telkomsel halo

Kolom Telematika

Belajar Ilmu Telekomunikasi di Pengadilan Tipikor

10:15:35 | 21 Mar 2013
Belajar Ilmu Telekomunikasi di Pengadilan Tipikor
Nonot Harsono (DOK)
Meski telah 68 tahun usia Proklamasi, sungguh bangsa Indonesia yang besar ini masih dalam taraf belajar tentang bagaimana berbangsa yang baik dan benar.

Belum lagi bicara yang rumit tentang harmoni Trias Politika, Legislatif (aturan tata-kelola), eksekutif (pelaksana tata-kelola), dan yudikatif (wasit penegakan tata-kelola).  Bahkan untuk perkara yang amat sederhana pun belum tampak adanya penanganan yang berwawasan kebangsaan.

Satu bukti yang nyata adalah penanganan pengaduan masyarakat tentang tuduhan tindak pidana telekomunikasi yang dibungkus dengan tuduhan tindak pidana korupsi, yaitu kasus IM2-Indosat.

Orang bijak mengatakan, “serahkan lah semua urusan kepada ahlinya”; bahkan utusan Tuhan mengatakan, “Bila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran bangsa itu”.  

Sesuai dengan aturan UU Telekomunikasi dan nalar sehat, sewajarnya laporan pengaduan LSM tentang urusan telekomunikasi haruslah dilayani oleh Kementerian Kominfo. Namun karena dibungkus dengan kasus korupsi, maka Kejaksaan merasa memiliki kewenangan untuk menanganinya.

Bila laporan masyarakat itu adalah tentang penyelewengan pembukuan atau laporan keuangan, mungkin masih dapat dimaklumi karena sifatnya umum dan banyak orang dapat memahaminya. Dalam kasus IM2-Indosat, laporan pengaduan LSM itu amat sangat teknis, yaitu tuduhan “menggunakan frekuensi”.

Maka untuk bisa menangani laporan ini, si penerima laporan harus memiliki kompetensi yang menjamin dia paham tentang “frekuensi radio” dan maksud dari “menggunakan frekuensi”.

Kasus ini amat sederhana sehingga mudah dijelaskan dan dipahami bila konteksnya adalah belajar ilmu dasar telekomunikasi. Tetapi, kasus ini akan menjadi sangat rumit bila proses pemahamannya didasarkan pada prasangka buruk dan tuduhan yang terdramarisir. Gambaran perbedaan situasinya dicoba disajikan sebagai berikut.

Perspektif ilmu dasar Telekomunikasi:
Setiap pemancar radio memancarkan gelombang radio. Pemancar radio yang ada di sekitar kita misalnya stasiun Siaran TV, siaran radio FM,  Jaringan seluler, satelit, microphone-wireless, handphone, dongle-modem, dan sebagainya.  Gelombang radio tersebut memiliki ukuran teknis yaitu daya-pancar (Watt), bandwidth (lebar-pita, satuan Hertz), frekuensi (satuan Hertz), dan lainnya.

Agar pemancar dapat berfungsi, gelombang-radio yang memancar dari pemancar-pemancar tersebut harus memiliki frekuensi yang berbeda, karena apabila sama atau berdekatan akan saling interference (bercampur-aduk) sehingga merusak informasi yang dibawanya. Karena itu, bila orang ingin menggunakan sistem komunikasi radio, tiga ukuran teknis di atas (daya, frekuensi, bandwidth) amat perlu ditata agar semua penyelenggara komunikasi radio dapat beroperasi dengan baik.

Maka kalimat kuncinya adalah “Setiap pemancar radio wajib memancarkan gelombang radio dengan frekuensi yang telah ditetapkan”. Inilah maksud dari kata “menggunakan frekuensi” dan demikian lah yang tercantum dalam undang-undang.

Jaringan seluler adalah jaringan radio (rangkaian sambung-menyambung dari puluhan ribu BTS dan kelengkapannya). BTS (base tranceiver station) adalah stasiun radio yang beroperasi pada frekuensi tertentu; misalnya 450MHz, 900MHz, 1800MHz, dan 2100MHz.

Maka itu ada kalimat “Jaringan seluler pita frekuensi 2.1GHz” yang artinya jaringan seluler itu “menggunakan” (:beroperasi pada) pita frekuensi 2.1GHz. Jadi secara teknis, yang menggunakan frekuensi itu adalah jaringan seluler atau stasiun-radio, karena “benda” inilah yang memancarkan gelombang radio.

Pemilik jaringan seluler kemudian menyewakan jaringannya kepada banyak pihak melalui beragam mekanisme perjanjian kerjasama dan beragam skema pembayaran. Para penyewa atau para pengguna jaringan seluler ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai pengguna-frekuensi, karena pasti tidak memiliki/mengoperasikan stasiun radio atau jaringan seluler dan memang tidak perlu membangun sendiri.

Dengan kerangka pikir inilah UU Telekomunikasi membagi dua jenis penyelenggaraan, yaitu Penyelenggara Jaringan dan Penyelenggara Jasa; ada yang membangun jaringan yang mahal, lalu ada yang memanfaatkannya (pemiliknya sendiri dan para UKM yang ber-mitra).

Tuduhan yang mengada-ada dan penuh prasangka buruk
Tuduhan menggunakan frekuensi bukan berarti tuduhan tanpa dasar. Hanya saja dasar logika yang digunakan amatlah rapuh. Pikiran kelompok ini amat sederhana, yaitu bahwa “sudah jelas IM2 ini menggunakan jaringan seluler milik Indosat, dimana semua orang tahu bahwa jaringan seluler itu adalah jaringan radio (nirkabel/wireless), maka sudah pasti menggunakan frekuensi radio”.

Semua orang awam pasti manggut-manggut mendengar pidato berapi-api ini seraya berkata ”benar.. benar…”. Bila obrolan atau pidato ini terjadi di bundaran HI atau di ruang seminar, atau di warung kopi, tentu dampaknya tidak akan besar.

Namun bila pernyataan itu terjadi di ruang penyidikan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung yang disakralkan, bahkan berlanjut di sidang pengadilan Tipikor yang mulia, maka tentu ceritanya amat berbeda.

Tidak akan pernah ada diskusi keilmuan yang menyejukkan, tidak akan ada tukar pikiran dan wawasan ilmiah yang saling melengkapi. Yang pasti terjadi adalah kekhawatiran dan ketakutan, “jangan-jangan saya akan menjadi pesakitan”, “jangan-jangan saya akan dilibatkan”, “jangan-jangan saya akan mendapat gelar koruptor”, dan bermacam kegalauan lainnya.

Bagaimana suasana kebatinan Majelis Hakim yang Mulia?
Sungguh amat berat beban tugas majelis Hakim dalam kasus ini. Untuk dapat memutuskan perkara dengan adil dan sebenar-benarnya, para Hakim harus terpaksa belajar ilmu dasar telekomunikasi secara kilat.

Akan tidak cukup waktu dan tidak kondusif belajar ilmu dasar telekomunikasi di Pengadilan Tipikor, karena tata-cara pengadilan yang telah baku tidak akan memberikan suasa belajar yang semestinya. Perkara yang amat sederhana di luar pengadilan, menjadi amat mencekam di dalam Pengadilan Tipikor.

Dikatakan sederhana karena Majelis Hakim hanya harus memutuskan dua pilihan, yaitu:

1.IM2 menggunakan frekuensi radio, maka harus membayar sebesar Rp. 1,3 trilyun.
atau
2.IM2 menggunakan jaringan seluler, maka tidak perlu membayar Rp.1,3 Trilyun.

Namun pada kenyataannya tidak menjadi sesederhana itu, karena Majelis Hakim harus belajar terlebih dahulu tentang filosofi penataan frekuensi radio, spektrum, pita, teknik pemancar radio, bandwidth, interference, multiple-access, dan seterusnya.

Mungkin juga ada keanehan di pengadilan karena isinya adalah perdebatan masalah teknis yang lebih cocok menjadi acara debat-ilmiah telekomunikasi, tetapi kok ada tersangka yang duduk menunggu kepastian nasib akan menjadi koruptor atau orang merdeka. Andai perdebatan ini terjadi di Kantor Kementerian Kominfo, selamatlah bangsa ini.(*)  

Penulis Nonot Harsono,

Anggota Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)  

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year