telkomsel halo

Kolom Opini

Regulasi OTT dan kedaulatan nasional

11:33:48 | 10 Aug 2020
Regulasi OTT dan kedaulatan nasional
Direktur Wholesale and International Services Telkom, Dian Rachmawan
Konten, aplikasi, dan layanan Internet berkembang pesat, memberikan manfaat yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada masyarakat di belahan dunia manapun sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mendukung arus informasi yang bebas. 

“Over The Top” (OTT), istilah yang lebih umum digunakan oleh Regulator dan Operator Telekomunikasi, menjadi topik pembicaraan di semua negara mengingat disrupsi OTT yang menerjang sendi-sendi kedaulatan negara di bidang ekonomi, sosial dan budaya secara cepat dan masif. 

Dua kutub sudah terpolarisasi antara yang menyarankan agar penyedia OTT tunduk pada lisensi dan kewajiban peraturan yang serupa dengan yang dikenakan pada pelaku/pemain tradisional, dengan yang berpendapat bahwa pendekatan seperti itu akan memiliki konsekuensi negatif yang tidak diinginkan pada ekosistem Internet yang lebih luas, termasuk pada pengembangan teknologi masa depan.

OTT adalah elemen penting — dan akan semakin penting — dari rantai nilai broadband. 

Inovasi dalam OTT telah menghasilkan layanan Internet yang kaya dan beragam, dan telah mendorong permintaan konsumen untuk akses Internet broadband, yang pada gilirannya merupakan pendorong utama bagi operator jaringan untuk meningkatkan dan memperluas jaringan mereka. 

Prinsip argumen yang meminta regulasi OTT segera dibuat adalah kenyataan bahwa OTT sama sekali tidak pernah membayar ongkos infrastruktur dan bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator yaitu voice dan messaging, sementara pertumbuhan pendapatan dari kenaikan berlangganan data payload selular dan apalagi jaringan tetap yang tidak mengenal terminologi payload- secara offset tidak mampu mencukupi penurunan pendapatan utama voice dan messaging.

Bagaimana operator jaringan dituntut terus melakukan investasi jaringan untuk membuka akses wilayah yang begitu luas dengan ketidakmerataan infrastruktur seperti wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.

Argumen untuk mendukung regulasi OTT adalah bahwa regulasi saat ini asimetris - sementara operator jaringan sering kali diatur secara ketat, pesaing digital besar ini tidak memiliki kewajiban regulasi apapun. 

Dikarenakan sifatnya yang sangat cair dan global maka OTT menikmati keuntungan yang luar-biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), Pajak dan Universal Service Obligation (USO).

Saat ini ketimpangan posisi tawar operator jaringan Indonesia dengan OTT (seluruhnya adalah pemain global, bukan Indonesia) sangatlah kontras. 

Sebagai contoh: Telkom, Telkomsel dan operator lainnya dalam memberikan kepastian layanan akses yang cepat dengan latensi rendah kepada para pengguna internet terpaksa memberikan fasilitas penempatan server/kolokasi gratis sampai ke ujung (edge) kepada Facebook dan Google. Operator jaringan – bukan OTT –yang harus berhadapan langsung dengan komplain pelanggannya manakala akses internet mengalami hambatan.

Sektor periklanan (advertisement) juga sudah tersapu oleh duopoli OTT Google dan Facebook. Para agensi publisher dan advertiser mulai gulung tikar, satu demi satu iklan di media cetak, TV, elektronik, Videotron di jembatan penyeberangan; gedung; dan di jalan-jalan mulai kosong- semuanya beralih ke mesin iklan digital yang sangat pintar memilih dan menyodorkan iklan yang tepat sesuai profil individu pengguna Internet. 

Di tahun 2019 lalu, Google membukukan keuntungan bersih dari bisnis iklan-nya sebesar Rp1.500 triliun sementara pasangan duopolinya yaitu Facebook meraup Rp1.000 triliun.

Absennya akuntabilitas dan regulasi ini tidak terbatas pada telekomunikasi, tetapi meluas ke sektor yang lain mulai dari Grab, Airbnb, dan Netflix.Penyedia OTT saat ini tidak perlu tunduk pada kewajiban yang sama seperti operator lokal di negara berdaulat.

Di beberapa negara setiap upaya untuk memberlakukan peraturan tambahan pada OTT selalu dikabarkan mendapatkan tentangan yang lumayan berat. 

Lobby-lobby para OTT sering mengatakan peraturan atau regulasi baru akan dapat menghambat inovasi, karena berbagai layanan Internet dan perusahaan konten beragam dan cepat berubah, dibandingkan dengan rejim peraturan yang sering lambat bereaksi dan beradaptasi, serta statis dalam menghadapi kemajuan teknologi pesat. 

Hal ini terutama berlaku untuk teknologi masa depan yang belum ada saat ini; karena mereka akan tunduk pada model peraturan kuno yang mungkin tidak sesuai atau tidak masuk akal secara ekonomi atau peraturan. Konsekuensi negatif yang tidak diinginkan dapat menyebabkan ketidakpastian bisnis sebagai akibat dari aturan yang ambigu atau salah diterapkan.

Di banyak kasus persaingan usaha sektor telekomunikasi, kita masih rajin berkutat pada masalah seperti penyalahgunaan kekuatan pasar yang signifikan (significant market power/SMP) oleh operator dominan atau penetapan harga akses broadband yang tidak efisien ketimbang ancaman serius atas kedaulatan nasional yang ditimbulkan oleh OTT.

Indonesia memang tidak mungkin memilih cara dengan memblokir beberapa layanan OTT, karena praktik ini dapat merusak tujuan regulasi utama seperti pilihan konsumen dan inovasi.

Namun pada saat yang sama, adalah sah bagi Pemerintah untuk melakukan intervensi baik secara langsung atau melalui regulator di mana kedaulatan nasional, (ekonomi, sosial atau budaya), dianggap berisiko. 

Di beberapa pemerintah negara lain sedang mempertimbangkan atau memberlakukan pajak atas pendapatan yang diperoleh dan dieksploitasi oleh OTT.

Regulasi juga diperlukan untuk memaksa OTT bekerjasama dengan operator jaringan untuk manfaat ekonomi negara yang lebih luas.(*)

Ditulis oleh Dian Rachmawan, Direktur Wholesale and International Services Telkom

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year