T3 dan ujian kejujuran transformasi digital

Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menetapkan Terhubung, Tumbuh, Terjaga (T3) sebagai arah baru Indonesia Digital. Kebijakan ini menjadi landasan pembangunan digital nasional dalam Rencana Strategis Kemkomdigi 20252029.

Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan tema Terhubung, Tumbuh, Terjaga bukan sekadar slogan, melainkan kerangka prioritas pembangunan digital Indonesia ke depan.

Namun arah baru ini hadir di tengah kenyataan bahwa Indonesia sejatinya tidak kekurangan visi digital. Tantangan utamanya justru terletak pada pola eksekusi yang berulang dan kecenderungan menjadikan pembangunan digital sebagai rangkaian proyek, bukan sebagai transformasi sistemik.

Dalam pilar Terhubung dan Tumbuh, Kemkomdigi mendorong perluasan internet murah dan akses ke pelosok, pengembangan talenta digital, penerapan kerangka Etika AI dan Peta Jalan AI, hingga penguatan inovasi melalui Garuda Spark Innovation Hub.

Sedangkan dalam pilar Terjaga, Kemkomdigi akan memperkuat perlindungan masyarakat melalui perlindungan data pribadi, penguatan Pusat Data Nasional, serta penanganan konten berbahaya dan penipuan digital, hingga implementasi PP 17/2025 atau PP TUNAS.

Kemkomdigi menegaskan posisi sebagai orkestrator, enabler, dan akselerator, yang memastikan kebijakan dan implementasi digital berjalan selaras antara pusatdaerah, serta berkolaborasi dengan industri, operator, startup, UMKM, akademisi, komunitas, dan mitra global.

Di titik inilah arah Terhubung, Tumbuh, Terjaga perlu dibaca secara lebih jujur, bukan sebagai janji baru, melainkan sebagai refleksi atas apa yang belum bekerja.

Arah baru Indonesia Digital dengan tiga pilarnya bukan sebagai awal baru, melainkan sebagai titik evaluasi. Pasalnya, Indonesia sebenarnya tidak sedang kekurangan visi digital. Dalam satu dekade terakhir, negara ini telah menggelontorkan anggaran besar untuk membangun tulang punggung infrastruktur digital nasional.

Palapa Ring dibentangkan dari barat hingga timur sebagai simbol persatuan konektivitas. Satelit SATRIA-1 diluncurkan untuk menembus keterisolasian wilayah 3T. Pusat data nasional dirancang sebagai fondasi kedaulatan digital negara. Di atas kertas, Indonesia tampak siap melompat ke era digital yang matang.

Namun realitasnya jauh lebih rumit. Infrastruktur yang dibangun dengan biaya besar itu belum sepenuhnya bekerja sebagaimana dijanjikan. Kapasitas jaringan masih menganggur, layanan publik digital belum sepenuhnya bergantung padanya, dan kegagalan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) justru membuka fakta pahit, transformasi digital Indonesia lebih sibuk membangun aset fisik daripada membangun sistem, tata kelola, dan ekosistem pemanfaatannya.

Palapa Ring kerap disebut sebagai “tol langit” Indonesia, tetapi tol hanya bermakna jika ada lalu lintas. Di banyak wilayah, serat optik telah terbentang, namun aktivitas ekonomi digital tidak ikut tumbuh. Konektivitas tersedia, tetapi permintaan layanan digital tetap rendah. Pemerintah berhasil membangun jaringan, tetapi gagal secara sistemik menciptakan kebutuhan dan pemanfaatannya.

Konektivitas akhirnya berhenti sebagai capaian administratif, bukan sebagai pemicu perubahan cara kerja sektor publik dan ekonomi lokal.

Masalahnya bukan pada teknologinya, melainkan pada pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi proyek. Infrastruktur dibangun seolah menjadi tujuan akhir, bukan alat untuk mendorong transformasi sektor lain. Pendidikan, kesehatan, layanan publik, dan ekonomi lokal tidak dirancang sejak awal untuk “menghisap” kapasitas jaringan yang tersedia. Akibatnya, Palapa Ring berdiri sebagai monumen ambisi, bukan mesin produktivitas.

SATRIA-1 berpotensi mengulang pola yang sama. Satelit ini digadang-gadang menjadi solusi konektivitas daerah terpencil, tetapi tanpa kesiapan institusi pengguna, aplikasi layanan, serta anggaran operasional berkelanjutan, kapasitas satelit berisiko menjadi ruang kosong di orbit. Sekolah dan puskesmas tidak serta-merta berubah digital hanya karena bandwidth tersedia. Konektivitas tanpa konten, tanpa layanan, dan tanpa pendampingan hanyalah sinyal tanpa makna.

Tanpa desain pemanfaatan lintas kementerian dan jaminan keberlanjutan anggaran, risiko terbesar SATRIA-1 bukan pada teknologinya, melainkan pada absennya kepemilikan institusional.

Narasi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia selama ini terlalu lama bergantung pada kisah sukses startup dan besarnya valuasi. Kenyataannya, fase koreksi yang terjadi dalam dua tahun terakhir memperlihatkan fondasi yang rapuh. Ketika pendanaan mengetat, banyak model bisnis runtuh. PHK dan konsolidasi menjadi gejala bahwa pertumbuhan sebelumnya tidak dibangun di atas produktivitas, melainkan subsidi modal.

Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi digital tidak lagi cukup diukur dari valuasi dan jumlah startup, melainkan dari kemampuannya meningkatkan produktivitas sektor riil dan daya saing ekonomi daerah.

Di titik ini, infrastruktur digital negara seharusnya menjadi penopang restrukturisasi ekonomi digital menuju sektor yang lebih produktif. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kapasitas jaringan besar yang dibangun negara tidak secara strategis diarahkan untuk memperkuat industri lokal, UMKM daerah, atau transformasi sektor riil seperti pertanian, perikanan, dan manufaktur. Infrastruktur hadir, tetapi tidak diorkestrasikan untuk menopang industrialisasi digital.

Jika pilar “Tumbuh” terus dimaknai sebatas penambahan program talenta, inkubator, dan pusat inovasi, tanpa keberanian mengoreksi arah ekonomi digital nasional, maka yang tumbuh hanyalah aktivitas kebijakan, bukan nilai tambah ekonomi.

Gagalnya Pusat Data Nasional Sementara seharusnya menjadi peringatan keras. Bukan hanya soal gangguan layanan, tetapi tentang lemahnya tata kelola, manajemen risiko, dan ketergantungan sistemik pada pihak ketiga. Negara yang ingin mengamankan ruang digital warganya justru gagal mengamankan sistem digitalnya sendiri.

Keamanan digital negara tidak dimulai dari penertiban konten, tetapi dari ketahanan arsitektur sistem, kejelasan tata kelola, dan manajemen risiko yang disiplin.

Dalam konteks ini, penekanan pada regulasi konten, perlindungan anak, dan keamanan ruang digital akan terdengar timpang jika fondasi infrastrukturnya rapuh. Keamanan digital tidak dimulai dari penindakan, tetapi dari ketahanan sistem. Tanpa arsitektur data yang kuat, transparan, dan berlapis, seluruh narasi “Terjaga” akan terus berada di bawah bayang-bayang krisis kepercayaan.

Arah Terhubung, Tumbuh, Terjaga pada dasarnya konsisten dengan janji awal Menkomdigi dan selaras dengan Asta Cita. Tetapi konsistensi arah tidak otomatis berarti keberhasilan eksekusi. Tantangan utama Indonesia Digital hari ini bukan kekurangan visi, melainkan keberanian untuk berhenti mengulang pola lama.

Negara perlu menggeser fokus dari membangun infrastruktur baru ke memaksimalkan yang sudah ada, dari mengejar angka capaian ke membangun ekosistem pemanfaatan, dari memperluas regulasi ke memperkuat tata kelola. Tanpa itu, Indonesia hanya akan terus menambah daftar proyek digital besar dengan dampak yang kecil.

Tanpa keberanian mengoreksi pendekatan lama, arah baru Indonesia Digital berisiko hanya menjadi narasi baru di atas fondasi yang sama.

Transformasi digital sejatinya bukan tentang seberapa banyak yang dibangun, melainkan seberapa dalam ia mengubah cara negara bekerja dan ekonomi bergerak.

Di situlah ujian sesungguhnya bagi arah Indonesia Digital hari ini, bukan pada seberapa indah narasinya, tetapi pada seberapa jujur ia belajar dari kegagalan masa lalu.

@IndoTelko