Pemerintah Harus Dukung Virtual Office untuk Ekonomi Digital

08:01:32 | 13 Dec 2015
Pemerintah Harus Dukung Virtual Office untuk Ekonomi Digital
Startup di salah satu co working space (dok)
JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah harus mendukung kehadiran virtual office dan Co Working Space untuk menjaga ekosistem ekonomi digital.

“Kita harus dukung keberadaan co working space, soalnya startup butuh itu. Ini sudah common practices dimana-mana. Hanya, agar tidak ada keresahan, kita aturlah menjadi lebih baik, legalkan saja, soalnya sudha banyak bantu startup. Kalau main razia ke virtual office itu tak sehat bagi ekosistem ekonomi digital,” ungkap Ketua Umum idEA Daniel Tumiwa, kemarin.

Disarankannya, pemerintah untuk mengubah pola pikirnya jika benar-benar ingin mengembangkan ekosistem ekonomi digital dengan mengubah aturan-aturan yang menghambat perkembangan ekosistem.

“Generasi ke depan itu akan fokus mengembangkan produknya, bukan berat di administrasi. Kalau mereka banyak urus administrasi, time to market menjadi telat. Harusnya dipikirkan ada aplikasi yang memudahkan untuk menjalankan usaha dengan minimal tatap muka, bukan balik lagi ke jaman kuno,” katanya.

Namun, Daniel pun memahami langkah pemerintah yang ingin menertibkan virtual office karena banyak yang menyalahgunakan. Misal, dari kewajiban pajak dan lainnya.

“Solusinya, seperti tadi, buat aturan yang jelas. Seperti hotel, tamu asing masuk kan wajib ada paspor dan lainnya. Mencurigakan, lapor ke berwajib,” pungkasnya.     

Menguntungkan
Ketua Umum Virtual Office and Co Working Space Association Indonesia (VOACI) Anggawira menegaskan virtual office  sangat membantu pengusaha-pengusaha kecil dan pemula yang kesulitan finansial untuk menyewa ruang kantor sesungguhnya.

"Virtual office itu semacam kantor bersama, kotak pos bersama. Itu sudah umum dilakukan di negara lain kata Singapura atau Hong Kong," kata Anggawira.  

Dijelaskannya,  skema virtual office diminati pengusaha pemula karena tidak membutuhkan ruang kantor untuk pekerjaannya, namun membutuhkan domisili agar bisa mendirikan perusahaan yang berbadan hukum.

"Seperti programer, developer teknologi kan bisa dikerjakan di rumah. Jadi mereka percayakan kantornya ke pengelola virtual office. Kantornya ada, tapi bersama, karena mereka tak bisa pakai rumah untuk domisili kantor, hal-hal administratif ada yang mengelola, tapi bersama," jelasnya.

Biasanya,  pengelola virtual office juga menyediakan banyak pilihan sesuai kebutuhan pengguna atau dunia usaha. Pengelola berperan sebagai penyedia 'kantor' bayangan.

Dari sisi tarif, virtual office jauh lebih murah. Untuk sewa ruangan kantor di pinggiran Jakarta saja, harga sewa per meter Rp 150 ribu per meter sebulan. Bandingkan dengan sewa virtual office yang tarifnya hanya Rp 6-15 juta setahun.  

Ditambahkannya, soal perusahaan fiktif yang menyewa virtual office, bukan hal yang perlu dipermasalahkan.

"Aturan pajak yang baru sudah susah itu dilakukan. Direktur juga harus punya NPWP, ada sertakan kartu kelurga, alamat dan sebagainya di SIUP. Jadi bisa dilacak, kita pengelola virtual office juga sangat selektif. Kita nggak sewakan untuk yang bermasalah," tegasnya.

Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif RI, Hari Sungkari, menyatakan virtual office adalah hal yang sangat penting dalam usaha sebagai legalitas sebab tanpa memiliki kantor pelaku usaha akan terhambat dalam usahanya, seperti mendapatkan pinjaman dari perbankan dan lain-lain.

“Ini memang seharusnya diberikan kemudahan, tidak dipersulit. Penggunaan virtual office tidak seharunya dimusnahkan, tapi regulasinya diatur kembali,” katanya.

Ketua BPP Hipmi Bidang Ekonomi Kreatif Yaser Palito menambahkan larangan pemakaian virtual office adalah langkah mundur.

“Peraturan diubah dan jangan cepat-cepat direalisasikan karena akan mematikan UKM dan ekonomi kreatif serta pengusaha pemula. Kami mendorong UKM dan ekonomi kreatif tumbuh dan ini membutuhkan virtual office," kata Yaser.

Sebelumnya, keluar Surat Edaran PTSP Nomor 41 Tahun 2015, 2 November 2015, yang melarang penggunaan co working space dan virtual office oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

Regulasi tersebut dinilai tidak mendukung pelaku usaha bahkan akan mematikan industri UKM dan ekonomi kreatif, terutama perusahaan startup yang belum memiliki kantor fisik. Kerugian juga dirasakan oleh pelaku jasa operator virtual office itu sendiri.

Kepala Bidang Pembinaan PTSP DKI Jakarta Achmad Gifari mengatakan mengenai surat edaran tersebut muncul setelah adanya persoalan banyaknya perusahaan yang timbul tenggelam dan diduga fiktif. Dikeluarkannya SE tersebut untuk mengantisipasi persoalan tersebut.

PTSP sendiri mengaku hanya sebagai operator. Regulatornya ada di Kementerian Perdagangan. Namun demikia, pihaknya masih memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk membuka virtual office hingga 31 Desember 2015, dimana setiap izin yang dikeluarkan akan berlaku selama 5 tahun ke depan.

Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi mengatakan bahwa pada prinsipnya pihaknya meyakini bahwa tidak boleh ada pelarangan penggunaan virtual office. "Secara prinsip, selama tidak melanggar Perda 1, tidak dilarang, yang penting, jujur, tanggung jawab," tegas Sanusi.(id)

Artikel Terkait
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories