Bayang-bayang kontrol ekspresi di wacana sertifikasi influencer

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggulirkan wacana penerapan sertifikasi bagi para influencer atau pembuat konten di Indonesia. Latar balakang ide ini pemerintah ingin memastikan bahwa orang yang berbicara di ruang digital, terutama untuk isu-isu tertentu, memiliki kompetensi dan tanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan.

Walau ide ini seperti test the water, reaksi publik beragam. Sebagian menilai ini langkah maju untuk menekan arus disinformasi yang kian sulit dikendalikan. Namun tak sedikit pula yang khawatir bahwa sertifikasi dapat berubah menjadi alat pembatasan kebebasan berpendapat.

Sertifikasi bagi influencer sudah diterapkan di Tiongkok sejak pertengahan 2024. Pemerintah Tiongkok memperketat pengawasan terhadap konten kesehatan di dunia maya dengan mewajibkan para pembuat konten alias influencer memiliki sertifikat atau kredensial medis yang sah. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memerangi penyebaran informasi kesehatan yang menyesatkan serta praktik komersial terselubung di balik kegiatan edukasi publik.

Langkah tersebut didorong empat lembaga utama. Yakni Cyberspace Administration of China (CAC), National Health Commission (NHC), State Administration of Market Regulation (SAMR), dan National Administration of Traditional Chinese Medicine. Keempat lembaga ini menegaskan langkah ini bertujuan untuk mendorong produksi dan penyebaran pengetahuan kesehatan yang ilmiah dan akurat, sekaligus menekan penyebaran informasi palsu menyesatkan.

Seluruh platform internet wajib memverifikasi izin praktik atau surat keterangan kerja bagi para influencer yang berbicara mengenai kesehatan. Mereka hanya diperbolehkan beraktivitas jika terafiliasi dengan lembaga medis, sekolah kedokteran, atau institusi penelitian farmasi yang sah.

Selain itu, influencer juga diwajibkan mencantumkan sumber referensi untuk setiap konten edukasi kesehatan, serta mengungkap jika terdapat penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) atau rekonstruksi kasus medis historis. Platform digital harus mengingatkan para influencer bahwa mereka bertanggung jawab atas keakuratan ilmiah konten yang disebarkan.

Regulasi ini secara tegas melarang semua bentuk iklan dalam konten kesehatan. Termasuk penyertaan tautan pembelian, nomor kontak, atau promosi terselubung terhadap layanan medis, obat-obatan, alat kesehatan, maupun produk pangan kesehatan. Market Inspection Specialist SAMR, Gu Baozhong menekankan langkah ini dimaksudkan untuk membedakan antara edukasi publik yang murni dan promosi komersial yang disamarkan

Di Tiongkok, platform seperti Douyin atau Weibo harus memverifikasi latar belakang keahlian kreator sebelum konten mereka tayang. Jika ada pembuat konten yang memberikan saran medis tanpa bukti kompetensi, platform wajib menghapusnya atau menampilkan peringatan. Bahkan, ketika konten dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), kreator diwajibkan memberi label yang menandakan bahwa informasi tersebut bukan hasil pengetahuan pribadi.

Tidak Sederhana
Jika ide sertifikasi diterapkan di Indonesia, persoalannya tidak sesederhana membuat daftar kreator yang “boleh” dan “tidak boleh” berbicara.

Ekosistem konten di Indonesia sangat luas, lebih dari sembilan juta kreator aktif hadir di berbagai platform, dari edukator dan jurnalis warga hingga pelawak dan pelaku UMKM. Masing-masing punya gaya, sudut pandang, dan kontribusi yang berbeda terhadap literasi publik. Karena itu, jika sertifikasi benar-benar ingin diterapkan, pembatasannya harus jelas, cukup untuk konten yang menyentuh kepentingan publik secara langsung, seperti kesehatan dan keuangan.

Kedua bidang ini memiliki dampak paling besar ketika disinformasi terjadi. Konten kesehatan yang menyesatkan bisa berujung pada perilaku berisiko yang kerap viral tanpa dasar ilmiah. Begitu pula dengan konten keuangan yang mempromosikan investasi bodong, kripto palsu, atau pinjaman ilegal. Dalam dua ranah ini, dampaknya bukan sekadar opini yang berbeda, tetapi kerugian nyata, bahkan mengancam keselamatan publik. Di sinilah sertifikasi dapat menjadi pagar etika dan tanggung jawab profesional, bukan alat pembatas kebebasan berekspresi.

Artinya, sertifikasi tidak harus dimaknai sebagai lisensi untuk berbicara, melainkan sebagai mekanisme untuk menegaskan standar kompetensi minimal bagi influencer yang mengklaim diri sebagai edukator atau pemberi saran. Seorang kreator yang membuat konten hiburan, kuliner, atau gaya hidup tentu tak memerlukan sertifikat formal.

Namun bagi yang membahas topik medis atau keuangan publik, wajar jika publik menuntut bukti bahwa ia memahami apa yang dibicarakan. Prinsipnya sederhana: semakin besar risiko dari informasi yang disampaikan, semakin besar pula tanggung jawab yang melekat pada pembuatnya.

Meski begitu, penerapan kebijakan ini tidak bisa dilakukan dengan pendekatan birokratis. Indonesia punya pengalaman panjang dengan lisensi profesi yang justru menciptakan beban administratif dan potensi penyalahgunaan.

Maka, model sertifikasi yang realistis sebaiknya bersifat sukarela dan berbasis insentif. Pemerintah dapat bekerja sama dengan platform dan asosiasi kreator untuk memberikan label “terverifikasi kompeten” bagi mereka yang mengikuti pelatihan atau uji kelayakan tertentu. Label ini bisa memberi nilai tambah bagi kreator, meningkatkan kredibilitas di mata audiens dan peluang kerja sama dengan pihak swasta—tanpa menimbulkan kesan negara sedang memberi izin untuk bicara.

Hati-hati
Dari sisi industri platform, gagasan ini disambut dengan hati-hati. Pihak Google Indonesia, misalnya, menilai sertifikasi dapat menjadi sinyal positif bagi profesionalisasi kreator digital, asalkan tidak mengulang fungsi yang sudah ada.

Platform seperti YouTube sebenarnya sudah menerapkan mekanisme kelayakan ketat melalui Partner Program, yang menilai kepatuhan kreator terhadap panduan komunitas dan konten informatif. Jika pemerintah ingin menambah lapisan sertifikasi, sebaiknya tidak tumpang tindih, melainkan saling melengkapi—misalnya dengan fokus pada peningkatan kapasitas kreator di bidang literasi informasi dan etika komunikasi publik.

Sebaliknya, dari sisi komunitas kreator, kekhawatiran justru muncul pada potensi pembatasan kreativitas. Banyak kreator tumbuh dari pengalaman empiris, bukan jalur akademik. Seorang ibu rumah tangga yang berbagi tips nutrisi anak atau pekerja lapangan yang membagikan kiat keuangan sederhana, sering kali lebih dipercaya publik karena pengalaman mereka nyata. Jika sertifikasi dijadikan syarat mutlak, maka suara-suara seperti ini bisa terpinggirkan. Dalam konteks masyarakat digital yang terbuka, kehilangan keragaman suara berarti kehilangan bagian penting dari ekosistem literasi itu sendiri.

Lembaga seperti SAFEnet menilai, jika meniru pola Tiongkok, Indonesia bisa terjebak dalam kontrol wacana yang mengancam hak untuk berpendapat. Mereka berpendapat bahwa akar masalah disinformasi bukanlah siapa yang berbicara, tetapi bagaimana publik menyaring dan menilai informasi. Karena itu, alih-alih menambah sertifikasi, fokus kebijakan seharusnya diarahkan pada penguatan literasi digital masyarakat, termasuk pendidikan kritis terhadap sumber informasi, algoritma, dan bias media sosial.

Pandangan ini patut diperhatikan. Namun bukan berarti sertifikasi tidak relevan sama sekali. Dalam konteks kesehatan dan keuangan, dua sektor yang bersinggungan langsung dengan keselamatan dan kesejahteraan publik, kehadiran standar kompetensi tetap penting. Bedanya, sertifikasi di sini seharusnya bersifat fungsional yang tujuannya membantu publik mengenali sumber informasi terpercaya, bukan menutup ruang bagi yang lain.

Dengan pendekatan seperti ini, sertifikasi bisa menjadi bagian dari strategi co-regulation dimana negara, industri, dan komunitas kreator bekerja bersama menetapkan standar etika dan tanggung jawab tanpa mematikan dinamika kreatif. Pemerintah tidak perlu menjadi penjaga gerbang tunggal, cukup menjadi fasilitator yang memastikan semua pihak memiliki pemahaman dan instrumen yang sama untuk melawan disinformasi.

Pada akhirnya, wacana sertifikasi influencer menandai perubahan besar dalam cara negara memandang ruang digital, dari sekadar tempat hiburan menjadi medan pembentukan opini publik yang perlu dijaga kualitasnya. Namun pengelolaan ruang ini tidak boleh berujung pada pembatasan. Sertifikasi bisa menjadi langkah maju hanya jika diarahkan untuk memperkuat literasi, bukan memberi lisensi bicara.

Khusus untuk konten kesehatan dan keuangan, sertifikasi bisa menjadi mekanisme penting menjaga keselamatan publik. Tetapi di luar itu, biarlah ruang digital tetap menjadi laboratorium gagasan yang terbuka, tempat setiap suara bisa diuji, dibantah, dan diperkaya tanpa perlu surat izin dari negara. Karena demokrasi digital yang sehat bukan tentang siapa yang berhak bicara, melainkan seberapa cerdas publik menimbang apa yang ia dengar.

@IndoTelko