JAKARTA (IndoTelko) - Pemerintah diingatkan untuk berhati-hati memberikan pendanaan bagi proyek Satelit Indonesia Raya (SATRIA) karena berpotensi merugikan negara.
"Indonesia diperkirakan akan dibanjiri oleh transponder asing berbasis High throughput satellites (HTS) pada 2020. Pemain asing ini bisa bersinergi dengan pemain lokal dengan harga yang jauh lebih murah," kata Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Dr.Ir. Mohammad Ridwan Effendi MA.Sc. dalam keterangan kemarin.
Ridwan mengaku khawatir kehadiran transponder asing berpengaruh pada efektifitas dan utilisasi penggunaan satelit Republik Indonesia (Satria) mendatang. Terlebih lagi dana yang dipakai untuk membeli satelit SATRIA mencapai Rp21 triliun (belum termasuk ground segment) itu berasal dari dana universal service obligation (USO).
“Untuk melayani daerah USO seharusnya pemerintah tak perlu memiliki satelit SATRIA. Cukup menyewa saja dari operator satelit yang sudah ada. Apa lagi suplai kapasitas satelit di tahun 2021 akan melimpah. Kapasitas melimpah harga akan cenderung turun. Jika pemerintah jadi memiliki satelit SATRIA, maka akan terjadi pemborosan anggaran yang sangat besar,”kata Ridwan.
Ridwan meminta agar Menkeu Sri Mulyani Indrawati meninjau ulang rencana menggunakan uang negara untuk membiayai SATRIA dan mengevaluasinya bersama Menkominfo Johnny G. Plate.. Selain mengurangi penghamburan uang negara, peninjauan ulang satelit SATRIA bisa menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Jangan sampai uang dari operator dipakai negara melalui BAKTI untuk melawan operator.
Ridwan mengatakan, 150 ribu ground segment yang dinyatakan Menkominfo terdahulu (Rudiantara) juga termasuk sekolah, lembaga negara, kantor, rumah sakit yang ada di Jawa yang sudah ada jaringan telekomunikasi. Jika BAKTI dengan satelit SATRIA juga melayani daerah yang sudah ada layanan telekomunikasinya (pasar bersangkutan), maka badan layanan umum (BLU) di bawah Kemenkominfo tersebut sudah menjadi operator telekomunikasi.
“Dikhawatirkan jika nanti satelit SATRIA ini beroperasi akan mengkanibal operator satelit yang ada. Jadi penggunaan dana USO untuk SATRIA tidak tepat. Jika ini sampai terjadi maka revenue operator satelit akan berkurang dan akan mempengaruhi dana USO dari operator satelit. Karena USO diambil dari 1,25% gross revenue operator,”terang Ridwan.
Ridwan menjelaskan filosofi awal dana USO adalah uang urunan yang dikumpulkan dan dititipkan di Kemenkeu oleh operator telekomunikasi untuk membangun di daerah yang belum sama sekali mendapatkan layanan telekomunikasi. Bukan untuk daerah yang sudah ada operator telekomunikasi itu hadir.
“Sehingga penggunaan dana USO untuk satelit BAKTI yang akan melayani 150 ribu titik itu menyimpang. Karena titik yang disasar oleh BAKTI bukan hanya daerah USO. Jangan sampai SATRIA itu mengambil lahan operator selular maupun satelit. Apa lagi dana yang didapat BAKTI dari iuran USO juga tak besar,”pungkas Ridwan.
Asal tahu saja, SATRIA diperkirakan bisa diluncurkan pada Triwulan IV-2022, dan akan diposisikan dalam orbit 146 derajat bujur timur dengan usia pakai 15 tahun.(tp)
Transponder asing yang berpotensi melayani pasar Indonesia
Operator |
Satelit |
Teknologi |
Kapsitas |
Coverage |
Rencana Operasi |
OneWeb |
OneWeb |
HTS-LEO |
375 Gbps |
Global |
Mulai 2020 |
PSN |
Nusantara Dua |
HTS-GEO |
10 Gbps |
Indonesia |
Mulai 2020 |
SES O3b |
mPower |
HTS-LEO |
Minimum 1 Tbps |
Global |
Mulai 2021 |
SpaceX |
Starlink |
HTS-LEO |
Minimum 1 Tbps |
Global |
Mulai 2021 |
Telesat |
Telesat |
HTS-LEO |
Minimum 1 Tbps |
Global |
Mulai 2022 |
Viasat |
Viasat-3 |
HTS-GEO |
Minimum 1 Tbps |
Global |
Mulai 2021 |
EchoStar |
Jupiter-3 |
VHTS-GEO |
500 Gbps |
Global |
Mulai 2021 |
Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik