telkomsel halo

Jangan jadikan UU ITE momok demokrasi

12:14:46 | 10 Feb 2019
Jangan jadikan UU ITE momok demokrasi
Pengguna tengah mengakses media sosial. Penegakkan UU ITE menjadi hal ditakuti pengguna internet.(dok)
Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sudah mengalami perubahan pada Oktober 2016, dan sekarang dikenal dengan UU No. 19 Tahun 2016 kembali menjadi topik perbincangan hangat di dunia maya. (Baca: Revisi UU ITE)

Pemicunya tak lain jatuhnya vonis satu setengah tahun penjara ke musikus Ahmad Dhani Prasetyo atau Ahmad Dhani akhir Januari lalu.

Pentolan band Dewa 19 itu dianggap melanggar Pasal 45A Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

Banyak kalangan menilai dalam kasus yang dialami Ahmad Dhani, meski telah dilakukan revisi pada 2016, di UU ITE masih ada Pasal-pasal karet yang akhirnya masuk ke ranah abu-abu, sehingga sangat rentan bagi kebebasan berpendapat di era demokrasi.

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengungkapkan lebih dari 35% pelapor undang-undang ITE itu adalah pejabat negara.

"Ini sinyal sederhana bahwa undang-undang ITE menjadi alat pejabat negara membungkam kritik. Artinya sebagian besar pejabat kita punya kecenderungan anti kritik," kata Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak belum lama ini.

Diungkapkannya, sejak disahkan pada 2008 lalu UU ITE banyak memakan korban. "Puncaknya adalah tahun 2016 ada 84 kasus dan tahun 2017 ada 51 kasus" tutup Dahnil.

Indonesia ICT Institute melihat UU ITE seperti senjata sapujagad yang dapat digunakan untuk mempidanakan seseorang dengan menggunakan, khususnya, Pasal 27 ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dan Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2. (Baca: UU ITE Anti Demokrasi)

Indonesia ICT Institute melihat dengan isu sebagai penyebaran ujaran kebencian atau hoaks orang bisa dengan mudah dibidik dengan pasal 28 ini.

Padahal, Pasal 28 ayat (1) sendiri adalah penyebaran berita bohong dan menyesatkan terkait kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dan ayat (2) menyangkut ujaran kebencian yang berdasar SARA. Dalam prakteknya, bisa dikenakan pada siapapun yang dianggap menyebarkan berita bohong meski tidak terkait dengan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik serta berhadapan dengan hukum karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian, meski tidak menyangkut SARA.

Hal yang menarik adalah menyimak pendapat dari Pakar Hukum Pidana Andi Hamzah yang menyatakan UU ITE adalah hukum administrasi agar tidak digunakan untuk mempidana orang. Bila ada kesalahan administrasi yang ada adalah membayar denda atau wajib kerja sosial. Sanksi ini dimaksudkan agar setiap orang menaati UU tersebut.

Andi mengingatkan ujaran kebencian di berbagai dunia terlebih di negara demokrasi dimana kebebasan berekspresi adalah HAM, bukanlah delik pidana.

Pemberlakuan ujaran kebencian di Indonesia sebagai delik pidana adalah hukum kolonial untuk mempertahankan kekuasaan yang di negeri Belanda sendiri tidak ditemui pasal tersebut.

Jadi, bila saat ini ujaran kebencian sebagai delik pidana pada UU ITE, tentu berlebihan dan meneruskan semangat kolonial. Belum lagi, substansi ujaran kebencian sebetulnya sudah  diatur  KUHP pada pasal "Penghinaan".

Ada baiknya dikembalikan semangat UU ITE ke khittah pembuatannya yakni melindungi masyarakat dari transaksi elektronik yang merugikan dan negara mendapat nilai keekonomian dari aktifitas transaksi itu.

Cukuplah UU ITE sebagai hukum administrasi yang penegakkannya tak berubah menjadi hantu yang menyeramkan bagi kehidupan berdemokrasi.

@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year