Setiap akhir pekan, trotoar dan taman kota-kota besar selalu dipenuhi para pelari dan para fotografer yang diam-diam berburu momen.
Di era digital, rute lari maraton dan “fun run” bukan hanya menjadi ruang olahraga, tetapi juga ruang transaksi digital yang semakin ramai dan kompetitif.
Aktivitas memotret pelari yang dulu dianggap sekadar hobi kini telah bertransformasi menjadi lahan bisnis tersendiri, terutama ketika teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan marketplace digital mulai marak.
Kultur fotografi pelari di ruang terbuka ini tidak selamanya berjalan mulus. Ada pelari yang merasa difoto tanpa izin, lalu terkejut ketika mendapati foto dirinya dijual di sebuah aplikasi.
Ada pula fotografer yang merasa jengkel karena ruang yang sama dipenuhi rekan seprofesinya, sehingga memicu persaingan harga yang tak sehat.
Belum lagi munculnya komunitas foto “semi-resmi” yang bahkan memungut “uang fotografi” kepada pengunjung taman kota.
Akhirnya, ruang publik yang seharusnya menjadi tempat milik bersama berubah menjadi pasar terbuka di mana kamera, wajah, dan dompet saling berinteraksi, seringkali tanpa penyelesaian etik yang jelas.
Secara bisnis, jika seorang fotografer memotret tiga event dalam seminggu, kabarnya bisa meraih pendapatan menembus Rp 45 juta sebulan. Itu pun hanya dari satu aktivitas.
Ada kisah lain tentang fotografer yang mampu meraup pendapatan hingga Rp 13 juta dalam sebulan dari gabungan kegiatan fotografi olahraga.
Namun di sisi lain, persaingan makin brutal. Ketika puluhan kamera membidik angle yang sama, harga foto bisa turun drastis, dan fotografer yang tak terhubung ke platform digital yang baik akan tergilas algoritma.
Apalagi, sekarang ada marketplace seperti FotoYu yang memungkinkan fotografer mengunggah ribuan foto dari satu event, lalu platform menggunakan AI pengenalan menawarkan foto spesifik kepada setiap pelari yang terlibat.
Pengguna cukup mengunggah selfie, lalu algoritma bekerja menemukan foto-foto terkait.
Setelah itu, mereka bisa membeli versi HD tanpa watermark dalam hitungan menit. Bagi fotografer, ini adalah sistem yang memperluas pasar, bagi pelari, ini adalah pengalaman baru yang jauh lebih personal, efisien, dan terhubung dengan tren digital.
Batas Privasi
Namun, di balik semua inovasi dan transaksi ini, muncul satu pertanyaan krusial: bagaimana dengan hak atas privasi?
Aktivitas fotografi di ruang publik memang tidak otomatis melanggar hukum, tetapi pengolahan data biometrik — seperti wajah adalah ranah yang dilindungi undang-undang. UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi menyatakan bahwa data pribadi memerlukan persetujuan eksplisit dari subjek sebelum dikumpulkan atau diolah, apalagi untuk tujuan komersial.
Lalu, bagaimana mungkin seorang pelari yang berlari melewati kamera di trotoar publik secara otomatis dianggap memberi izin atas penggunaan wajahnya untuk dijadikan barang jualan digital?
Kementerian Komunikasi dan Digital menyatakan bahwa kegiatan fotografi publik juga wajib mematuhi UU PDP.
Namun, masih belum ada aturan turunan yang tegas mengenai kategori fotografi komersial di ruang public, apakah ia dianggap bisnis, dokumentasi, atau kebebasan berekspresi?
Ketidakjelasan ini bisa menjadi bom waktu ketika kasus semakin banyak, baik sengketa antar fotografer, tuntutan pengguna, maupun potensi pelanggaran atas hak privasi di era AI.
Melihat fenomena ini rasanya diperlukan standar etis yang jelas untuk seluruh fotografer yang melakukan komersialisasi foto di ruang publik.
Artinya, siapa pun yang menjual foto pelari atau pengunjung taman kota harus transparan dalam proses persetujuan, baik sebelum kegiatan dimulai atau saat mengunggah ke platform.
Selain itu, platform marketplace seperti FotoYu harus menyediakan mekanisme opt-out yang mudah bagi pengguna. Jika ada pelari yang merasa foto dirinya tampil tanpa izin, ia harus dapat meminta penghapusan dengan cepat dan tanpa proses rumit.
Berikutnya, pemerintah daerah bisa menyusun regulasi lokal yang memisahkan antara kegiatan fotografi hiburan dan komersial, serta memastikan bahwa aktivitas komersial mendapat izin yang jelas dari pengelola ruang publik.
Lebih dari itu, kita perlu membangun literasi digital untuk semua pihak dimana pelari sadar hak privasinya, fotografer paham batas legal bisnisnya, dan platform tahu kewajiban dalam perlindungan data pribadi.
Aktivitas memotret di ruang publik adalah bagian dari ekosistem sosial kita, tetapi mengubahnya menjadi komoditas digital membutuhkan tanggung jawab baru.
Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah untuk melindungi kebebasan berkarya sembari memastikan hak individu tidak hilang begitu saja di balik kecerdasan mesin dan komisi platform.
@IndoTelko