Langkah kuda Arsari Group di telekomunikasi

Pembentukan perusahaan patungan antara Indosat Ooredoo Hutchison dan Arsari Group untuk mengelola aset serat optik menandai satu fase baru dalam lanskap industri telekomunikasi Indonesia.

Kerja sama ini tidak hanya berbicara soal monetisasi aset atau efisiensi struktur modal, tetapi juga mengindikasikan pergeseran pusat gravitasi industri menuju infrastruktur digital sebagai aset strategis jangka panjang.

Dikelolanya jaringan fiber ke dalam entitas terpisah yang dirancang lebih terbuka dan siap bermitra (agnostik), menegaskan langkah keduanya bahwa perebutan nilai di sektor telekomunikasi kini bergerak ke lapisan paling dasar yaitu jalur data.

Sebelumnya, Arsari Group sudah bergerak dengan senyap di industri telekomunikasi melalui PT Solusi Sinergi Digital Tbk (SURGE). Jika kerja sama dengan Indosat memosisikan Arsari di hulu sebagai pengelola tulang punggung jaringan fiber nasional, maka SURGE berfungsi sebagai lengan operasional yang menjangkau pasar akhir.

Melalui anak usahanya, SURGE tercatat sebagai pemenang lelang frekuensi 1,4 GHz, pita spektrum yang dirancang untuk layanan broadband berkapasitas besar dengan jangkauan luas dan efisiensi biaya. Penguasaan spektrum ini memberi Arsari akses langsung ke infrastruktur nirkabel yang relevan untuk penetrasi pasar massal, khususnya segmen rumah tangga dan wilayah yang belum terlayani optimal oleh jaringan tetap.

Masuknya Arsari Group ke bisnis telekomunikasi tidak terjadi dengan gaduh, tidak melalui akuisisi operator ritel, dan tidak pula lewat perang tarif yang melelahkan.

Langkahnya justru menyerupai manuver kuda dalam permainan catur yakni senyap, melompat dari sudut yang tak terduga, namun langsung mengancam pusat permainan.

Ketika banyak pihak masih memandang fiber optik sebagai infrastruktur pendukung layanan telekomunikasi, Arsari membaca arah angin berbeda, di era kecerdasan buatan, serat optik adalah tulang punggung kekuasaan ekonomi digital.

Strategi yang kini mulai terbuka ke publik menunjukkan bahwa Arsari tidak menempatkan fiber sebagai bisnis pelengkap, melainkan sebagai fondasi. Serat optik diperlakukan sebagai jalur utama ekonomi data, tempat mengalirnya lalu lintas AI, komputasi awan, hyperscaler, layanan enterprise, hingga aplikasi publik digital. Dengan pendekatan ini, Arsari tidak masuk sebagai operator yang berhadapan langsung dengan konsumen, tetapi sebagai pemilik dan pengelola infrastruktur yang menopang seluruh ekosistem. Posisi ini memberi jarak dari volatilitas pasar ritel sekaligus menghadirkan daya tawar jangka panjang yang lebih stabil.

Pendekatan tersebut kontras jika dibandingkan dengan Sinar Mas Group melalui DSSA yang menjadi pengendali entitas dari merger Moratelindo, dan MyRepublic.

Sinar Mas membangun kekuatan telekomunikasi secara bertahap dan terintegrasi, menggabungkan backbone fiber, layanan broadband ritel, serta infrastruktur data center. Model ini telah membuktikan ketangguhannya dalam menciptakan arus kas dan skala ekonomi, namun tetap sangat terikat pada dinamika persaingan layanan ke pelanggan akhir. Pertumbuhan MyRepublic, misalnya, tetap bergantung pada penetrasi rumah tangga, sensitivitas harga, dan kualitas layanan last mile.

Telkom Indonesia, melalui langkah pemisahan aset ke InfraNexia, berada pada spektrum lain. Sebagai incumbent, Telkom membawa skala yang jauh lebih besar dan jangkauan nasional yang nyaris tak tertandingi. InfraNexia dirancang untuk membuka nilai tersembunyi dari aset fiber Telkom sekaligus meningkatkan transparansi dan efisiensi. Namun Telkom juga memikul peran ganda sebagai entitas bisnis dan perpanjangan kebijakan negara. Mandat layanan universal, pengawasan ketat regulator, dan ekspektasi publik membuat setiap langkah Telkom harus melalui kompromi antara kepentingan komersial dan nasional.

Di antara dua model tersebut, Arsari justru memiliki ruang gerak yang lebih fleksibel. Ia tidak memikul beban historis seperti Telkom, namun juga tidak sepenuhnya terikat pada pasar ritel seperti Sinar Mas. Dengan masuk melalui kemitraan strategis dan pendekatan hulu, Arsari bisa merancang arsitektur bisnis sejak awal sesuai kebutuhan era AI yakni open access, siap bermitra dengan berbagai operator, serta terintegrasi dengan kebutuhan energi dan komputasi.

Keunikan lain dari strategi Arsari terletak pada visinya yang huluhilir lintas sektor. Fiber tidak berdiri sendiri, tetapi dikaitkan dengan kebutuhan energi bersih dan infrastruktur pendukung AI yang intensif daya. Dalam ekonomi digital masa depan, konektivitas dan energi adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Arsari, dengan portofolio bisnis yang bersinggungan langsung dengan sektor energi dan sumber daya, memiliki peluang menyatukan dua kebutuhan ini dalam satu ekosistem nilai. Ini adalah sesuatu yang relatif sulit ditiru oleh operator telekomunikasi murni.

Faktor yang tidak bisa diabaikan dalam membaca peluang Arsari adalah konteks kebijakan dan arah pembangunan nasional. Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mendorong transformasi digital, penguatan ekonomi berbasis data, serta pengembangan ekosistem AI dan pusat data. Entitas yang mampu menyediakan infrastruktur siap pakai, skalabel, dan selaras dengan agenda tersebut akan berada di posisi strategis. Dalam konteks inilah, kedekatan visi Arsari dengan arah kebijakan nasional menjadi keunggulan tersendiri, bukan dalam arti privilese, tetapi dalam keselarasan strategi.

Keuntungan ini tentu datang dengan konsekuensi. Semakin strategis posisi sebuah entitas, semakin besar pula ekspektasi transparansi dan akuntabilitasnya. Arsari akan berada di bawah sorotan regulator, pelaku industri, dan publik. Prinsip keterbukaan akses, keadilan tarif, serta netralitas layanan akan menjadi ujian utama. Jika gagal menjaga keseimbangan ini, keunggulan awal justru bisa berubah menjadi hambatan reputasi dan regulasi.

Namun bila dikelola dengan disiplin, peluang Arsari terbuka lebar. Dibandingkan DSSA yang kuat di ritel dan Telkom yang dominan namun sarat mandat, Arsari berpotensi menempati posisi sebagai penyedia infrastruktur digital generasi baru: tidak hanya besar, tetapi relevan dengan kebutuhan AI dan ekonomi data.

Dalam peta ini, Arsari tidak perlu mengalahkan Telkom atau Sinar Mas secara langsung. Cukup dengan menjadi simpul penting yang dibutuhkan oleh keduanya, serta oleh pemain lain yang ingin tumbuh tanpa membangun jaringan dari nol.

Pada akhirnya, langkah Arsari Group di bisnis telekomunikasi adalah refleksi dari perubahan besar industri ini. Telekomunikasi tidak lagi sekadar soal layanan suara dan data, melainkan soal siapa yang menguasai jalur utama ekonomi digital.

Di era AI, pemenang bukanlah mereka yang paling keras bersuara di pasar ritel, tetapi mereka yang mengendalikan fondasi tempat seluruh ekosistem berdiri.

Arsari tampaknya memahami hal ini sejak awal. Hal yang perlu ditunggu adalah akhir dari langkah kuda menjadi ancaman serius bagi pemain lama atau justru menjadi mitra strategis bagi banyak pihak, akan sangat ditentukan oleh konsistensi, tata kelola, dan kemampuannya menjaga jarak sehat antara bisnis, kebijakan, dan kepentingan publik.

@IndoTelko