InfraNexia, spin-off atau spin-doff?

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) secara resmi memisahkan bisnis dan aset jaringan fiber optiknya ke entitas baru bernama PT Telkom Infrastruktur Indonesia atau InfraNexia sebagai bagian dari strategi transformasi jangka panjang perusahaan.

Langkah korporasi ini menandai perubahan penting dalam cara Telkom menata bisnisnya, dari model terintegrasi yang menempatkan infrastruktur sebagai penopang layanan, menuju pendekatan baru yang memosisikan jaringan sebagai sumber nilai tersendiri.

Dengan nilai aset yang diproyeksikan mencapai sekitar Rp90 triliun setelah seluruh proses spin-off rampung, InfraNexia segera menjadi salah satu pengelola infrastruktur digital terbesar di Indonesia, sekaligus menghadirkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas pemisahan ini dalam menciptakan nilai ekonomi dan publik.

Langkah Telkom ini sejatinya mengikuti jejak praktik global. Singtel di Singapura telah memisahkan jaringan fiber ke NetLink Trust dan secara bertahap melepaskan kepemilikan mayoritasnya, menciptakan entitas infrastruktur yang independen dan dipercaya pasar.

Axiata juga menempuh jalur serupa melalui EDOTCO dengan memisahkan bisnis menara dan membuka kepemilikan ke investor strategis, yang kemudian tumbuh agresif lintas negara.

Pelajaran dari kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa nilai baru benar-benar tercipta ketika induk usaha berani memberi ruang kemandirian dan menerapkan tata kelola yang profesional, bukan sekadar memindahkan aset.

Bagi Telkom, spin-off InfraNexia bukan sekadar pemindahan aset di atas kertas, melainkan upaya menjawab tantangan struktural industri telekomunikasi yang semakin padat modal dan kompetitif.

Infrastruktur fiber optik membutuhkan investasi besar dengan periode pengembalian panjang, sementara tekanan terhadap harga layanan dan tuntutan kualitas jaringan terus meningkat. Dalam konteks itu, memisahkan infrastruktur ke entitas khusus dipandang sebagai cara untuk meningkatkan fokus, efisiensi, dan fleksibilitas pembiayaan.

Namun pengalaman global menunjukkan bahwa keberhasilan strategi semacam ini tidak ditentukan oleh besarnya aset yang dialihkan, melainkan oleh perubahan nyata dalam model bisnis dan tata kelola.

Unlock Value
Dari sudut pandang investor, spin-off InfraNexia secara teori membuka peluang untuk mengungkap nilai tersembunyi (unlock value) yang selama ini tertanam di neraca Telkom.

Aset infrastruktur yang besar dan stabil kerap sulit diapresiasi pasar ketika bercampur dengan bisnis layanan yang lebih fluktuatif.

Dengan pemisahan ini, Telkom berharap dapat menampilkan profil keuangan yang lebih ramping, sementara InfraNexia berpotensi berkembang sebagai perusahaan infrastruktur dengan arus kas jangka panjang yang lebih terprediksi.

Namun dalam jangka pendek, dampak finansialnya cenderung terbatas. Pendapatan InfraNexia pada fase awal tetap berasal dari TelkomGroup, sehingga secara konsolidasi tidak terjadi pertumbuhan pendapatan baru yang signifikan. Transaksi hanya berubah bentuk dari internal menjadi antar-entitas dalam satu grup.

Meski demikian, ada implikasi keuangan yang patut dicermati. Pemisahan ini berpotensi memperbaiki margin operasional Telkom karena beban penyusutan dan belanja modal jaringan berat terfokus di InfraNexia.

Rasio pengembalian modal Telkom juga dapat terlihat lebih sehat jika InfraNexia mampu mengelola asetnya dengan disiplin tarif dan kontrak jangka panjang yang jelas. Namun investor akan menuntut lebih dari sekadar perbaikan rasio. Tanpa basis pelanggan eksternal yang kuat dan model bisnis wholesale yang transparan, InfraNexia berisiko menjadi sekadar perpanjangan internal Telkom dengan wajah baru.

Wacana membawa InfraNexia ke pasar modal melalui penawaran umum perdana turut menambah lapisan ekspektasi. Pengalaman di sektor infrastruktur menunjukkan bahwa pasar menghargai kepastian arus kas dan tata kelola yang independen, bukan sekadar narasi pertumbuhan.

Jika IPO dilakukan sebelum InfraNexia membuktikan kemandirian komersialnya, risiko kekecewaan investor akan meningkat. Di titik inilah disiplin korporasi Telkom diuji, apakah akan menjadikan IPO sebagai tujuan atau sebagai konsekuensi alami dari kematangan bisnis.

Bagi regulator, kehadiran InfraNexia menghadirkan dilema klasik antara efisiensi dan keadilan akses.

Di satu sisi, pemisahan entitas infrastruktur berpotensi menurunkan duplikasi jaringan, mendorong berbagi infrastruktur, dan mempercepat pemerataan akses broadband.

Di sisi lain, konsentrasi aset fiber nasional pada satu entitas yang hampir sepenuhnya dimiliki Telkom memunculkan risiko dominasi baru. Infrastruktur fiber, khususnya backbone dan last mile, memiliki karakter sebagai fasilitas esensial. Tanpa prinsip netralitas yang kuat, spin-off justru dapat memperkuat posisi dominan Telkom alih-alih menciptakan persaingan yang lebih sehat.

Dalam konteks ini, peran regulator menjadi krusial. Pengawasan terhadap tarif, akses, dan kualitas layanan harus dilakukan secara konsisten dan transparan.

InfraNexia perlu diposisikan sebagai penyedia infrastruktur netral yang melayani seluruh pelaku industri dengan standar yang sama. Tanpa kerangka regulasi yang tegas, potensi praktik diskriminatif atau subsidi silang terselubung akan sulit dihindari dan pada akhirnya merugikan ekosistem digital secara keseluruhan.

Bagi kompetitor Telkom, InfraNexia menawarkan peluang sekaligus kekhawatiran. Sebagai penyedia fiber wholesale berskala besar, InfraNexia dapat membantu operator lain dan ISP mengurangi kebutuhan belanja modal dan mempercepat ekspansi layanan.

Namun peluang tersebut hanya nyata jika InfraNexia benar-benar bersikap netral. Ketergantungan pada infrastruktur yang dikelola entitas afiliasi pesaing utama tentu menimbulkan kehati-hatian. Dalam jangka menengah, tingkat adopsi layanan InfraNexia oleh pelaku non-TelkomGroup akan menjadi indikator paling jujur tentang seberapa kredibel janji netralitas yang ditawarkan.

Dari sisi pelanggan, baik ritel maupun korporasi, spin-off InfraNexia mungkin tidak langsung terasa. Tidak ada perubahan merek atau paket layanan yang signifikan. Namun dampaknya akan tercermin dalam kualitas jaringan.

Jika dikelola dengan fokus dan profesional, InfraNexia berpotensi menghadirkan jaringan yang lebih andal, pemeliharaan yang lebih terstruktur, dan ekspansi yang lebih cepat. Sebaliknya, jika koordinasi antar-entitas tidak solid, pelanggan justru berisiko menghadapi perlambatan penanganan gangguan dan ketidakjelasan tanggung jawab operasional.

Aspek lain yang kerap luput dari sorotan adalah dampak spin-off terhadap sumber daya manusia.

Pemisahan InfraNexia berarti perubahan budaya kerja bagi ribuan tenaga teknis yang selama ini berada dalam ekosistem Telkom.

Perusahaan infrastruktur menuntut pendekatan berbeda, lebih berorientasi pada keandalan aset, efisiensi operasional, dan disiplin investasi jangka panjang. Tanpa desain manajemen SDM yang jelas, risiko kehilangan talenta dan kebingungan jalur karier menjadi nyata. Namun jika dikelola dengan baik, InfraNexia justru berpotensi menjadi pusat keunggulan infrastruktur digital nasional.

Keberhasilan InfraNexia pada akhirnya akan diuji oleh pasar, bukan oleh struktur korporasi. Entitas ini hanya akan relevan jika mampu beroperasi sebagai penyedia fiber wholesale yang netral, transparan, dan kompetitif, dengan basis permintaan yang tidak bergantung sepenuhnya pada TelkomGroup.

Tanpa itu, pemisahan aset berisiko menjadi langkah kosmetik yang tidak banyak mengubah peta persaingan maupun nilai ekonomi di industri telekomunikasi.

@IndoTelko