telkomsel halo

BBTMC usulkan adopsi teknologi modifikasi cuaca di sentra penghasil beras

10:43:05 | 12 Jun 2019
BBTMC usulkan adopsi teknologi modifikasi cuaca di sentra penghasil beras
JAKARTA (IndoTelko) - Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) mengusulkan pelaksanaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di 10 provinsi sentra penghasil beras nasional.

Saat ini peta pelaksanaan Teknologi Modifikasi Cuaca di berbagai wilayah sentra penghasil beras telah disusun.

“Asumsi skenario  pelaksanaan  TMC di 10 provinsi akan menghasilkan 682.713 ton beras  pertahun.  Bandingkan dengan rata-rata impor beras nasional rentang 2013-2017 sekitar  753.377 ton beras per tahun. Maka bisa dipastikan hampir meniadakan impor beras jika dilaksanakan TMC secara tepat waktu,” papar Kepala BBTMC Tri Handoko Seto, kemarin.

Sepuluh provinsi sentra produksi beras nasional, yaitu Jawa Timur,  Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat,  dan Kalimantan Selatan.

Diungkapkannya, pada  2007, BBTMC telah melaksanakan TMC di beberapa wilayah untuk menambah pasokan air irigasi di sejumlah waduk strategis sentra produk beras nasional,  yaitu Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur (Jabar),  Waduk Gajahmungkur dan Kedungombo (Jateng), Waduk Sutami, Sengguruh dan Solerejo (Jatim), serta Waduk Batutegi (Lampung).  

“Upaya tersebut mampu memberikan  sumbangan sebesar 25 persen dari rencana target peningatan produksi beras nasional sebesar 2 juta ton pada tahun 2007 atau sekitar 1,8 persen terhadap produksi beras nasional di tahun itu,” ujarnya.

Pada 2012, BBTMC kembali dimintakan bantuan untuk wilayah Jawa Barat dalam rangka program  ketahanan  pangan nasional surplus 10 juta  ton beras (dukung program 2014), dan mampu memberikan sumbangan produksi beras sebesar 7,7% di wilayah tersebut.

Berdasarkan pengalaman tersebut, BBTMC optimis produksi beras akan meningkat secara signifikan jika dilakukan secara lebih luas di wilayah-wilayah lain yang menjadi sentra produksi nasional.  “Kami asumsikan bahkan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri pertahun. Hasil hitung-hitungan TMC  berpotensi  mengurangi  kebutuhan  impor sebesar 90,62% pertahun,” ujarnya.

Peneliti Madya BBTMC Budi Harsoyo mengatakan, berdasarkan kajian data historis klimatologis selama rentang waktu 15 tahun, pihaknya telah menyusun peta rencana waktu pelaksanaan pemanfaatan TMC untuk antisipasi kekeringan.

Tiga besar provinsi sentra produksi beras nasional yang rata-rata produksinya diatas 10 juta ton pertahun masing-masing secara berurutan adalah Jawa Barat dan Banten, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jawa Barat dan Banten yang mempunyai rata-rata produksi beras sekitar 13 juta ton pertahun dapat melaksanakan TMC pada bulan April atau November.

Sementara Jawa Timur yang rata-rata produksi berasnya mencapai sekitar 12 juta ton pertahun dapat melaksanakan TMC pada bulan Maret atau November. Demikian juga untuk Jawa Tengah yang produksi berasnya rata-rata sekitar 10 juta ton pertahun dapat melaksanakan TMC pada bulan April atau November.

Wilayah lainnya dengan rata-rata produksi beras 2 hingga 5 juta ton seperti Sumatera Utara, maka TMC dapat dilaksanakan pada bulan Maret, April, Mei, atau Desember. Demikian pula, Sumatera Barat dapat dilaksanakan TMC pada bulan Maret, September atau Oktober. Selanjutnya untuk Sumatera Selatan pada bulan Februari atau Mei. Provinsi Lampung diusulkan TMC pada bulan Maret, Sulawesi Selatan pada bulan April, dan  Kalimatan Selatan pada bulan Mei atau Oktober.

Menurut Budi, sistem Perberasan Nasional tidak hanya memasukkan faktor sarana irigasi, benih atau pupuk saja selaku inputan yang terkontrol, tetapi juga bergantung pada faktor lingkungan yang terdiri dari unsur iklim, air, serta lahan, termasuk  bencana alam.  “Perubahan iklim dapat diintervensi oleh pemanfaatan TMC,” ujarnya.

Pemanfaatan TMC untuk kebutuhan irigasi dan pertanian, kata Budi, sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Hal itu tercantum pada Paragraf 3 tentang Pengisian Air Pada Sumber Air Pasal 53 ayat 1 (d) yang menyebutkan  bahwa Pengisian air pada sumber air dapat dilaksanakan, antara lain, dalam bentuk pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk meningkatkan curah hujan dalam kurun waktu tertentu. Pada bagian lain dalam Bagian Keenam tentang Pengembangan Sumberdaya Air, Pasal 82 juga menyebutkan bahwa pengembangan fungsi dan manfaat air hujan dilaksanakan dengan mengembangkan Teknologi Modifikasi Cuaca.

Seperti diketahui, sejarah modifikasi cuaca di Indonesia bermula dari gagasan Presiden Soeharto yang menginginkan dilaksanakannya kegiatan hujan buatan di Indonesia untuk memberikan dukungan kepada sektor pertanian di Indonesia, seperti halnya yang sudah dilaksanakan di Thailand. Gagasan tersebut kemudian direspon oleh Prof.Dr.Ing BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi dengan melakukan percobaan hujan buatan pada tahun 1977 di daerah Bogor, Sukabumi dan Solo, dibawah asistensi Prof. Devakul dari Department of Royal Rainmaking and Agricultural Aviation (DRRAA) Thailand.

Awalnya pada periode tahun 1976 – 1978 Hujan Buatan berada di Direktorat Agronomi Divisi Advanced Technology Pertamina dan kegiatannya masih bersifat percobaan. Pada tahun 1977, status percobaan ditingkatkan menjadi Proyek Hujan Buatan dan berada pada Direktorat Agronomi Divisi Advanced Technology Pertamina.  Tahun 1978, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri dan secara kelembagaan Proyek Hujan Buatan berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA, kini berubah nama menjadi Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam - TPSA).

Pada bulan Desember 1985, status Proyek Hujan Buatan ditingkatkan menjadi Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan (UPTHB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/ BPPT/XII/1985 tanggal 3 Desember 1985, yang kemudian pada tanggal 19 Oktober 2015 berubah nama menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) BPPT No. 10 Tahun 2015. Berdasarkan Perka BPPT Nomor 010 Tahun 2015 tersebut, BBTMC memiliki tugas melaksanakan kegiatan pelayanan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan salah satu fungsinya adalah memberikan pelayanan jasa TMC kepada instansi Pemerintah dan swasta.

Pada awalnya, pemanfaatan TMC di Indonesia banyak dimanfaatkan untuk mengisi sejumlah waduk strategis di Pulau Jawa guna menambah pasokan air untuk keperluan irigasi pertanian. Dalam perkembangan selanjutnya, pemanfaatan TMC di Indonesia tidak lagi hanya untuk mendukung ketersediaan air untuk kebutuhan irigasi pertanian, namun juga mulai banyak dimanfaatkan untuk berbagai tujuan lainnya seperti untuk kebutuhan air PLTA, mitigasi bencana hidrometeorologi (bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, banjir) dan bahkan dalam beberapa tahun terakhir juga mulai banyak dimanfaatkan untuk mendukung produktivitas sektor pertambangan.

“Saat ini kami tengah berupaya mensosialisasikan kembali konsep pemanfaatan TMC untuk mendukung sektor pertanian di Indonesia kepada Kementerian Pertanian RI. Harapan kami, ke depan TMC dapat kembali diaplikasikan di sejumlah provinsi sentra produsen beras nasional untuk meningkatkan produktivitas pertanian nasional. Jadi, kami ingin mengembalikan TMC kepada khittah-nya, kepada tujuan awal digagasnya teknologi ini di Indonesia oleh Presiden Suharto dulu, yaitu untuk mendukung sektor pertanian di Indonesia,” tutup Seto.(ak)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year