telkomsel halo

idEA: RPP eCommerce Untungkan Asing

15:27:54 | 01 Jul 2015
idEA: RPP eCommerce Untungkan Asing
Daniel Tumiwa (dok)
JAKARTA (IndoTelko) – Asosiasi eCommerce Indonesia (idEA) mengungkapkan jika Kementrian Perdagangan (Kemendag) tetap memaksakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau eCommerce diberlakukan, maka pemain asing dan investor kakap menjadi pihak yang paling diuntungkan.

“Jika RPP eCommerce yang sedang diuji publik itu disahkan apa adanya seperti matriks yang beredar, bisa dipastikan pemain Usaha Kecil dan Menengah (UKM) serta investor kecil akan tutup usaha. Soalnya berat bagi mereka memenuhi aturan Know Your Customer (KYC) yang diminta beleid tersebut,” papar Ketua Umum idEA Daniel Tumiwa di Jakarta, Rabu (1/7).

Ditambahkannya, para pemain perorangan akan cenderung memanfaatkan platform media sosial untuk berjualan online karena tidak diminta data yang lengkap, sementara para pembeli akan mencari barang di situs asing. “Kalau belanja di portal luar tidak ada minta data diri lengkap. Paling nomor telepon atau nomor rekening,” katanya.

Dikatakannya, pemerintah harus mengetahui bahwa motor dari eCommerce di Indonesia adalah UKM, bukan perusahaan besar yang baru akan bermain di sektor ini. “Kalau buat aturannya yang hanya bisa dipenuhi pemain besar seperti Mataharimall.com atau Blibli.com, susah pemain kecil. Pemain besar punya sumber daya kuat memenuhi semua yang ada di aturan sekarang,” katanya. (baca juga: Ini pembahasan RPP eCommerce)

Substansi   
Lebih lanjut Daniel mengatakan, setidaknya, terdapat sejumlah alasan atau substansi yang membuat idEA berpikir agar pengesahan RPP tidak dilakukan dalam waktu dekat. Asosiasi telah menyurati Kemendag, dan berharap agar kementerian memperpanjang waktu dari tujuh hari menjadi 30 hari.

Ada enam poin dari isi RPP yang dinilai idEA perlu dievaluasi lagi. Pertama, berkaitan dengan kejelasan batasan dan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam transaksi eCommerce, yang mencakup pedagang, penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PTPMSE) dan penyelenggara sarana perantara.

Padahal, dalam industri E-Commerce mempunyai beberapa tipe model bisnis. Sehingga, lingkup tanggung jawabnya perlu dibedakan menurut model bisnis masing-masing.

Kedua, berkaitan dengan kesetaraan penegakan aturan terhadap pelaku usaha yang berkedudukan di dalam wilayah Indonesia dan luar negeri.

Menurut idEA, jika pemerintah tidak dapat melakukan enforcement yang seimbang kepada pelaku usaha asing yang berada di luar wilayah Indonesia, pengguna internet tentu dapat menggunakan solusi lain yang tak diatur oleh hukum Indonesia. Sayangnya, tidak dijelaskan apa yang dimaksud solusi lain tersebut.

Berikutnya, berkaitan dengan kewajiban untuk memiliki, mencantumkan dan menyampaikan identitas subjek hukum. Seperti KTP, izin usaha, nomor SK pengesahan badan hukum atau yang dikenal KYC. Mengenai hal ini, idEA mengusulkan agar KYC hanya cukup dengan data nomor telepon.

Hal ini dikarenakan regulasi pada bidang telekomunikasi telah mewajibkan dan menerapkan KYC terhadap pengguna nomor telepon. Alasan lainnya, lantaran hingga saat ini belum ada sarana yang disediakan pemerintah agar PTPMSE dapat melakukan verifikasi identitas para pedagang dan konsumen.

Keempat, terkait perizinan berlapis yang dinilai asosiasi dapat menghambat pertumbuhan industri eCommerce. Seperti, adanya tanda daftar khusus, izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik dan sertifikat keandalan.

Menurut idEA, adanya kekosongan dari peraturan pelaksana terkait masing-masing perizinan tersebut akan menimbulkan ketidakjelasan yang tak kondusif bagi pelaku bisnis eCommerce Indonesia.

Dan alasan terakhir, terdapat beberapa bagian RPP yang bertentangan dengan aturan hukum lainnya. Seperti, hukum pengangkutan yang menganut asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan atau fault liability.

Dalam konsep ini dinyatakan setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus bertanggung jawab mengganti rugi atas segala kerugian yang timbul dari kesalahan tersebut, pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Tapi dalam matriks RPP eCommerce, tanggung jawab tersebut ada di PTPMSE.

Aturan ini juga bertentangan dengan aturan lain berkaitan dengan perlindungan konsumen. Selama ini UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen membagi penyelesaian sengketa menjadi beberapa bagian, yakni penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan, penyelesaian perkara secara pidana dan penyelesaian perkara secara administratif.

Tetapi, dalam matriks RPP E-Commerce dikenal adanya penyelesaian sengketa melalui online. Padahal penyelesaian sengketa ini tidak dikenal oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa.

“Jadi saya berfikir, aturan ini masuk justru memperlambat ekosistem eCommerce yang sedang tumbuh. Padahal kita berharap aturan bisa menjadi salah satu mesin pertumbuhan,” pungkasnya.(dn)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year