Indonesia sedang memburu target besar yakni mencapai pertumbuhan ekonomi 8% dan pemerataan pembangunan hingga wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar atau 3T.
Dalam berbagai forum, percepatan digitalisasi selalu dijadikan salah satu tulang punggung untuk mewujudkan ambisi itu.
Namun, setelah lebih satu dekade apakah digitalisasi kita sudah bergerak sebagai lompatan strategis atau masih sebatas deklarasi dan seremoni?
Di atas kertas, Indonesia sebenarnya punya momentum. Penetrasi internet sudah menyentuh lebih dari 80% populasi, pelaku usaha mikro semakin memanfaatkan ekosistem digital untuk berdagang, dan Indonesia kini menjadi negara pengguna AI terbesar ketiga di dunia.
Ini seharusnya menjadi modal yang mendongkrak ekonomi digital hingga berkontribusi 810% terhadap PDB, nilai yang secara proyeksi bisa melampaui US$100 miliar.
Masalahnya, percepatan digital bukan hanya soal pengumuman program besar. Ia membutuhkan konsistensi kebijakan, kehadiran infrastruktur yang siap pakai, dan kolaborasi industri yang nyata.
Digitalisasi tidak akan berjalan tanpa fondasi infrastruktur yang kuat dan kompetisi yang sehat.
Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah menyiapkan roadmap infrastruktur kabel laut, data center, fiber optic, lelang frekuensi 700 MHz dan 2,6 GHz, hingga perluasan jaringan 5G.
Tapi penguatan regulasi yang proopen access, berbasis kompetisi, dan memungkinkan infrastructure sharing yang bisa menjadi mesin peetumbuhan belum ideal. Padahal, tidak mungkin digitalisasi menjangkau desa-desa jika model bisnis jaringan tetap bertumpu pada eksklusivitas dan investasi yang berjalan sendiri-sendiri.
Perluasan jaringan 5G adalah contoh nyata. Jaringan ini sangat penting bagi pengembangan AI dan IoT, bahkan menjadi stimulus utama agar industri bisa lebih produktif sesuai agenda besar Asta Cita. Namun saat ini jangkauan nasional baru sebatas BaliJakarta. Untuk menjadi tulang punggung ekonomi, 5G membutuhkan perluasan backbone fiber nasional, yang belum tercapai.
Masalah yang sama terjadi pada penyedia jasa internet lokal. Delapan puluh delapan persen ISP lokal hanya mampu memberikan layanan terbatas karena terbentur akses infrastruktur dan skema biaya yang tidak kompetitif.
Digitalisasi tidak akan merata jika internet cepat hanya milik kota besar dan kawasan industri. Pemerataan tidak akan terjadi tanpa reformasi ekosistem industri yang memungkinkan kolaborasi antar-ISP dan RTRW Net dengan biaya wajar.
Di sisi lain, gelombang AI juga tidak boleh dibiarkan menjadi blessing in disguise.
Adopsi AI tanpa kesiapan SDM hanya akan membuat Indonesia menjadi konsumen bukan produsen. Penguatan infrastruktur inti seperti data center dan cloud menjadi mutlak, bukan sekadar pelengkap. Kedaulatan digital hanya mungkin dicapai apabila pemrosesan data dan pemanfaatan AI terjadi di dalam negeri, bukan seluruhnya digantungkan pada luar negeri.
Narasi penting lainnya adalah roadmap pemanfaatan. Membangun jaringan 5G tanpa strategi industrial sama saja dengan memiliki jalan tol tanpa kendaraan. AI, IoT, data center, dan jaringan generasi baru hanya akan berarti jika diarahkan untuk meningkatkan kolaborasi, efisiensi, dan produktivitas sektor industri nasional, mulai dari manufaktur, logistik, kesehatan, pertanian, hingga perikanan dan UMKM.
Pada titik inilah urgensi kolaborasi lintas pemangku kepentingan menemukan maknanya. Digitalisasi bukan hanya proyek pemerintah. Ia menuntut ekosistem yang saling menopang yakni pemerintah dengan regulasi terbuka, pelaku usaha dengan investasi yang terukur, ISP lokal dengan akses yang wajar, penyedia layanan cloud dan data center dengan standar kedaulatan digital, serta pelaku industri sebagai pengguna utama teknologi.
Digitalisasi tidak boleh berhenti menjadi slogan. Ia harus menjadi lompatan ekonomi yang dirasakan seluruh masyarakat.
Karena di era ekonomi digital, kompetisi sebuah bangsa ditentukan bukan oleh berapa banyak yang ia umumkan, tetapi seberapa cepat ia mengimplementasikan.
@IndoTelko