telkomsel halo

Indonesia tak ikut tandatangani deklarasi Osaka?

13:13:00 | 02 Jul 2019
Indonesia tak ikut tandatangani deklarasi Osaka?
Presiden Joko Widodo di tengah KTT G20.(ist)
JAKARTA (IndoTelko) - Pertemuan KTT G20 di Osaka, Jepang, telah usai digelar.

Sebuah dokumen deklarasi pun disetujui oleh para pemimpin dunia. Dokumen itu berjudul Deklarasi Osaka atau Osaka Track.

Dokumen itu berisi 43 poin seperti perkembangan ekonomi, teknologi, infrastruktur, kesehatan global, kesetaraan, turisme, illegal fishing, perubahan iklim, tenaga kerja, dan anti-korupsi.

Tiga poin pembuka (preamble) dalam deklarasi tersebut seperti dikutip dari situs resmi KTT G20:

1. Kami, pemimpin G20, di Jepang pada 28-29 Juni 2019, membuat usaha persatuan dalam menghadapi tantangan-tantangan ekonomi global yang besar. Kami akan bekerja sama untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dunia, serta memperkuat daya inovasi teknologi, terutama digitalisasi, dan penerapannya yang menguntungkan semua orang.

2. Membangun terus pekerjaan yang diselesaikan kepresidenan sebelumnya, kami akan membuat lingkaran kebajikan dalam hal pertumbuhan dengan cara menghadapi ketidaksetaraan dan menghasilkan masyarakat di mana semua individu dapat menggunakan potensi mereka sepenuhnya. Kami bertekad membangun masyarakat yang mampu meraih berbagai peluang, dan menangkal tantangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang ada di hari ini dan masa depan, termasuk perubahan demografis.

3. Kami akan meneruskan usaha-usaha untuk menunjang pembangunan dan menghadapi tantangan-tantangan global demi membuat jalan menuju dunia yang inklusif dan berkelanjutan, sebagaimana tujuan di Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Dalam pertemuan ini salah satu yang dibahas tentang digitalisasi yang tengah terjadi pun tak boleh melupakan privasi, proteksi data, hak kekayaan intelektual, dan keamanan. Itu dinilai penting demi mendapat kepercayaan konsumen dan bisnis.

Demi meraih hal ini, diperlukan adanya kerangka hukum internasional. Penggunaan data yang baik dipandang sebagai kunci untuk menunjuang ekonomi, pertumbuhan, dan kesejahteraan sosial.

Boikot
Hal yang menarik adalah artikel yang diturunkan situs Livemint pada 30 Juni 2019 dengan judul "India boycotts ‘Osaka Track’ at G20 summit".

Dalam artikel itu disebutkan India, Afrika Selatan dan Indonesia memilih untuk tidak menandatangani deklarasi Osaka karena bisa merusak prinsip-prinsip inti WTO khususnya terkait isu ekonomi digital karena secara terang-terangan merusak prinsip "multilateral" dari keputusan berdasarkan konsensus dalam negosiasi perdagangan global, dan mengurangi ruang regulasi untuk industrialisasi digital di negara-negara berkembang. 

Jepang kabarnya berusaha menggolkan mengenai perdagangan digital untuk meminta persetujuan bagi deklarasi Osaka untuk mempromosikan negosiasi purlilateral antara 50 negara.

Bersama dengan Amerika Serikat, Uni Eropa (yang mewakili 28 negara di WTO), Australia, dan Singapura, Jepang mendorong untuk negosiasi plurilateral tentang perdagangan digital dengan niat untuk menyusun aturan sweeping tentang aliran data, penghapusan larangan lokalisasi data, dan cloud computing. 

Banyak aturan plurilateral yang diusulkan tentang perdagangan digital didasarkan pada Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPATPP).

Kabarnya, India, Afrika Selatan, Indonesia, dan sebagian besar negara berkembang secara konsisten menuntut agar negosiasi tentang perdagangan elektronik atau digital harus dilakukan berdasarkan program kerja tahun 1998. 

India, Afrika Selatan, Indonesia menentang negosiasi plurilateral tentang perdagangan digital dengan mengatakan prinsip itu berlawanan dengan proses negosiasi multilateral berdasarkan pada pengambilan keputusan berdasarkan konsensus.

Mayoritas negara-negara berkembang juga berulang kali mengungkapkan kekhawatirannya bahwa mereka akan ditolak “ruang kebijakan” untuk industrialisasi digital melalui usulan perjanjian plurilateral tentang perdagangan digital.

Sebelumnya, dalam Pertemuan Menteri Perdagangan dan Menteri Digital Negara G20, inisiatif Data Free Flow with Trust (DFFT) yang diajukan oleh Jepang sebagai Presidency G-20, didukung Indonesia dengan memperhatikan kerangka legal masing-masing negara dan perlindungan data. (Baca: KTT G-20)

Indonesia tengah menyusun Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi dan tengah merevisi aturan tentang pengelolaan data yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah no. 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Di dalam draf terbarunya, dinyatakan kategori Penyelenggara Sistem Elektronik yang terdiri dari Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik dan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Dalam bagian Umum huruf j draf terbaru revisi PP No. 82/2012, tertulis tentang pengaturan mengenai penempatan Sistem Elektronik dan Data Elektronik bagi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik dan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Di bagian Penjelasan Pasal 2 Ayat 3 huruf b, disinggung tentang wilayah penempatan data yang berbunyi Penyelenggara Sistem Elektronik meliputi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik; dan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, yang Sistem Elektroniknya dipergunakan di wilayah Indonesia dan/atau ditawarkan di wilayah Indonesia.

Dalam draf sebelumnya, disebutkan terdapat tiga kategori data elektronik; pertama, data elektronik strategis; kedua, data elektronik tinggi; dan ketiga, data elektronik rendah.

Data elektronik strategis merupakan satu-satunya kategori data yang wajib dikelola, diproses, dan disimpan di dalam negeri serta menggunakan jaringan dan sistem elektronik Indonesia. Data elektronik strategis juga dilarang dikirim, dipertukarkan dan/atau disalin ke luar wilayah Indonesia.

Sementara India adalah salah satu negara yang sudah menjalankan kewajiban penempatan data center dan pengolahan data harus di dalam negeri.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year