarakat mendapatkan akses internet berkualitas, tetapi tidak dengan mengorbankan kontrol negara atas data warganya. Apalagi, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada platform global kerap menimbulkan asimetri kekuatan: konsumen diuntungkan, tetapi negara kehilangan kendali.
Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap fenomena ini. Menolak Starlink sepenuhnya bukan pilihan realistis, karena kebutuhan masyarakat akan internet cepat di daerah 3T sangat besar. Namun membiarkan Starlink beroperasi bebas juga sama berbahayanya. Indonesia perlu regulasi progresif yang menyeimbangkan kebutuhan akses dengan kepentingan nasional.
Pemerintah perlu menyusun kerangka regulasi khusus untuk layanan direct-to-cell. Aturan ini harus jelas soal kewajiban spektrum, sertifikasi perangkat, serta batasan penggunaan layanan. Jangan sampai layanan asing masuk dengan memanfaatkan celah regulasi yang belum diatur.
Selain itu, pemerintah dapat mewajibkan adanya kemitraan lokal. Starlink, misalnya, bisa diwajibkan bekerja sama dengan operator nasional untuk mendistribusikan layanan direct-to-cell, sehingga ada aliran manfaat bagi industri dalam negeri. Skema berbagi pendapatan atau pemanfaatan infrastruktur ground station lokal bisa menjadi opsi yang adil.
Aspek perlindungan data juga harus diperkuat. Layanan satelit asing yang menjual akses langsung ke konsumen wajib tunduk pada aturan penyimpanan data di Indonesia. Tanpa itu, kedaulatan digital akan sulit dijaga. Pemerintah juga dapat memberikan insentif agar layanan satelit benar-benar fokus ke daerah 3T, sesuai mandat pemerataan akses digital. Dengan begitu, Starlink tidak hanya menjadi pesaing operator di kota, tetapi juga partner dalam menutup kesenjangan digital.
Akuisisi EchoStar oleh SpaceX adalah sinyal keras bahwa peta persaingan global sedang berubah cepat. Teknologi direct-to-cell akan hadir lebih cepat dari perkiraan, dan Indonesia harus menyiapkan diri sejak sekarang. Jangan sampai kita hanya jadi penonton, sementara kendali penuh ada di tangan korporasi global.
Pada akhirnya, pertanyaan terbesar bagi Indonesia bukan sekadar apakah Starlink akan masuk atau tidak, karena faktanya mereka sudah hadir. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mengatur dan mengendalikan kehadirannya. Tanpa regulasi yang tegas dan visi yang jelas, Indonesia hanya akan menjadi pasar empuk bagi pemain global, sementara nilai tambah dan kendali tetap lari ke luar negeri.
@IndoTelko