Mencari jalan pulang Telkom dari investasi GoTo

Isu rencana aksi korporasi antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) dan Grab kembali memanas dalam sepekan terakhir.

Bedanya, kali ini sinyalnya bukan berasal dari bisik-bisik pasar, melainkan dari Istana. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengakui adanya pembahasan lintas entitas mengenai masa depan kedua perusahaan teknologi raksasa itu.

Istana memiliki alasan untuk membuka isu ini karena tengah ada pembahasan penyusunan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang ojek daring. Pemerintah ingin menyeimbangkan kepentingan mitra pengemudi dan perusahaan aplikator, termasuk dalam hal kebijakan tarif layanan serta keberlanjutan ekosistem transportasi daring.

Namun publik membaca maksud lain dari tujuan pemerintah. Pasalnya dalam upaya penggabungan dua raksasa transportasi online itu, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara bakal ikut memainkan peran.

Bagi pemain di pasar saham, jelas bahwa yang sedang dimainkan bukan sekadar konsolidasi bisnis. Ada kepentingan negara yang bekerja karena pusat pusaran itu salah satu bebannya adalah investasi Telkomsel di GOTO senilai sekitar Rp6,4 triliun.

Sejak Telkomsel menanamkan modal sekitar US$450 juta ke Gojek pada 20202021, dan kemudian bertransformasi menjadi bagian dari GOTO, nilai investasi ini terus bergerak ke arah yang tak diharapkan.

Laporan keuangan menunjukkan gambaran menyedihkan. Telkom mencatat unrealized loss signifikan dari saham GOTO, angka-angka yang tercatat fluktuatif, dari ratusan miliar rupiah hingga akumulasi besar ketika harga pasar jatuh.

Pada beberapa periode tercatat unrealized loss di kisaran ratusan miliar rupiah. Mulai dari sekitar Rp854 miliar pada semester I 2024 ketika harga GOTO menyentuh Rp50/lembar), sementara ada pula periode kecil unrealized gain (sekitar Rp308 miliar saat fair value terindikasi Rp83/lembar pada Maret 2025).

Karena Telkom mengukur investasi ini lewat mekanisme fair value through profit or loss, setiap fluktuasi langsung memakan laba konsolidasi, dimana ini menjadi dasar dividen negara, dan sekaligus mengikis ekuitas perusahaan.

Singkat kata, apa pun yang terjadi pada GOTO kini bukan sekadar persoalan portofolio tetapi ini masalah fiskal yang nyata.

Di sisi lain, kinerja operasional GOTO belum menunjukkan pemulihan struktural yang meyakinkan. Meskipun ada perbaikan GTV dan upaya efisiensi, akumulasi rugi historis masih besar. Grab relatif lebih stabil, dimana melaporkan pendapatan dan adjusted EBITDA yang lebih baik pada beberapa kuartal terakhir, tetapi tekanan likuiditas investor global, terutama pemegang lintas portofolio seperti SoftBank, tetap menjadi faktor penentu dinamika pasar.

Terlepas dari itu, ketika isu merger dan keterlibatan Danantara merebak belakanga ini, harga saham GOTO langsung merespons.

Dalam rentang waktu isu itu mencuat hingga 14 November 2025, saham GOTO bergerak dari kisaran Rp5556 menjadi sekitar Rp67 pada 11 November 2025 (kenaikan sekitar 21,8% dalam sebulan), dan dibuka di Rp65 pada 14 November 2025.

Lonjakan ini bukan semata karena fundamental operasional, melainkan refleksi sentimen merger dan kabar masuknya investor strategis. Fenomena ini menguatkan kesimpulan bahwa rumor merger berfungsi sebagai pemicu demand jangka pendek, menciptakan momentum harga yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk merealisasikan keuntungan.

Di sinilah paradoksnya, dimana kenaikan harga akibat rumor memberi peluang bagi investor lama, terutama mereka yang membeli pada harga dasar, untuk menjual di jangka waktu yang menguntungkan.

Telkom, meskipun adalah investor besar, bukanlah pihak yang otomatis menikmati lonjakan tersebut. Telkomsel memegang sekitar 23,72 miliar saham GOTO, jika seluruhnya dijual pada harga pasar saat sentimen memuncak, hasil yang didapatkan masih sangat bergantung pada tingkat harga, pajak, dan biaya transaksi.

Perhitungan skenario menunjukkan bahwa jika Telkomsel menjual pada Rp80 per lembar, realisasi akan menyisakan rugi multi-triliun rupiah dibandingkan modal awal, pada Rp150 per lembar rugi masih ada, meski lebih kecil, hanya pada kisaran Rp270 per lembar, yang mendekati harga beli awal,

Telkom bisa mendekati break-even sebelum memperhitungkan pajak dan biaya. Bahkan skenario partial exit (misal dilepas 50%) yang lebih konservatif memperlihatkan bahwa Telkom dapat mengurangi beban kerugian riil, tetapi tidak otomatis beralih menjadi profit besar.

Intinya, kenaikan harga singkat lebih menguntungkan spekulan dan holder awal ketimbang investor strategis yang ingin menyelesaikan masalah neraca secara tuntas.

Pada kesempatan lain menyebar juga isu kalau langkah yang diambil dalam penyelamatan Telkom adalah settlement out-of-court atau skema buy back yang dinegosiasikan. Kabar beredar akan ada aksi buy back oleh pemegang saham lama terhadap kepemilikan Telkomsel sebelum merger GoTo dan Grab dilakukan.

Jika ini yang terjadi, ada dua hal yang mesti dipertimbangkan. Dari sisi fiskal, penyelesaian non-litigasi bisa meredam tekanan neraca lebih cepat. Sementara dari sisi reputasi dan hukum, settlement semacam itu berisiko menimbulkan preseden moral hazard dan kritik publik, apalagi bila ada dugaan conflict of interest dalam keputusan investasi awal.

Sebaliknya, bila kasus dibawa ke ranah hukum penuh, prosesnya mungkin mempertegas akuntabilitas, tetapi menimbulkan ketidakpastian yang lebih besar di pasar modal dan risiko gejolak sosial ekonomi yang harus diantisipasi.

Dalam skenario yang lebih luas jika memang aksi korporasi terealisasi yang benar-benar mendapat cuan terbesar bukanlah Telkom, melainkan pihak-pihak yang memegang saham besar sebelum rumor, pemegang lama yang selama ini “bersabar” menunggu momentum, investor global yang punya strategi exit, dan trader yang menunggangi sentimen pasar.

Danantara, jika benar masuk, mungkin menjadi penyerap nasional yang menahan gejolak dan memberi jalan keluar terstruktur, namun peran itu juga harus dipantau ketat agar tidak sekadar menjadi alat mencuci risiko investor lain di atas beban publik.

Dari drama investasi Telkom di Gojek hingga isu merger GOTOGrab ada pelajaran yang harus dipetik dimana pasar modal dan politik sering kali saling silang.

Pada akhirnya, bila negara dan Telkom ingin melindungi aset publik, sudah seharusnya bertindak proaktif dengan menyusun escape plan yang realistis, memastikan proses nilai wajar dan transaksi terverifikasi pihak ketiga, serta menjaga integritas penegakan hukum.

Sebab jika tidak, pada babak akhir permainan ini yang menikmati riuh-riuh pasar bukanlah publik atau negara, melainkan mereka yang sudah lama memegang saham dan menunggu waktu tepat untuk pergi sedengkan Telkom tetap menanggung risiko yang mestinya tidak lagi menjadi beban pemilik modal publik.

@IndoTelko