JAKARTA (IndoTelko) - Sebagai produsen kendaraan dan persenjataan militer nasional, PT Pindad (Persero) dituntut untuk dapat memastikan seluruh data maupun proses produksinya tersimpan dengan aman. Jika tidak, maka hal tersebut berpotensi mengganggu keamanan negara mengingat tingginya serangan siber yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Direktur Utama Pindad, Abraham Mose mencatat adanya lonjakan serangan siber selama hampir 10 tahun terakhir ke Indonesia.
“Jumlah serangannya meningkat drastis. Data tim Cyber Pindad menyebutkan pada 2009 hanya ada 12,4 juta serangan malware ke Indonesia. Di 2018 angkanya melonjak jadi 812,67 juta serangan. Artinya dalam 1 dekade terjadi peningkatan 67 kali lipat,” kata Abraham saat ditemui IndoTelko di ruang kerjanya, Rabu (2/9) lalu.
Mengutip data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Abraham menyebutkan jenis serangan siber yang terjadi sebanyak 14,3% merupakan web defacement, 9,5% merupakan serangan malware, 4,8% serangan phising, dan 62,9% merupakan kerentanan dari sistem aplikasi ataupun website pemerintah terutama pada pemerintah daerah.
Pemicu masifnya serangan siber ke Indonesia menurut Abraham karena tingginya penggunaan perangkat elektronik dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, jumlah pengguna ponsel pintar di Indonesia mencapai 338,2 juta unit. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272,1 juta jiwa, berarti 24% jumlah penduduk memiliki 2 ponsel atau lebih.
“Apalagi di masa pandemi ini, kita dihimbau untuk berkegiatan di rumah. Sehingga frekuensi pemanfaatan internet lewat ponsel dipastikan meningkat, berbarengan dengan potensi serangan siber tadi,” jelasnya.
Dalam mendukung ketahanan dan keamanan cyber Indonesia, Pindad menurutnya berupaya melakukan kerjasama dengan instansi pertahanan dan keamanan baik dari segi kerjasama teknologi maupun kerjasama dalam peningkatan kualitas SDM.
“Karena banyak software dan aplikasi yang kita gunakan itu dari luar negeri. Setiap software dan aplikasi pasti ada backdoor nya. Kalau kita tidak menguasai cara penggunaannya dengan aman, maka data kita rentan dicuri. Padahal data-data dan dokumen di Pindad sangat sensitif sekali,” ujar mantan Direktur Utama PT LEN Industri itu.
Pemanfaatan IoT
Terkait program revolusi industri 4.0 yang dicanangkan pemerintah, Abraham mengaku Pindad tengah melakukan migrasi proses produksi dari yang sebelumnya konvensional ke digital atau otomatisasi.
Pemegang gelar Magister Manajemen dari Universitas Padjajaran Bandung ini mencontohkan, Pindad menerapkan production monitoring system berbasis Internet of Thing (IoT) pada lini produksi senjata dan ScaDA di lini amunisi.
“Di setiap kotak komponen senjata sudah ada barcodenya. Di dalamnya ada komponen senjata apa saja, berapa yang rusak dan berapa yang baik. Kotak pindah kemana, sampai dia jadi satu senjata. Kemudian dia digunakan oleh siapa, berpindah tangan kemana. Semua terdata,” kata Abraham.
Sementara sistem ScaDA di lini munisi mencatat semua proses produksi mulai dari perhitungan kebutuhan bahan baku, jumlah peluru yang diproduksi, sampai ratio reject rate.
“Dari data-data itu ketahuan berapa reject rate kita, sehingga diputuskan mesin yang lama harus diganti. Tidak sampai disitu, Pindad juga mendata pengiriman munisi ke TNI, Polri, dan Perbakin,” katanya.
Pemanfaatan IoT dan sistem ScaDA menurut Abraham akan membantu perseroan mengejar peningkatan target produksi munisi sesuai permintaan konsumen.
“Sampai 2024 nanti, Kementerian Pertahanan sudah memesan 4 miliar butir peluru ke Pindad. Artinya 1 miliar peluru per tahun harus kami sediakan. Sementara kapasitas produksi kami saat ini 300 juta butir, jadi ada 700 juta butir gap yang harus kami kejar. Caranya ya dengan mendatangkan mesin baru yang sudah computerized, sehingga reject rate bisa ditekan,” jelasnya.
Abraham mengaku Pindad telah mengalokasikan belanja modal Rp 20 miliar sampai Rp 40 miliar guna mendigitalisasikan lini produksi di perusahaan. Termasuk untuk mendidik pegawai yang menjadi operator dan teknisi mesin-mesin tersebut.
“Kendala kita selain dari issue SDM yang berkaitan dengan kompetensi teknis adalah issue kemandirian teknologi microprocessor. Dari segi kompetensi SDM, kita bicara kemampuan teknisi untuk menggunakan mesin yang mutakhir sedangkan ketergantungan Indonesia dalam memperoleh microprocessor dari luar negeri bicara tentang potensi ancaman dari negara produsen teknologi microprocessor yang berkaitan dengan kerahasiaan.” pungkasnya.(GPJ)