telkomsel halo

Ini penyebab utama Mastel dkk masih tolak draft revisi PP PSTE

10:31:00 | 06 Feb 2019
Ini penyebab utama Mastel dkk masih tolak draft revisi PP PSTE
Mastel dan para komunitas TIK kala menolak draft revisi PP PSTE.(dok)
JAKARTA (IndoTelko) - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) beserta sejumlah komunitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang terkait dengan bisnis data center dan cloud computing menegaskan masih menolak isi draft revisi  PP 82 tahun 2012 (PP PSTE) dari Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan Mastel dengan Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (ASPILUKI), dan Indonesia ICT Institute menegaskan isi dari draft terbaru yang dikirimkan Kominfo ke Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) pada 21 Januari 2019 tak mencerminkan kedaulatan digital nasional di era Revolusi Industri 4.0.

Padahal, Kominfo mengaku sudah mengirimkan draft terbaru dari revisi PP PSTE ke Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) pada 21 Januari 2019.

Lantas, isu apa yang masih mengganjal bagi Mastel dan kawan-kawan (dkk) di draft versi terbaru ini? (Baca: Mastel tolak aturan data center)

Dalam pernyataannya dinyatakan keberatan utama komunitas TIK mengenai revisi PP PSTE ini adalah terkait dengan klasifikasi data yang menjadi pembenar untuk bisa menempatkan data di luar wilayah Indonesia.

Dalam pasal 83 L di draft revisi itu disampaikan bahwa selain data strategis, data bisa ditempatkan di Indonesia atau di luar wilayah Indonesia. Implikasi dari perubahan aturan ini yang akan membawa kerugian besar secara nasional.

Tunda
Ketua Umum IDPRO  Kalamulah Ramli berharap Pemerintah menunda pengesahan draft tersebut karena mayoritas komunitas TIK di Indonesia belum sepakat dengan draft isi tersebut, Isi revisi masih banyak yang perlu diperbaiki karena sebenarnya revisi PP 82/2012 bisa menjadi jalan masuk untuk memperbaiki ekosistem ekonomi digital di Indonesia.

"Isu PP-82 adalah masalah kedaulatan data, penegakan hukum, dan sekaligus jalan masuk persamaan perlakuan dalam pajak. Isu ini mestinya pemerintah lah yang lebih concern menjaganya. Ini kebalik, asosiasi dan komunitas yang malah concern dan berulangkali mengingatkan Pemerintah,"ujarnya dalam pernyataan (5/2)

Ketua Umum ASPILUKI Djarot Subiantoro menyampaikan bahwa tidak berkeberatan dengan adanya revisi peraturan, namun revisi itu harus dikaji terlebih dahulu dan harus mengutamakan kepentingan nasional.

“Kami bukan anti perubahan, karena perubahan lah yg membawa kemajuan. Substansi perubahan yang di awal sudah diketahui akan memberikan dampak negatif secara jangka panjang dan skala lebih besar lah yang sebaiknya kita hindari. Semoga dapat dikaji dahulu dari perspektif dan kepentingan lebih besar sebelum diputuskan, yang kami tidak rasakan dalam proses revisi PP82 kali ini," ujarnya.

Sekjen APJII Henri Kasyfi berpendapat bahwa rencana revisi PP 82/2012 ini, selain merugikan dari sisi ekonomi nasional, tentu juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi penegakan kedaulatan negara dan penegakan hukum.

Henri menyayangkan langkah yang diambil oleh Kemkominfo yang tetap bersikeras untuk melanjutkan revisi ini dengan telah mengembalikan draft PP-nya kembali ke Setneg tanpa memperhatikan masukan nasionalis komunitas TIK Indonesia.

“Di saat negara maju sangat ketat melindungi data negaranya untuk tetap di wilayahnya seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa lewat EU GDPR, Indonesia malah membuat aturan yang bertolak belakang. Kami menyampaikan masukan yg bertujuan untuk dapat mempertahankan Kedaulatan Digital Bangsa dan memastikan bahwa Ekonomi Digital yg tumbuh dapat dinikmati bangsa kita sendiri, bukan untuk sebagian besar dimanfaatkan bangsa lain seperti yg terjadi sekarang ini. Mohon dengan sangat perhatikanlah masukan kami sebagai rakyat digital Indonesia,” keluhnya.

Sementara itu Ketua Umum ACCI Alex Budiyanto menyampaikan harapannya agar rencana revisi ini dikaji kembali secara transparan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar revisi ini membawa manfaat besar untuk kepentingan nasional.

"Kominfo pernah menyampaikan bahwa klasifikasi data strategis itu hanyalah 10% dari total seluruh populasi di Indonesia, dengan pernyataan tersebut dan isi revisi di pasal 83L yang menyebutkan bahwa selain data strategis boleh ditaruh diluar wilayah Indonesia maka revisi tersebut berpotensi besar membuat 90% data Indonesia lari ke luar wilayah Indonesia, apabila ini terjadi tentu ini akan sangat merugikan Indonesia di era data is the new oil, ayolah mari kita kaji kembali bersama, jangan terburu-buru mengesahkan revisi ini," ujarnya.

Ketua Umum FTII Sylvia W Sumarlin menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi masa depan bangsa dengan diberlakukannya revisi PP 82 ini. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa UU Perlindungan Data Pribadi masih belum ada, namun revisi PP 82 justru menutup kesempatan bagi warga negaranya untuk mendapatkan perlindungan data.  

Sylvia mempertanyakan apakah sudah sangat mendesak untuk mengijinkan data untuk di tempatkan di luar negeri dan apakah klasifikasi data sudah tepat untuk diberlakukan.

"Bila betul-betul klasifikasi data akan diberlakukan, maka seyogyanya dijalankan di dalam negeri dan sekali lagi menunggu UU Perlindungan Data selesai. Sedih sekali melihat kedaulatan negara dipertaruhkan dengan adanya kebijakan revisi PP 82 ini, tanpa kita memiliki regulasi perlindungan data yang memadai," sesalnya.

Asal tahu saja, pada Jumat (1/2) lalu, Ombudsman melakukan diskusi dengan sejumlah Kementerian/Lembaga yang berkepentingan dalam revisi PP PSTE, seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI).

Proses revisi PP PSTE sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun lalu, tetapi hal itu mengundang kontra dari sejumlah pihak, khususnya pelaku usaha di sektor data center. Selain itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan berpendapat hal ini juga sebenarnya mengganggu iklim politik.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan dalam draf revisi PP PSTE itu terdapat tiga klasifikasi data yang hanya bisa disimpan di Indonesia dan di luar negeri.

Tiga klasifikasi itu, yakni strategis, risiko tinggi, dan risiko rendah. Dari tiga itu, hanya data strategis yang wajib disimpan di Indonesia. Contohnya nomor induk kependudukan (NIK), kartu keluarga (KK), dan data dari badan intel. Sementara, dua klasifikasi lainnya bisa disimpan di luar negeri.

"Dari kami, sebenarnya ini sudah revisi yang terakhir, karena kan kemarin-kemarin sudah mendapatkan masukan dari berbagai pihak di Setneg," tegas Samuel.

Selain itu, ia mengaku sudah berdiskusi dengan MASTEL yang kontra dengan rencana pemerintah tersebut.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year