Ini tren AI yang akan dominasi industri tahun depan

Ilustrasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) - Perkembangan otomasi dan teknologi industri di Asia Tenggara menjelang tahun 2026 bergerak semakin cepat. Para pemimpin teknologi di Analog Devices, Inc. (ADI) memproyeksikan bahwa tahun 2026 AI tidak lagi hanya akan berada dalam ekosistem digital, tetapi mulai beroperasi langsung di dunia fisik sekaligus membentuk cara industri merancang robotika, perangkat konsumen, dan sistem otonom di lini produksi.

Nilai pasar industri smart manufacturing yang diprediksi yang mencapai USD 13,4 miliar dolar AS pada 2024 memperlihatkan bagaimana berbagai sektor kini semakin bergantung pada sistem yang mampu membaca kondisi nyata di lapangan.

Menurut VP of Edge AI and Robotics ADI Paul Golding, 2026 akan menandai lahirnya Physical Intelligence, yaitu model AI yang mampu belajar dari fenomena nyata seperti getaran, suara, magnetik, dan gerakan.

“Berbeda dari generasi sebelumnya yang bergantung pada pusat data, model baru ini diperkirakan akan berpindah ke perangkat edge, yaitu komputasi yang dilakukan langsung di perangkat atau sensor tanpa harus mengirimkan data ke server pusat. Dengan begitu, AI mampu mengambil keputusan secara lokal dan menyesuaikan respons berdasarkan kondisi fisik di lingkungan sekitar,” katanya.

Ia mengatakan, kemampuan belajar cepat dari situasi baru ini, meski hanya diberi sedikit contoh, membuka peluang bagi sistem industri seperti robot pabrik bergerak untuk menangani hambatan tak terduga secara mandiri.

Diperkirakan Golding, peningkatan penggunaan hybrid world models, yang menyatukan penalaran matematis dan fisik dengan data sensor yang terfusi. Dengan pendekatan ini, model AI bukan lagi sekadar memetakan dunia, tetapi mampu berpartisipasi langsung, berinteraksi, dan belajar dari pengalamannya sendiri.

Di ranah perangkat konsumen, Golding melihat audio sebagai antarmuka AI utama pada 2026. Perpaduan spatial sound, sensor fusion, dan on-device reasoning akan mendorong hadirnya perangkat yang lebih kontekstual, mulai dari kacamata Augmented Reality hingga earbuds dan sistem audio kendaraan yang dapat menafsirkan niat, emosi, maupun kondisi lingkungan pengguna. Teknologi ini diperkirakan menghadirkan peningkatan signifikan dalam noise cancellation, daya tahan baterai, serta membuka peluang form factor baru.

“Tren perangkat ‘always-in-ear’, yang sudah berkembang di kalangan Gen Z, akan menguat seiring kemampuan AI menghadirkan pengalaman pendengaran yang lebih peka dan intuitif,” jelasnya.

Ia juga menyoroti kemunculan agentic AI, yaitu sistem yang tidak hanya memprediksi tetapi mampu mengambil tindakan melalui intervensi yang dilatih dalam simulasi berbasis fisika. Menurut dia, tahun 2026 akan menjadi momentum mainstream bagi digital twin, yang memperkaya model besar dengan pemahaman fisik. Dengan ini, sistem AI dapat mempelajari dinamika gaya dan tekanan dalam lingkungan simulasi sebelum diterapkan ke operasi nyata. Ia menggambarkan skenario industri di mana agen dapat menindaklanjuti prediksi kerusakan mesin secara otomatis, mengalihkan beban produksi ke mesin yang lebih sehat, menurunkan kapasitas mesin yang tertekan, hingga menyesuaikan inventori tanpa intervensi manusia.

Diprediksinya, munculnya micro-intelligence, yaitu model kecil dengan kemampuan penalaran dalam domain khusus yang cukup dalam namun tetap efisien untuk dijalankan di perangkat edge. Model ini mengisi celah antara sistem AI terprogram kaku di edge saat ini dan foundation model berskala besar, serta berpotensi menjadi orkestrator bagi berbagai agen cerdas yang mulai berkembang. Ia juga memprediksi akan muncul tolok ukur baru yang mengukur kecerdasan rekayasa kolaboratif untuk menyelesaikan masalah teknis secara praktis.

Sedangkan VP of Emergent AI ADI, Massimiliano Versace memproyeksikan, AI akan terdesentralisasi akan mulai diterapkan pada robotika humanoid generasi baru menjelang akhir 2026. “Penggabungan sensor cerdas, neuromorphic compute, dan in-memory compute langsung di dalam sensor memungkinkan sistem robotika semakin menyerupai mekanisme biologis, di mana refleks dan keseimbangan ditangani oleh sirkuit lokal. Hasilnya, pergerakan menjadi lebih mulus, adaptif, serta hemat daya. Pendekatan ini membebaskan prosesor pusat untuk fokus pada penalaran tingkat tinggi dan perencanaan jangka panjang,” jelasnya.

Ia menyoroti kebangkitan analog AI compute, yang kembali relevan seiring keterbatasan arsitektur digital dalam hal energi, latensi, dan memori. Dalam pendekatan analog, komputasi dilakukan langsung melalui fisika perangkat sensing dan computing, memungkinkan energi diproses secara langsung menjadi inferensi AI tanpa memisahkan proses sensing dari komputasi. Model ini membuka jalan bagi AI yang benar-benar dimulai dari sensor, menghadirkan respons real-time, interaksi yang lebih natural, serta masa pakai baterai yang lebih panjang. Teknologi ini diperkirakan mulai diterapkan pada robotika, perangkat wearable, dan aplikasi otonom pada akhir 2026.

Pandangan keduanya menekankan adanya pergeseran besar menuju otomasi yang semakin cerdas, dengan AI yang kian menyatu dengan kondisi fisik dunia nyata. Dengan berbekal keunggulan dalam mentransformasi fenomena fisik menjadi sinyal listrik, ADI berada di posisi strategis untuk menyaksikan dan membentuk perubahan tersebut secara langsung. Dengan warisan panjang di bidang sensor, edge processing, dan arsitektur komputasi generasi baru, perspektif para ahli ADI memberi gambaran jelas ke mana evolusi AI akan bergerak: lebih cepat, lebih efisien, dan terasa semakin natural memasuki 2026. (mas)