telkomsel halo

Menyoal Rasionalitas Dalam Kasus IM2

22:43:00 | 23 Jan 2012
Menyoal Rasionalitas Dalam Kasus IM2
(dok.)
Menjelang Imlek, komunitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Indonesia mendapatkan “angpao” kurang menyenangkan dari Kejaksaan Agung (Kejagung).

Lembaga yudikatif ini akhirnya meningkatkan status kasus penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz/3G milik PT Indosat Tbk (Indosat) ke penyidikan.

Kejagung telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan No.PRINT-04/F.2/Fd.1/01/2012 tanggal 18 Januari 2012. Dimana, dalam surat perintah penyidikan itu disebutkan pula tersangka kasus penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz milik Indosat berinisial IA.

IA diduga melakukan penyalahgunaan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G milik Indosat yang diakui sebagai produk IM2. Padahal, IM2 tidak pernah mengikuti seleksi pelelangan pita jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G. IM2 menyelenggarakan jaringan itu melalui kerja sama yang dibuat antara Indosat dengan IM2. IM2 sendiri adalah anak perusahaan dari Indosat.

Dengan demikian, menurut Kejagung, tanpa izin pemerintah, IM2 telah menyelenggarakan jasa telekomunikasi jaringan bergerak seluler frekuensi 3G. “Tidak tahu (apakah Indosat) mensubkontrakan atau meritailkan, akhirnya dia kerja sama dengan IM2 yang notabene tidak punya hak untuk memanfaatkan jalur itu karena tidak pernah ikut lelang dan membayar kewajiban-kewajibannya,” terang Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad.

Akibat penyalahgunaan ini, Noor mengatakan negara dirugikan sekitar Rp3,8 triliun. Untuk itu, IA dikenakan sejumlah pasal tindak pidana korupsi, yakni Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Untuk diketahui, pada 6 Oktober 2011, LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia (KTI) melaporkan dugaan penyalahgunaan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G yang dilakukan Indosat dan IM2 ke Kejati Jawa Barat. Namun, karena locus delicti-nya tidak hanya di Jawa Barat, penyelidikan kasus ini diambil alih oleh Kejagung.

Berdasarkan laporan LSM KTI, sejak 24 Oktober 2006, Indosat dan IM2 telah melakukan penyalahgunaan dengan cara menjual internet broadband yang menggunakan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G milik Indosat yang diakui sebagai produk IM2. Penggunaan jaringan bergerak itu tertuang dalam perjanjian kerjasama antara Indosat dan IM2.

Kerjasama ini dapat dilihat pada kemasan internet IM2 3G broadband dan pada waktu pengaktifan broadband yang dijual oleh IM2 kepada masyarakat. Sebab, broadband itu memiliki Access Point Name (APN) sendiri, yaitu Indosat.net. Selanjutnya, sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerja sama, data pelanggan penggunaan jaringan 3G dipisahkan dari data pelanggan Indosat

Perbuatan Indosat itu dinilai melanggar Pasal 33, UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 58 ayat (3) PP No 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, serta Peraturan Menteri Telekomunikasi dan Informatika No: 07/PER/M./KOMINFO/2/2006.

Karena, berdasarkan ketentuan itu, penyelenggara jasa dalam penggunaan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G harus memiliki izin sendiri sebagai penyelenggara jaringan. Walaupun jaringan telekomunikasi dapat disewakan kepada pihak lain, hanyalah jaringan tetap tertutup, sesuai Pasal 9 UU Telekomunikasi.

Dengan ini, walau IM2 adalah anak perusahaan Indosat, tetap saja tidak berhak menjual internet broadband dengan menggunakan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G milik Indosat.

IM2 tidak mengantongi izin sebagai penyelenggara jaringan. Namun, tiba-tiba IM2 melakukan migrasi ke Indosat pada November 2007. Migrasi ini, diakui Indosat merupakan bagian dari roadmap strategy business Indosat Group, dimana IM2 difokuskan ke segmen Usaha Kecil Menengah (UKM).

Sesuai Aturan
Lembaga Yudikatif boleh memiliki keyakinan adanya pelanggaran. Namun, bagaimana suara dari instansi yang ditugasi negara mengawal jalannya UU 36/99 tentang Telekomunikasi, dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono menyayangkan lembaga Yudikatif lebih mempercayai laporan LSM ketimbang instansinya dalam kasus IM2 tersebut.

“Sebaiknya peran Kemkominfo sebagai lembaga yang mendapat tugas mengawal UU telekomunikasi dihargai. IM2 bukan berjualan bandwidth, tetapi koneksi sebagai mitra operator jaringan. Ini sesuai dengan KM 21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Jika dipaksa logika menggunakan frekuensi 3G, maka IM2 harus membangun BTS sendiri. Kita sudah terangkan ini ke Kejaksaan, entah kenapa kasus ini maju terus,” keluhnya.

Menurutnya, langkah yang dilakukan Kejakgung sebagai contoh tidak sehat untuk perkembangan dunia Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), mengingat model bisnisnya terus maju seperti adanya Mobile Virtual Network Operation (MVNO), Managed Services atau Research In Motion (RIM) yang tidak hanya berjualan perangkat.

Anggota Komite lainnya, Heru Sutadi meminta semua pihak membaca UU Telekomunikasi tidak sepotong-potong. Dirujuknya Pasal 7 ayat (1): Penyelenggara telekomunikasi meliputi: a. penyelenggara jaringan telekomunikasi; b. penyelenggara jasa telekomunikasi; c.penyelenggara telekomunikasi khusus.

Pasal 9 ayat (1): Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.

Pasal 9 ayat (2): Penyelengara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.

”Itu sudah jelas di aturan tersebut. Semua sudah sesuai aturan mainnya. Kalau ada kerugian negara, BPKP harus cek, jangan main langsung ke ranah hukum dulu,” katanya.

Diingatkannya, adanya perkembangan teknologi 3G menjadikan seluler bisa langsung terkoneksi ke Internet. Tidak perlu harus Network Access Provider (NAP) atau Jaringan tertutup (Jartup).

”Perkembangan teknologi yang dulu memmisahkan antara telco dan internet, sekarang tidak lagi. Bahkan untuk Broadband Wireless Access (BWA) itu open akses. UU dan KM mengatur pihak-pihak yang boleh menyelenggarakan,” jelasnya.

Juru Bicara Kementrian Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto menambahkan,
dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, beberapa ketentuannya di antaranya menyebutkan

Pasal 5 ayat (1): Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.

Pasal 5 ayat (2): Penyelenggara jasa telekomunikasi dalam menggunakan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui kerjasama yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.

Pasal 6 ayat (1): Dalam hal tidak tersedia jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), penyelenggara jasa telekomunikasi dapat membangun jaringan telekomunikasi.

Pasal 6 ayat (2): Jaringan telekomunikasi yang dibangun oleh penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang disewakan kepada pihak lain.

”Meskipun KM 21/2001 telah tiga kali mengalami perubahan, namun substansi Pasal 5 dan Pasal 6 dari Keputusan Menteri Perhubungan tidak mengalami perubahan,” tegasnya.

Indosat Bayar
Ditegaskannya. kewajiban Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) baik berupa up front fee seusai memenangkan tender layanan 3 G, Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Frekuensi Radio, BHP Jasa Telekomunikasi dan kontribusi Universal Service Obligation (USO) yang telah dilakukan oleh Indosat sesuai ketentuannya dan telah diaudit oleh pihak yang berwenang.

Sedangkan kewajiban IM2 adalah sebatas sebagai penyelenggara PJI, yaitu kewajiban pembayaran PNBP dalam hal BHP Telekomunikasi dan kontribusi USO.

Dikatakannya, instansinya selama ini sudah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh penyelenggara telekomunikasi sesuai dasar hukum pada sejumlah peraturan yang ada, seperti misalnya pelaksanaan interkoneksi, kualitas layanan, sewa jaringan, kemungkinan ada tidaknya interferensi, TKDN, penggelaran jaringan dan lain sebagainya.

”Kami berharap agar masalah hukum ini dapat diselesaikan sesuai ketentuan yang ada. Artinya, jika memang ada bukti pelanggaran hukum, maka kepada pihak aparat penegak hukum diharapkan tetap memproses penyidikannya. Akan tetapi, jika tidak ada bukti pelanggaran hukum, maka kepada aparat penegak hukum diharapkan segera menyampaikan klarifikasi hukum secepatnya agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi industri telekomunikasi,” katanya.

Gegabah
Praktisi telematika M.S Manggalany menyarankan, para penegak hukum tidak gegabah dalam melihat satu model bisnis di industri TIK dan langsung menyatakan bersalah tanpa memahami UU yang mengayominya.

Chairman Sharing Vision Dimitri Mahayana meminta para penegak hukum harus konsisten memberikan kepastian, bukan semangatnya seperti mencari-cari kesalahan, terus menggunakan berbagai regulasi untuk menjerat pebisnis TIK. ”Ini namanya inkonsisten dan membahayakan arus investasi,” katanya.

Sementara Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Sammy Pangerapan menjelaskan, bisnis PJI meramu IP transit dan local loop atau last mile, dikemas menjadi sebuah layanan yang bernama akses internet. IP Transit yang menyambungkan PJI dengan jaringan internet dunia, last mile itu menyambungkan PJI dengan pelanggan.

”Ini stuktur industri internet. Jadinya, jika dipaksakan logika Kejakgung, bisa terancam semua PJI. Padahal aturan semuanya sudah jelas diikuti, sekarang logika hukumnya juga harus ada mendukung industri,” tegasnya.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year