Konsumen Indonesia paling sabar di tengah ruwetnya era digital APAC

JAKARTA (IndoTelko) - Di tengah laju akselerasi digital yang menguji kesabaran konsumen di seluruh Asia Pasifik, konsumen Indonesia justru menunjukkan tren berbeda.

Riset terbaru dari Twilio (NYSE: TWLO), platform interaksi dengan pelanggan yang membantu brand-brand terkemuka dunia membangun hubungan real time dan terpersonalisasi dengan pelanggan mereka, mengungkap bahwa konsumen Indonesia memiliki tingkat kesabaran digital tertinggi dan pandangan yang sangat positif terhadap AI dalam layanan pelanggan.

Dalam studi bertajuk “Decoding Digital Patience: Are Asia Pacific’s Digital Users Losing Their Cool?” (Mengurai Kesabaran Digital: Apakah Pengguna Layanan Digital di Asia Pasifik Mulai Kehabisan Kesabaran?), terungkap bahwa konsumen Indonesia merupakan yang paling sabar (85%) di kawasan Asia Pasifik & Jepang (APJ) dalam interaksi dengan brand melalui saluran digital atau saluran otomatis.

Filipina menempati posisi berikutnya, dengan 76% konsumen yang menunjukkan kesabaran dalam interaksi digital. Statistik ini sangat bertolak belakang dengan temuan di Australia, Hong Kong, India, dan Jepang, di mana tingkat kesabaran berkisar antara 60% hingga 65%, apalagi jika dibandingkan dengan Singapura dengan konsumen yang paling tidak sabaran (59%).

Tingkat toleransi yang tinggi ini disumbangkan oleh konsumen berusia muda, khususnya Gen Z yang lebih sabar dalam mengakses layanan pelanggan berbasis digital atau otomatis (73%), dibanding Gen X dan Baby Boomers (64%). Kesenjangan antargenerasi ini menegaskan tingkat keakraban dan penerimaan yang lebih tinggi di kalangan konsumen usia muda terhadap layanan serba digital.

Kendati sabar secara umum, tingkat toleransi konsumen Indonesia juga bersifat kontekstual, meningkat tajam untuk masalah-masalah kompleks berisiko tinggi, tetapi cepat menurun untuk kerumitan layanan rutin.

Ketika menghadapi masalah yang pelik atau penting seperti terkait layanan kesehatan, tingkat kesabaran amat tinggi. Tercatat, 81% konsumen mampu tetap sabar ketika mengajukan pertanyaan lanjutan setelah konsultasi dengan dokter, mencerminkan pemahaman bahwa masalah kesehatan memerlukan respons yang cermat dan mendalam.

Sebaliknya, toleransi konsumen Indonesia akan menurun ketika menghadapi masalah yang mendesak terkait ritel dan teknologi. Hanya 63% mengatakan akan tetap sabar, sedikit lebih rendah dari tingkat kesabaran konsumen Filipina (66%) yang paling sabar ketika menghubungi layanan pelanggan untuk melaporkan bahwa barang penting gagal dikirim tepat waktu.

Meski begitu, konsumen Indonesia masih termasuk yang paling sabar di kawasan APJ. Bandingkan dengan 59% konsumen APJ yang berusaha keras untuk tetap sabar dalam situasi serupa. Di pasar yang sudah sangat matang seperti Jepang dan Singapura, tingkat kesabaran bahkan merosot ke angka 51% dan 52%.

Pola yang sama teramati ketika konsumen harus mengadukan gangguan layanan teknologi atau telekomunikasi. Tingkat kesabaran dalam situasi ini mencapai 69% di antara konsumen Indonesia ini jauh lebih tinggi dari Jepang (51%) dan Singapura (54%), bahkan masih lebih tinggi dari rata-rata kawasan yakni sebesar 62%. Angka-angka ini menyoroti istimewanya tingkat kesabaran konsumen Indonesia, bahkan meski di beberapa situasi yang melibatkan transaksi penting dan mendesak ini tampak terjadi penurunan kesabaran.

Studi Twilio ini menemukan bahwa konsumen Indonesia memiliki toleransi rendah terhadap hambatan dalam tahap awal atau pendaftaran untuk suatu layanan. Lebih dari separuh (53%) konsumen Indonesia tertinggi di APJ mengaku akan mempertimbangkan ulang apakah mereka benar-benar butuh atau menginginkan suatu aplikasi atau layanan jika proses pendaftarannya terlalu panjang atau berbelit-belit.

Kesan pertama yang buruk ini tidak hanya memengaruhi konversi, melainkan juga tingkat kepercayaan: seperlima (23%) dari 53% konsumen tadimengatakan kepercayaan mereka terhadap kemampuan suatu brand menjamin keamanan dan data menjadi hilang akibat proses pendaftaran yang berbelit-belit.

Konsumen Indonesia menunjukkan keterbukaan dan toleransi yang tinggi terhadap alat pendukung layanan pelanggan berbasis AI. Ada satu temuan yang membuat Indonesia benar-benar mencolok di antara negara lain di kawasan APJ: lebih dari separuh konsumen Indonesia (52%) mengatakan bahwa penerapan AI justru membuat mereka lebih sabar karena mereka “memahami bahwa AI dirancang untuk membantu, dan untuk itu diperlukan waktu lebih lama”. Ini sungguh sebuah sentimen yang amat positif, dan tingkat toleransi konsumen Indonesia ini jauh di atas rata-rata APJ yakni 30%, apalagi dibandingkan Jepang yang hanya 15% konsumennya memiliki pendapat sama.

Namun, toleransi yang tinggi ini tidak serta-merta berarti konsumen merasa puas. Dari begitu banyak konsumen Indonesia (78%) yang sudah pernah berinteraksi setidaknya sekali dengan alat layanan pelanggan berbasis AI, hanya 42% menyatakan puas. Sementara, 46% memiliki sikap netral, artinya bagi mereka pengalaman dengan alat AI ini biasa saja, tidak ada yang istimewa. Fakta ini dapat dipandang sebagai peluang bagi brand untuk memenangkan hati pelanggan dengan cara memperbaiki mutu interaksi berbasis AI, baik melalui percakapan suara maupun dengan chatbot.

Masalah utama terkait agen AI yang paling sering dikeluhkan masih berakar pada fungsi dasar dan empati: konsumen mengaku paling frustrasi saat diberikan respons yang terbatas atau generik (39%), saat interaksi terasa terprogram atau robotik (37%), dan saat AI gagal memahami pertanyaan mereka (27%).

Meskipun memiliki toleransi tinggi terhadap AI, preferensi kuat terhadap koneksi manusia tetap ada. Hampir setengah dari konsumen Indonesia (42%) memilih untuk memulai percakapan langsung dengan agen manusia, meskipun itu memakan waktu lebih lama, terutama saat isu tersebut pelik atau sensitif (43%) atau berkaitan dengan keamanan atau privasi (37%). Hal ini mengindikasikan adanya ketergantungan kuat pada agen manusia untuk interaksi berisiko tinggi atau interaksi yang membutuhkan nuansa emosional.

Keamanan dan perlindungan data muncul sebagai prioritas utama bagi konsumen Indonesia, bahkan kerap mengalahkan kecepatan layanan.

Menurut Vice President, APJ, Communications di Twilio, Robert Woolfrey, Indonesia secara konsisten tampil menonjol sebagai salah satu pasar digital paling terhubung di dunia, berada di peringkat teratas secara global untuk adopsi media sosial dan seluler. “Dari konsumen di negara ini, brand menerima hadiah berupa kesabaran dan keterbukaan terhadap teknologi baru seperti AI. Namun, konsumen juga memiliki tuntutan yang jelas akan keamanan dan pengalaman awal yang mulus, sebagai fondasi yang tidak dapat ditawar untuk membangun kepercayaan,” jelasnya.

Ia menambahkan, brand harus memanfaatkan AI untuk memberikan interaksi yang lebih jelas dan personal, sekaligus memastikan perlindungan data yang kuat. Tingginya tingkat keterlibatan dan toleransi digital ini menghadirkan peluang nyata bagi brand untuk membangun hubungan yang lebih empatik dan tepercaya dengan konsumen Indonesia. (mas)