telkomsel halo

Tren Industri

Menyoal Keberadaan OTT

15:50:25 | 18 Dec 2012
Menyoal Keberadaan OTT
Ilustrasi (Dok)
Lembaga riset Ovum  dalam penelitiannya belum lama ini mengungkapkan ada bahaya yang mengancam pendapatan operator telekomunikasi hingga 2016 nanti.

Bahaya itu bernama pemain Over The Top (OTT). OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.

Pemain OTT  yang terkenal diantaranya Google, Microsoft, Apple, Yahoo, Facebook, Research In Motion, dan lainnya.

Nilai dari pendapatan operator yang bisa digerus OTT secara global tak main-main.  Dikalkukasi mencapai US$ 23 miliar atau sekitar Rp 220 triliun di tahun 2012 ini. Angka potential lost ini diprediksi masih akan terus meningkat dari tahun ke tahun dan mencapai puncaknya di 2016 dengan hilangnya pendapatan berkisar US$ 58 miliar atau sekitar Rp 555 triliun.

“Operator telekomunikasi yang akan mengalami dampak paling besar adalah operator dari Eropa dan Asia Pasifik, termasuk Indonesia yang memiliki pasar telekomunikasi sekitar 250 juta pelanggan,” ungkap   Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) yang juga Direktur Utama Telkomsel, Alex Janangkih Sinaga dalam seminar “OTT: Friend or Foe?” di Jakarta, Selasa (18/12/).

Menurut Alex, operator  seperti berada  dalam kondisi simalakama melihat perkembangan para OTT. Pasalnya,  di satu sisi mereka butuh OTT, namun merasa tertekan dengan investasi besar yang harus dikeluarkan untuk meningkatkan kapasitas jaringannya.

“Sementara porsi pendapatan yang lebih besar justru lebih dinikmati oleh pemain OTT yang notabene cuma menumpang akses jaringan,”  katanya.

Pilihan
Chief Technology & Digital Services Officer  XL Axiata Dian Siswarini mengatakan, sebenarnya ada empat pilihan dalam menghadapi tren OTT yakni  memilih untuk mengacuhkan OTT, memblokir seluruh layanan OTT, bermitra dengan OTT, atau mengembangkan layanan OTT buatan sendiri.

Sementara  Director & Chief Commercial Officer Indosat Erik Meijer mengatakan  sinergi antara operator dan OTT  harus dicari. Sebab tanpa ada konten, data tidak diperlukan. "Namun jangan sampai bisnis model ini membuat kita tidak sanggup lagi ekspansi jaringan," ujarnya.

Direktur Sales Axis Telecom  Syakieb Sungkar menambahka OTT  bukan sekedar value added services (VAS) saja. Karenanya, sinergi antara OTT dan operator menjadi sangat penting. “Sinergi ini bisa merupakan kombinasi antara revenue sharing, retention program, co-branding, dan up-lift brand,” katanya.
 
Kapitalisasi Jaringan
Deputy CEO Commercial Smartfren Djoko Tata Ibrahim mengatakan, OTT seperti supermarket yang hadir di tengah masyarakat.
“Masyarakat butuh itu walau pedagang pasar tradisional menolak kehadiran supermarket. Soalnya ini (OTT) sudah tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat,” katanya.

Menurut  Djoko, hal yang menjadi catatan penting di Indonesia adalah kecepatan dan kapasitas belum seideal operator di Eropa atau Asia lainnya. Investasi masih dibutuhkan untuk mencapai kecepatan dan kapasitas yang ideal.

“Sekarang tantangannya bagi operator adalah bagaimana mendapatkan kapitalisasi dari jaringan yang dibangun. Salah satu solusi harus membangun konten lokal yang bisa menghemat trafik,” katanya.

Sementara President Director Ericsson Indonesia Sam Saba menyarankan bekerja sama dengan pemain OTT dan memberikan pelayanan yang baik untuk pelanggan adalah kombinasi yang mendukung suksesnya operator di berbagai negara.

“Statistik menunjukkan bahwa satu pengalaman baik dari pelanggan akan meningkatkan kemungkinan rekomendasi baik sebesar 58%," kata Sam.  

Untuk diketahui, Ericsson  telah bekerja sama dengan para operator telekomunikasi di lebih dari 180 negara di dunia sejak 1876 dan berpengalaman dalam membantu operator memonetisasi layanan data dan OTT sehingga lebih menguntungkan dan tak hanya menjadi penyalur jaringan yang baik saja alias dumb pipe.

Siapkan Aturan
Pada kesempatan sama Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Fetty Fajriati Miftach mengakui aturan hukum soal OTT   masih dipelajari institusinya.

Diungkapkannya,  pihaknya masih mempelajari OTT ini apakah masuk dalam katagori sebagai network provider ataukah service provider. Jika OTT ini sebagai service provider maka harus didefinisikan lagi, apakah OTT ini sebagai ISP, NAP, penyelenggara VoIP atau ITKP, komunikasi data, atau lainnya.

"Namun jika berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82/2012, maka penyelanggara sistem elektronik untuk kepentingan publik harus menempatkan data center dan data recovery centernya di Indonesia. Jadi untuk tahap awal, OTT ini harus menempatkan data centernya di Indonesia. Sementara jika ada terminasi voice atau SMS dari OTT ke jaringan tetap atau seluler, maka OTT juga harus mengikuti aturan interkoneksi berbasis biaya," tegasnya.
 
Diakuinya, BRTI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika  sudah merasakan kekhawatiran operator akan geliat OTT sejak 2011 lalu. Kegetiran yang kian membuncah ini juga sempat menawarkan solusi berupa interkoneksi antara operator dan pemain OTT yang rencananya akan dikemas dalam pembuatan payung hukum regulasi.

Dikatakannya, meskipun dianggap menarik dan cukup fair bagi kedua belah pihak, namun rencana aturan ini masih belum final. Penerapan interkoneksi antara operator dan OTT masih harus dipelajari lebih dalam dari sisi detail teknis dan pelaksanaannya sembari menunggu inisiasi yang dijalankan secara global.

“Jika solusi interkoneksi ini diperlukan, maka penerapan business to business (B2B) antara operator telekomunikasi di Indonesia dan perusahaan OTT yang ada di luar negeri, atau sudah punya badan usaha di Indonesia, harus dalam kerangka regulasi nasional dengan memperhatikan perkembangan global,” katanya.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year