telkomsel halo

UU ITE harus dikembalikan ke khittah

08:43:00 | 05 Feb 2019
UU ITE harus dikembalikan ke khittah
Masyarakat tengah mengakses media sosial. UU ITE menjadi momok menakutkan bagi pengguna Media Sosial.(dok)
JAKARTA (IndoTelko)- Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sudah mengalami perubahan pada Oktober 2016, dan sekarang dikenal dengan UU No. 19 Tahun 2016 diharapkan implementasinya dikembalikan ke khittah kala beleid itu dibuat yakni mendapatkan dan melindungi nilai keekonomian dari transaksi elektronik.

"Kalau sekarang saya lihat dalam perbedaan pendapat terutama di ruang media sosial, narasinya ditakuti dengan UU ITE. Ini jadi tak sehat bagi demokrasi dan malah seperti lupa di UU tersebut ada pasal-pasal yang harus ditegakkan demi kedaulatan digital bangsa ini," ungkap Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, kemarin.

Heru mengkhawatirkan jika yang diutamakan adalah penegakkan pasal-pasal terkait "hate speech" bisa-bisa dibutuhkan lembaga pemasyarakatan (Lapas) khusus untuk menampung narapidana korban UU ITE. (Baca: Pasal UU ITE)

"Banyak yang melihat para terdakwa yang tersangkut UU ITE seperti terkena pasal karet. Kalau begini kan bisa penuh Lapas, warganet kan paling suka update status," sindirnya.

Pengamat Telekomunikasi M Ridwan Effendi mengingatkan di UU ITE ada pasal-pasal terkait keamanan siber dan infrastruktur strategis terkait digital. "Salah satunya itu kan soal data center. Sampai sekarang belum ditegakkan oleh pemerintah kewajiban data center harus di Indonesia sementara masa transisi sudah selesai sejak 2017," pungkasnya.

Sebelumnya, Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno, berjanji akan merevisi UU ITE jika terpilih dalam Pilpres 2019.

Menurutnya, di UU ITE ada Pasal-pasal karet yang akhirnya masuk ke ranah abu-abu, sehingga sangat rentan diinterpretasikan serta digunakan untuk hukum yang dipakai memukul lawan dan menolong teman.

Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak mengungkapkan korban utama dari pasal-pasal karet di UU ITE adalah masyarakat awam.   

"Data kita lebih dari 35% pelapor undang-undang ITE itu adalah pejabat negara. Ini sinyal sederhana bahwa undang-undang ITE menjadi alat pejabat negara membungkam kritik. Artinya sebagian besar pejabat kita punya kecenderungan anti kritik," katanya.

Diungkapkannya, sejak disahkan pada 2008 lalu UU ITE banyak memakan korban. "Puncaknya adalah tahun 2016 ada 84 kasus dan tahun 2017 ada 51 kasus. Jadi, komitmen kita adalah merevisi UU ITE. Kita ingin stop pembungkaman publik, dan kriminalisasi," tutup Dahnil.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie menyetujui UU ITE harus dievaluasi kembali karena sudah banyak memakan korban yang tidak perlu. 

Jimly mengakui UU ITE bagus untuk mereduksi dan mengatur penggunaan sosial media yang terlampau bebas dan rentan dengan ujaran kebencian atau penyebaran hoaks. Namun, pada praktiknya saat ini, UU ITE digunakan untuk hal-hal yang keluar dari substansi masalahnya.

"Hal-hal semacam itu jika dibiarkan, saya khawatir akan mengancam dan mencoreng wajah demokrasi kita yang sudah terbangun dengan baik," ujar Jimly.(ak)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year