Saya adalah salah seorang pelanggan Bukalapak yang sudah beberapa tahun ini keranjingan berbelanja online di marketplace itu.
Dulunya, ketika mulai kenal eCommerce, saya lebih sering “berkelana” di BLANJA.com. Alasannya, marketplace ini milik Telkom.
Semacam dejavu karena saya dulu pernah memimpin Telkom dan salah satu inisiator di BUMN ini untuk bermain eCommerce.
BLANJA.com sendiri adalah reinkarnasi dari PlasaMSN dan Mojopia di era saya menjadi orang nomor satu di Telkom. Jadi, romantisme ini membuat secara refleks saya berkelana ke BLANJA.com .
Tetapi, romantisme saja tak cukup. Sebagai pelanggan saya merasakan Bukalapak bisa memenuhi kebutuhan, terutama soal ketersediaan makanan ikan Koi.
Bukan hanya makanan Koi. Harus diakui variasi produk, layanan dan kemudahan lainnya dari platform besutan Achmad Zaky ini memang bagus. So far, no complaint from me for Bukalapak.
Tak ayal, ketika beradar kabar di media sosial belum lama ini tentang adanya penataan organisasi di Bukalapak yang berujung pada pengurangan karyawan, membuat saya terkejut.
Sebagai orang keuangan, saya tentu berharap bahwa hal ini adalah bagian dari proses pematangan dalam perjalanan sebuah korporasi.
Bagi perusahaan yang baru berdiri, hal biasa menjadi besar dan sporadis untuk menjadi well planned.
Mandi kecil. Ini istilahnya. Membuang yang tidak perlu dan memperkuat bagian yang benar-benar dibutuhkan, efisiensi untuk efektifitas sebuah perusahaan yang tumbuh cepat. Tetapi ini hanya tebakan saja. Tentu yang paling tahu adalah manajemen Bukalapak.
Capital War
Di luar itu, harus kita akui bahwa yang terjadi dalam ekonomi digital yang banyak melahirkan startup bahkan kelas Unicorn adalah terjadinya adu kuat pemodalan alias Capital War yang melibatkan uang dalam jumlah besar.
Kompetisi pemodalan ini akhirnya mengukur seberapa “dalam” kantong perusahaan, seberapa kuat modal yang ada untuk menopang perusahaan sempai arus kas dan laba bersih dapat menjadi sumber pembiayaan perusahaan dan bukannya suntikan modal dari para investor, pemodal ventura dan lainnya.
Ingat saja Amazon yang berdiri tahun 1995 baru memperoleh laba operasi pertama kali tahun 2002 dan baru memperoleh laba bersih pertama kali pada tahun 2003, persisnya 8 tahun setelah beroperasi. Selma periode arus kas negatif tersebut, pembiayaannya ditalangi oleh suntikan modal baru.
Memang industri eCommerce maupun industri digital lainnya apabila dapat melalui gejolak di awal beroperasinya bisa saja mereka dapat memiliki masa depan yang cerah namun ada satu karakteristiknya yang kita ketahui tapi tidak kita sadari, yaitu bahwa untuk dapat langgeng mereka membutuhkan modal yang sangat besar di periode awal yang digunakan untuk menutupi kerugian operasional dalam beberapa tahun, bisa sampai sepuluh tahun dimuka.
Kerugian operasi yang terjadi karena mengejar jumlah subscriber, market share, dan revenue (Gross Merchandise Value/GMV) banyak disebut orang sebagai “Bakar Duit”.
Namanya “Bakar Duit” tentu sangat padat modal. Dari mana uang itu datangnya? Modal tersebut diperoleh dari para investor raksasa baik berupa pengelola Dana (fund) maupun investor strategis berupa perusahaan teknologi, perusahaan eCommerce raksasa dari AS, Jepang dan yang agresif dari Tiongkok.
Beberapa perusahaan unicorn kita memperoleh pendanaan sempai miliaran dollar AS bukan dari satu tapi dari banyak pemodal tersebut.
Bagi pemilik startup modal yang diterimanya tersebut amatlah besar, padahal pemodal tersebut sebenarnya hanya mengalokasikan sedikit saja dari dana yang mereka kelola sebagai bagian dari diversifikasi resiko atas dana kelolaan.
Tahukah anda bahwa investor global ini umumnya mengelola dana mulai dari US$ 1- US$2 miliar sempai lebih dari US$ 100 miliar sehingga bisa kita kalkulasi bahwa bila setiap investor ini mengalokasikan US$ 50 juta – US$200 juta investasi maka jumlah tersebut kurang dari 5% dari dana kelolaan mereka.
Bahkan di beberapa ‘fund’ raksasa jumlah tersebut kurang dari 0.5% dari dana kelolaan mereka.
Apa maknanya? Artinya bilapun investasinya “lenyap” karena startup yang mereka danai tidak lepas landas maka itu hanya sebagian kecil saja dari modal mereka dan masih bisa ditutupi dari imbal hasil investasi mereka yang lainnya yang resikonya sudah dikelola dalam portofolio investasinya.
Persoalannya, investasi awal Unicorn ini terbilang raksasa juga, jumlahnya puluhan, ratusan milyar sampai trilyunan yang usahawan konvensional tidak akan sanggup menanggung sendirian, dan dengan konsep light-assets nya bisa hangus begitu saja tanpa residu yang bisa dipakai untuk kembalinya sebagian modal.
Misalkan saya adalah pengelola modal ventura raksasa seperti Softbank atau manajer investasi global yang berinvestasi pada unicorn di Indonesia maka nilai investasi saya di Indonesia adalah sangat kecil dibanding total dana yang saya kelola sehingga kalaupun rugi (walaupun tentu saja proses investasi ini telah melalui tahapan due diligence/penelaahan resiko yang seksama) maka imbal hasil dari dana lainnya masih dapat menutupi kerugian ini.
Masalahnya, pemodal global raksasa ini, yang tidak sendiri, melihat populasi dan pasar Indonesia yang sangat besar, memasuki pasar seperti Indonesia dengan leluasa karena kemampuan kapital pengusaha lokal dalam mengkalkulasi resiko skalanya masih kecil sehingga jadilah para unicorn Indonesia tidak lagi dimiliki usahawan lokal, bahkan pada umumnya pemodal global sudah memiliki sempai 90% atau lebih kepemilikan.
Hal ini terjadi karena dalam industri digital yang dilihat investor global sebagai layak investasi adalah kecepatan pertumbuhan pelanggan dan revenue yang bukan lagi pertumbuhan linier melainkan eskponensial seperti stick hockey dan hal ini membutuhkan modal awal yang sangat besar.
Mereka harus mencapai skala tertentu terutama dalam hal pendapatan dan pangsa pasar dalam waktu sesingkat-singkatnya agar dianggap layak investasi, bandingkan dengan konglomerasi yang ada seat ini yang membutuhkan puluhan tahun untuk sempai pada skala saat ini.
Sementara konglomerasi membutuhkan puluhan tahun, waktu untuk berhasilnya perkembangan industri tech saat ini sangat pendek, dan apakah kuncinya?
Tentu saja tanpa mengesampingkan ide, kreasi, inovasi, pengembangan platform bisnis maupun sumber daya manusianya maka yang utama adalah CAPITAL, CAPITAL, CAPITAL.
Persoalannya, seperti yang saya paparkan di atas. Capital awal yang dibutuhkan ini terbilang raksasa juga, jumlahnya puluhan, ratusan miliar sampai triliunan rupiah yang usahawan konvensional tidak akan sanggup menyediakan, dan dengan konsep light-assets nya bisa hangus begitu saja tanpa residu yang bisa dipakai untuk kembalinya sebagian modal.
Dan, tanpa disadari kita terseret dalam pusaran ekonomi super kapitalis dimana kekuatan modal menjadi yang utama.
Itulah mengapa unicorn kita secara mayoritas dimiliki oleh dana global ini karena usahawan lokal tidak mampu bersaing dalam CAPITAL WAR yang menguras modal ini. Akibatnya, usahawan lokal akan menjadi minoritas.
Modal besar ini dibutuhkan sekali karena mayoritas usaha digital ini masih dijalankan dengan arus kas negatif.
Dalam suatu bisnis umumnya pengusaha melihat pada arus kas, gross margin ataupun ebitda margin yang positif untuk menghitung kelayakan investasi namun industri digital ini dapat beroperasi beberapa tahun dengan gross margin maupun ebitda margin negatif.
Artinya produk atau jasa dapat dijual dibawah biaya operasional yang berarti agar operasinya berjalan harus ada subsidi.
Dari mana kekurangan arus kas (bukan profit) dan subsidi ini ditutup? CAPITAL baru, modal baru.
Bayangkan jika tidak ada suntikan modal baru maka bagaimana caranya membiayai operasionalnya?
Bak candu, sampai arus kas operasinya positif dibutuhkan capital baru, darah baru. Bila Capital baru ini tidak masuk maka perusahaan akan berhenti.
Bandingkan dengan model konvensional yang marginnya positif, mereka masih bisa bertahan lebih lama tanpa suntikan Capital baru.
Itulah mengapa kita sering mendengar adanya pendanaan mulai dari angel investor sempai pendanaan seri A sampai seri F dan lainnya. Ini adalah proses penambahan modal untuk menutupi bolongnya arus kas sampai suatu periode, entah itu itu 5 tahun, 6 tahun atau lebih, dimana diharapkan setelah itu arus kasnya sudah positif dan sudah memperoleh laba operasi. Suatu paradigma bisnis yang berbeda sekali dengan bisnis konvensional.
Dampaknya? Para kompetitor eksisting yang merupakan usaha non startup apalagi yang sahamnya listing di bursa dan dievaluasi para analis dan investor pasar modal atas perolehan ebitda dan labanya menghadapi persaingan yang tidak imbang.
Dan, satu persatu tumbang. Lihat saja apa yang terjadi di industri transportasi, retail dan lainnya. Berlakulah apa yang sering kita dengar “The Winners Take All”.
Kembali ke Bukalapak, perbedaan platform ini dengan eCommerce lainnya tidaklah berbeda jauh, produknya bisa dikatakan hampir sama.
Tak bisa disalahkan pasar menduga Bukalapak menjadi korban dari CAPITAL WAR yang terjadi. Mereka sedang menata diri,menyesuaikan dengan kekuatan CAPITAL-nya, ditengah kompetisi dengan modal para unicorn lain.
Para unicorn lain dimiliki investor global dengan dana raksasa sehingga mungkin lebih sanggup mensubsidi untuk waktu yang lebih lama sampai modal pesaingnya kering.
Disini berlaku hukum pasar bebas (liberal), tarik ulur antara kebutuhan capital dengan pengendalian perusahaan, karena dengan capital otomatis kendali perusahaanpun harus disesuaikan.
Itulah, kita melihat suatu pertempuran sengit, karena, yang bertahan lebih lama akan menang, dan untuk itu dibutuhkan modal yang besar dan napas yang panjang. Sebuah CAPITAL WAR yang menghasilkan Survival of the fittest!
Ditulis oleh Rinaldi Firmansyah, Anak Basket yang Mantan Direktur Utama Telkom