Perang Dagang AS-Tiongkok berdampak pada bisnis di segala lini, terutama sejak AS memberlakukan tarif tambahan terhadap barang ekspor Tiongkok, yang mulai berlaku pada paruh kedua 2019.
Ketidakpastian dan risiko yang terus berlanjut terhadap sektor industri di Asia Tenggara menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat di beberapa negara termasuk Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Akibatnya, bisnis di wilayah ini harus berubah. Menghadapi keadaan dan risiko yang tak terduga dari perang Dagang AS-Tiongkok, operasi manufaktur di seluruh wilayah harus membuat keputusan yang cepat tentang bagaimana menerapkan operasi mereka.
Selain berfokus pada ekspansi regional dan global untuk mengurangi eksposur terhadap perang Dagang, bisnis di Asia Tenggara juga harus memeriksa kembali biaya operasional. Ketika Perang Dagang memanas, akan banyak biaya tak terlihat muncul.
Bagi UMKM yang membentuk mayoritas bisnis di ASEAN, dan menyumbang antara 30% – 53% untuk Produk Domestik Bruto (PDB) lokal, biaya adalah faktor penting dalam proses pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa mereka memiliki fleksibilitas dan sumber daya untuk merespon perubahan dalam lingkungan ekonomi yang sulit.
Dengan iklim bisnis global yang semakin kompetitif dan margin keuntungan yang menyusut, perusahaan-perusahaan besar di AS dan Eropa telah melakukan perubahan jauh sebelum Perang Dagang AS-Tiongkok terjadi, dan telah mulai mengadopsi strategi "Tiongkok plus satu" yang berfokus pada negara di Tenggara Asia sebagai alternatif, untuk mengurangi biaya meskipun Perang Dagang terus berlanjut. Dulu kita mungkin bisa mentoleransi tarif tambahan untuk layanan TI, tapi cara-cara lama sudah tidak berlaku lagi sekarang.
Misalnya, ketika Anda membeli mobil baru, Anda dapat memilih untuk membawanya ke bengkel terpercaya di lingkungan terdekat untuk merawat mobil Anda, atau pergi ke dealer asli. Dalam dunia layanan Enterprise Resource Planning (ERP), pilihan ini tidak tersedia.
Organisasi perusahaan diharuskan membayar biaya tahunan yang besar untuk maintenance di area bisnis yang sebagian besar dimonopoli, tetapi nilai yang diterima pelanggan tidak proporsional dengan biaya tahunan yang mereka keluarkan – ini sebuah kondisi yang tidak menguntungkan bagi bisnis.
Jika dibandingkan dengan 3 - 4 % keuntungan perusahaan yang dihasilkan dalam industri manufaktur, vendor ERP mungkin mengumpulkan keuntungan sebesar 90 persen. Biaya maintenance tahunan ini tidak harus dilihat sebagai anggaran yang sudah ditetapkan untuk biaya yang wajib dikeluarkan. Akibatnya, penyedia layanan pihak ketiga mulai bermunculan dan men-disrupsi model usaha yang sudah biasa dijalankan oleh vendor software.
Biaya
Ketika pelaku bisnis mulai menganalisa lebih jauh terhadap total biaya tambahan dan apa manfaat sebenarnya, secara tidak disadari jutaan dollar sudah dihabiskan setiap tahun akibat model pendukung vendor software yang sudah ketinggalan jaman.
Misalnya, produsen global dengan pendapatan tahunan melebihi US$4 miliar, membayar biaya layanan tahunan sebesar AS $1,4 juta untuk vendor software. Dengan layanan kami, perusahaan menghemat total AS US$2,5 juta setiap tahun untuk biaya maintenance, peningkatan dan layanan untuk item pesanan khusus serta sumber daya maintenance in-house.
Perusahaan juga memperoleh fleksibilitas untuk meningkatkan aplikasi jika hal itu baik untuk bisnis, dan bukan hanya berdasar pada kehendak vendor ERP. Vendor pihak ketiga juga mendukung penyesuaian perangkat lunak tanpa biaya tambahan dan tidak memerlukan penjatahan sumber daya tambahan.
Seorang CIO harus menentukan nilai sebenarnya yang mereka terima untuk vendor dan biaya maintenance, ketika mempertimbangkan pindah ke model pendukung pihak ketiga dan memastikan bahwa tim TI tersedia untuk mengerjakan gagasan bernilai tinggi.(*)
Ditulis oleh Seth Ravin, CEO of Rimini Street