telkomsel halo

Negara belum mampu lindungi konsumen di era ekonomi digital

09:26:34 | 21 Dec 2018
Negara belum mampu lindungi konsumen di era ekonomi digital
JAKARTA (IndoTelko) - Di era ekonomi digital kehadiran negara tak terasa bagi penggunanya.

"Fenomena ekonomi digital, yang pada titik tertentu merupakan wujud disruptif ekonomi adalah sebuah fenomena yang tak bisa dihindari. Namun, ironisnya, pada konteks perlindungan konsumen, negara belum terlalu hadir. Negara tampak terbius dengan pertumbuhan ekonomi digital, tetapi terlena dengan aspek perlindungan konsumen, yang jelas-jelas merupakan entitas utama dalam ekonomi digital ini," ungkap Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, kemarin.

Menurutnya, dalam aktivitas keseharian ekonomi digital masih terjadi berbagai paradoks, yakni:

Pertama, masih rendahnya literasi digital konsumen. Padahal, transaksi ekonomi digital mensyaratkan literasi yang tinggi pada konsumen. Yakni kemampuan konsumen yang handal terkait sisi teknologi digital, dan atau kemampuan membaca berbagai persyaratan teknis sebelum transaksi dilakukan.

Belum lagi prinsip kehati-hatian konsumen terhadap data pribadi, mulai alamat email, alamat rumah, alamat kontak telepon, photo pribadi, dan video. Terhadap kehati-hatian perlindungan data pribadi, konsumen juga masih rendah. Rendahnya literasi digital ini, akan berdampak terhadap berbagai persoalan yang endingnya merugikan konsumen.

Dan hal ini terbukti, data Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, pengaduan yang terkait ekonomi digital menduduki rangking pertama, selama tiga tahun terakhir, berkisar 16-20 persen dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI. Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerce, dan atau pinjaman online.

Kedua, masih lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Manakala nilai transaksi terus meningkat, tetapi pengawasan yang dilakukan pemerintah masih sangat lemah.

Untuk pinjaman online, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) nampak masih gagap, baik dalam membuat regulasi, pengawasan dan atau sanksinya.

"Pelaku pinjaman online yang terdaftar di OJK hanya 72 saja, tetapi di lapangan yang beroperasi mencapai lebih dari 350-an, kenapa dibiarkan? Padahal mereka adalah ilegal, OJK bisa langsung bersinergi dengan Satgas Waspada Investasi dan Kementerian Kominfo, untuk langsung memblokir pinjaman online yang ilegal tapi masih bergentayangan," katanya.

Demikian juga dalam hal belanja online. Transaksi antara konsumen dengan pedagang berjalan tanpa pengawasan oleh regulator. Padahal potensi pelanggaran hak konsumen sangat besar. Terbukti, menurut data 24% uang konsumen hilang dalam transaksi tersebut, alias terjebak aksi transaksi penipuan. Belum lagi pengaduan seperti barang yang diterima konsumen rusak, tidak sesuai, atau terlambat dalam pengiriman.

Ketiga, masih lemahnya regulasi. Aneh bin ajaib, jika sampai sekarang belanja online belum ditopang dengan regulasi yang memadai.

Mulai belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi, sampai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, sampai sekarang masih tersimpan di laci Sekretariat Negara. Alias mangkrak!

"Hanya sektor transportasi online dan finansial teknologi (fintek) yang regulasinya lumayan bagus, walau dalam pengawasan masih kedodoran, alias memble," katanya.

Terbukti pelanggaran hak konsumen taksi online, dan juga ojek lain, masih sangat masif. Berdasar survei YLKI (Sept 2016), 45% konsumen transportasi online pernah dikecewakan. Bahkan kini terbukti, transportasi online tidak senyaman dan tidak seaman yang dibayangkan sebelumnya.

"Berbagai kriminalitas, termasuk pembunuhan, beberapa kali terjadi di angkutan online. Dan korban utamanya adalah konsumen. Di sisi yang lain, driver angkutan juga hanya menjadi korban eksploitasi para kapitalis yang bercokol di angkutan online," katanya.

Pelanggaran hak konsumen yang tak kalah sadisnya adalah sektor finansial teknologi, dengan Peer to Peer Landing, alias pinjaman online. Level keluhan pinjaman online bukan sekadar gangguan kenyaman saja, tapi sudah menembus ancaman keamanan dan keselamatan konsumen, dan berpotensi melanggar HAM konsumen.

Disarankannya, dengan beberapa konfigurasi persoalan tersebut, maka seharusnya ada upaya sistematis dan komprehensif untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen sebagai pengguna produk digital ekonomi.

Pemerintah dan pelaku usaha punya tanggungjawab untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen, melalui edukasi masif. Tanpa ada peningkatan literasi digital masyarakat maka potensi masyarakat menjadi korban semakin besar. Baik karena ada penyalahgunaan data pribadi dan atau korban material lain yang dialami konsumen, seperti penipuan dan atau korban dari sisi pelayanan.

Berikutnya mendesak pemerintah untuk segera mensahkan RUU Perlindungan Data Pribadi dan RPP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Sungguh ironis manakala antusiasme masyarakat dalam transaksi belanja elektronik dan artinya begitu besar potensi ekonominya, tetapi tidak ada regulasi yang memayungi konsumen, khususnya untuk perlindungan konsumen.

Hal ini mengakibatkan pelanggaran hak-hak konsumen kian besar dan lebar, salah satunya pelanggaran penyalahgunaan data pribadi.

Regulasi yang ada, terutama UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tak mampu mengcover dan perlindungan dan permasalahan transaksi belanja elektronik. 

"Pemerintah jangan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konsumen saat melakukan transaksi, baik saat belanja elektronik, transportasi online, dan jasa-jasa lainnya. Negara harus hadir dalam arti yang sesungguhnya, yakni membuat kebijakan dan regulasi untuk melindungi konsumen. Negara tidak boleh melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konsumen oleh produk ekonomi digital,"pungkasnya.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year