telkomsel halo

Operator keluhkan rancangan aturan jaringan utilitas di daerah

12:30:52 | 30 Jul 2020
Operator keluhkan rancangan aturan jaringan utilitas di daerah
JAKARTA (IndoTelko) - Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) mengeluhkan rancangan Perubahan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Jaringan Utilitas yang dinilai membuat ekonomi biaya tinggi.  

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Muhammad Arif mengungkapkan regulasi yang tak mendukung ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Pemerintah Kota Surabaya beberapa waktu yang lalu juga membuat regulasi serupa yang dinilai berpotensi memberikan beban tambahan kepada operator telekomunikasi.

Alhasil, pada akhir tahun 2019 APJATEL melakukan Judicial review ke Mahkamah Agung dengan no pendaftaran 13P/HUM/2020 tanggal 6 Januari 2020 untuk meninjau PerMendagri 19 tahun 2016.

Gugatan tersebut dilayangkan APJATEL dikarenakan banyak multitafsir mengenai hak dan harga sewa lahan di badan jalan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, tidak terdapat keseragaman perhitungan yang diserahkan sepenuhnya ke pemerintah daerah.

“APJATEL menyayangkan ketika internet sudah merupakan kebutuhan dasar dari masyarakat dijadikan obyek pendapatan oleh pemerintah daerah. Tentu ini kontradiktif dengan semangat “Making Indonesia 4.0” yang didengungkan Bapak Presiden,”ujar Arif.

APJATEL menilai masih belum maksimalnya harmonisasi regulasi untuk sektor telekomunikasi antar pemerintah pusat dan daerah ditunjukkan dengan Dinas Kominfo dan DISPENDA tidak menjalin komunikasi dengan Kemenkominfo.

Buktinya adalah izin penyelenggaraan yang dikeluarkan Kemenkominfo tidak menjadi tolak ukur saat penyedia jaringan telekomunikasi ingin melakukan pengurusan izin di daerah. Padahal di masa pandemik, kebutuhan akan bandwidth sangat vital, sebab masyarakat bekerja atau belajar dari rumah.

“APJATEL memandang jika Indonesia ingin segera menjadi Negara yang terdepan dalam industri digital 4.0, tentunya masalah infrastruktur ini harus segera mendapatkan solusinya. Seharusnya penggelaran jaringan kabel fiber optic mendapatkan pengecualian. Sama seperti layanan listrik dan air yang sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Sebenarnya pemerintah ingin memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya atau tidak? Hal ini tentunya hanya bisa di jawab oleh pemerintah,”terang Arif.

Idealnya di negara maju, infrastruktur pasif sudah disediakan oleh pemerintah daerah. Tujuannya agar mengurangi kesemerawutan jaringan.

Namun di Indonesia, pemerintah daerah tak pernah membuat infrastruktur pasif. Operator telekomunikasi yang selama ini membangun infrastruktur pasif tersebut. Menurut Arif seharusnya pemerintah pusat atau daerah mendukung langkah tersebut. Bukan malah mempersulit dengan menggenakan sewa yang terlalu tinggi.

Disarankannya, pembuatan Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) dipergunakan untuk kepentingan umum, namun kenyataannya penggelolaannya diserahkan kepada BUMD. Karena pengelolaannya dilakukan oleh BUMD maka biaya yang dikenakan ke operator juga harga keekonomian.

Dicontohkannya di Kota Surabaya, pemerintah kota tanpa membangun SJUT tetap menggenakan tarif sewa lahan kepada operator telekomunikasi. Tentu saja ini sangat bertentangan dengan semangat membangun penetrasi broadband dan making Indonesia 4.0. 

Diingatkannya, jika Indonesia menginginkan terwujudnya e-government, smart city maupun e-learning, sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah memberikan karpet merah kepada operator.

Dengan tidak memberikan beban tambahan. ditambah dengan kemudahan dalam membuat perizinan di daerah, membuat operator telekomunikasi mendapatkan kepastian berinvestasi. Dengan kepastian tersebut operator juga dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat di Surabaya dan Jakarta.

Ditambahkannya akibat pandemik, beban operasional penyelenggara jaringan dan operator telekomunikasi mengalami peningkatan yang signifikan. Meski trafik data mengalami kenaikkan, namun saat ini banyak anggota APJATEL dan penyelenggara telekomonikasi mengalami tekanan. Beban operasional operator telekomunikasi seperti membayar bandwidth mengalami kenaikkan yang signifikan. Sementara harga layanan internet tak berubah.

“Pada masa PSBB kemarin mayoritas penyelenggara jaringan telekomunikasi terdampak. Work from home dan distance learning membuat sebagian besar operator penyelenggara jasa telekomunikasi menghentikan kegiatannya. Sebab sekolah dan tempat komersial berhenti beroperasi. Karena berhenti beroperasi penggunaan internet juga tak ada,”ujar Arif.

APJATEL berharap kepada pemerintah daerah yang mengatur penggunaan utilitas publik untuk tidak memperberat operator telekomunikasi yang tengah menghadapi masa sulit.

“Jika beban operasional kami mengalami kenaikan akibat regulasi, ujung-ujungnya masyarakat yang akan terkena dampaknya. Kami mengharapkan pemerintah pusat dapat segera turun membenahi regulasi yang ada di daerah,”pungkas Arif.

Dukunngan Regulator
Sementara itu, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Agung Harsoyo prihatin dengan rencana pemprov DKI Jakarta yang akan membuat Peraturan Daerah tentang jaringan utilitas.

Ia berharap agar perda tersebut tak memperberat beban operator dan penyedia jaringan telekomunikasi, yang ujungnya akan dibebankan pada konsumen.

"Akibat pandemik saat ini beban operasional penyelenggara jaringan dan operator telekomunikasi mengalami peningkatan yang signifikan. Meski trafik data mengalami kenaikan, namun saat ini banyak penyelenggara jaringan dan operator telekomunikasi mengalami tekanan. Beban operasional mereka seperti bandwidth dan penambahan kapasitas juga tinggi," terang Agung.

Agung berpendapat, prinsip infrastruktur seperti jalan, jaringan listrik, dan telekomunikasi itu menguasai hidup orang banyak. Jadi, menurutnya, pembangunan infrastruktur itu selayaknya dilakuukan oleh pemerintah melalui APBN atau APDB. Namun yang terjadi saat ini adalah pembangunan infrastruktur sarana telekomunikasi dilakukan oleh badan usaha, baik milik negara maupun badan usaha swasta.

"Pungutan berupa sewa, retribusi, ataupun pajak, sebaiknya tidak membebani operator telekomunikasi. Sebab industri infrastruktur turut membantu program pemerintah dalam membangun dan meningkatkan pendapatan baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga biaya sewa atau retribusi seharusnya tak membebani perekonomian nasional dan masyarakat," terang Agung.

Hasil kajian LPEM FE UI bersama Mastel menyimpulkan pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 5,5%. Dengan kenaikan jumlah pengguna telekomunikasi sebesar 1% akan meningkatkan PDB sebesar 0,055%.

Sementara itu yang tidak terkuantifikasi menurut Agung jumlahnya sangat besar. Terlebih lagi pada masa pandemi seperti saat ini. Kebutuhan akan layanan telekomunikasi sangat besar. Sehingga layanan telekomunikasi saat ini menjadi sangat vital.(wn)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year