Tahun 2025 jadi momentum industri Fintech perkuat fondasi keberlanjutan

JAKARTA (IndoTelko) - Indonesia Fintech Society (IFSoc) menilai bahwa tahun 2025 menjadi momentum penting bagi industri fintech Indonesia untuk memperkuat fondasi keberlanjutan, tidak hanya melalui inovasi, tetapi juga lewat tata kelola, perlindungan konsumen, dan kepercayaan publik. Hal ini disampaikan dalam kegiatan Catatan Akhir Tahun 2025 yang diselenggarakan pada Jumat, 19 Desember 2025.

Ketua IFSoc Rudiantara mengungkapkan, pertumbuhan fintech yang pesat harus diiringi dengan peningkatan kualitas pengelolaan industri. Skala industri fintech Indonesia saat ini sudah sangat signifikan dan terintegrasi dengan sistem keuangan nasional.

“Karena itu, fokus kita tidak bisa lagi hanya pada pertumbuhan dan inovasi, tetapi juga pada tata kelola, perlindungan konsumen, dan kepercayaan publik. Tanpa fondasi tersebut, pertumbuhan justru akan menciptakan risiko baru bagi ekosistem,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika 2014 - 2019.

Dalam Catatan Akhir Tahun 2025 ini, IFSoc menyoroti lima isu utama yang dinilai akan menentukan arah industri fintech Indonesia ke depan.

Sementara, Anggota Steering Committee IFSoc Hendri Saparini menekankan bahwa pinjaman daring (pindar) memiliki peran sosial dan ekonomi yang semakin penting, terutama bagi UMKM dan masyarakat yang belum terjangkau layanan perbankan.

“Pindar berperan mengisi celah pembiayaan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh perbankan, dimana pindar sudah mulai berhasil menjadi solusi bagi masalah laten mengenai akses pembiayaan untuk segmen unbanked & underbanked. Kalau dilihat by data per September 2025, outstanding KUR turun, tetapi justru Pindar naik. Oleh karena itu, kebijakan terhadap pindar perlu dirancang secara seimbang, agar perlindungan konsumen tetap terjaga tanpa mematikan keberlanjutan industri yang justru dibutuhkan masyarakat,” katanya.

Terkait dugaan kartel suku bunga oleh KPPU, Hendri menambahkan bahwa penetapan batas atas bunga merupakan arahan OJK dan bagian dari kebijakan perlindungan konsumen, dengan tren bunga yang terus menurun.

Hendri menambahkan, fakta menunjukkan bahwa batas suku bunga justru semakin rendah dari waktu ke waktu dan memberikan manfaat bagi peminjam. Proses hukum tentu perlu dihormati, namun penting agar penilaian dilakukan secara komprehensif dengan melihat konteks kebijakan dan dinamika industri.

Sedangkan Anggota Steering Committee IFSoc Tirta Segara mengatakan, fraud dan penipuan digital masih menjadi tantangan besar di tengah perkembangan teknologi dan rendahnya literasi keuangan.

“Inisiatif seperti Indonesia Anti Scam Center (IASC) dan Satgas PASTI sudah berada di jalur yang tepat dan menunjukkan hasil yang konkret. Ini adalah langkah penting untuk mempersempit ruang gerak pelaku fraud dan melindungi masyarakat,” ujarnya.

Tirta menilai tantangan berikutnya terletak pada aspek kecepatan dan efektivitas penanganan. “Ke depan, fokusnya tidak hanya pada koordinasi, tetapi juga pada percepatan respons dan penyederhanaan prosedur. Proses pasca-pemblokiran rekening perlu dibuat lebih efisien agar pemulihan dana korban tidak memakan waktu terlalu lama,” tambahnya.

Di kesempatan yang sama, anggota Steering Committee IFSoc Dyah N.K. Makhijani menilai pengembangan QRIS Crossborder sebagai langkah strategis dalam memperkuat sistem pembayaran nasional sekaligus mendorong integrasi ekonomi regional.

“QRIS Crossborder menunjukkan bahwa Indonesia mampu membangun sistem pembayaran yang inklusif, efisien, dan berdaya saing. Inisiatif ini tidak hanya memudahkan transaksi lintas negara, tetapi juga mendukung UMKM dan sektor pariwisata,” jelasnya.

Dyah menambahkan, interoperabilitas QR antarnegara juga menegaskan keterbukaan Indonesia terhadap kerja sama internasional.

“Selama integrasi dilakukan dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, kerja sama regional justru akan memperkuat posisi Indonesia dalam ekosistem pembayaran global. Indonesia selalu terbuka untuk kolaborasi demi kepentingan nasional,” katanya.

Pun Anggota Steering Committee IFSoc Karaniya Dharmasaputra ikut menyoroti kesiapan Indonesia memasuki era AI (kecerdasan buatan) akan semakin memiliki nilai strategis ke depan.

“Indonesia merupakan negara ke-2 dalam tingkat adopsi AI di Asia Pasifik, akan tapi masih jauh tertinggal dalam hal investasi, infrastruktur dan utilisasi AI untuk frontline products, kebanyakan masih di wilayah back office,” ujarnya.

“Tingkat perkembangan AI di Indonesia masih dalam tahap balita (infancy), untuk itu IFSOC memandang diperlukan adanya dorongan pemerintah yang lebih kuat untuk membentuk ekosistem yang mendukung bagi perkembangan sektor yang sangat strategis ini dalam hal regulasi, inovasi, bisnis, literasi, keamanan, perlindungan konsumen, dan kedaulatan negara,” terangnya.

Karaniya menggarisbawahi bahwa laju investasi AI di Indonesia juga perlu ditingkatkan, karena data menunjukkan Indonesia masih ketinggalan dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam, apalagi Malaysia.

Ditambahkan Anggota Steering Committee IFSoc Eddi Danusaputro, isu tata kelola memiliki dampak langsung terhadap kepercayaan investor dan keberlanjutan ekosistem startup.

“Penurunan pendanaan startup menjadi sinyal bahwa pasar semakin memperhatikan kualitas tata kelola dan transparansi perusahaan teknologi. Ini bukan lagi isu internal, tetapi persoalan kepercayaan ekosistem,” ujarnya.

Ditegaskan Eddi, perbaikan tata kelola harus dilakukan secara kolektif. Penguatan governansi memang harus dimulai dari perusahaan, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada kualitas pengawasan, infrastruktur regulasi, dan profesipenunjang. Karena itu, perbaikan tata kelola harus terjadi di seluruh pemangku kepentingan dan ekosistem. (mas)