Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran telah berlalu beberapa hari lalu.
Di era Prabowo-Gibran, perhatian terhadap isu digital terlihat lumayan tinggi dengan dibentuknya Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sebagai wajah baru tata kelola ruang digital Indonesia.
Sayangnya, setelah 12 bulan berjalan, arah kebijakan digital nasional tampak masih mencari sinyal.
Di satu sisi, Komdigi mempublikasikan berbagai capaian mulai dari integrasi infrastruktur digital hingga penegakan hukum siber. Di sisi lain, sektor telekomunikasi sebagai tulang punggung transformasi digital justru belum terlihat menjadi prioritas utama.
Capaian
Versi resmi pemerintah menunjukkan kemajuan yang cukup impresif. Komdigi menyebutkan keberhasilan Sistem Pemerintahan Berbasis Layanan Publik (SPLP) yang kini menjadi “nadi digital” bagi birokrasi nasional.
Lebih dari 200 lembaga dan pemerintah daerah diklaim telah mengintegrasikan layanan mereka ke dalam sistem tersebut, menghadirkan efisiensi dalam perizinan, administrasi, hingga pelayanan publik berbasis data.
Selain itu, pemerintah juga menyebut kesenjangan digital Indonesia kian menyempit. Rasio akses internet disebut naik signifikan di luar Jawa, khususnya di wilayah Timur.
Berdasarkan data Komdigi, penetrasi akses broadband di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) meningkat dari 78% pada 2024 menjadi 85% pada pertengahan 2025.
Di bidang keamanan siber, Komdigi juga menyoroti kinerja penegakan hukum judi daring dan konten negatif. Sejak awal 2025, pemerintah mengklaim telah melakukan take down terhadap lebih dari 2,6 juta konten ilegal.
Realita
Meski daftar capaian tersebut tampak meyakinkan, di lapangan, fakta menunjukkan bahwa transformasi digital Indonesia masih berjalan terseok-seok, terutama di sektor telekomunikasi.
Banyak kalangan menilai, Komdigi tidak memiliki langkah konkret percepatan jaringan 5G nasional, padahal Indonesia telah memulai uji komersial sejak 2021. Dari 514 kabupaten/kota, layanan 5G baru menjangkau 47 wilayah, dan mayoritas hanya di pusat kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.
Regulasi yang menjanjikan efisiensi spektrum juga belum muncul. Padahal, selama masa kampanye, PrabowoGibran menekankan pentingnya pemerataan akses internet cepat sebagai pendorong ekonomi digital rakyat. Namun, hingga kini, kebijakan penataan spektrum, termasuk rencana refarming 700 MHz dan 3,5 GHz, belum memiliki kepastian.
Kondisi tersebut menciptakan bottleneck baru di industri. Operator masih menghadapi biaya spektrum tinggi, investasi jaringan yang lambat, dan pasar yang jenuh di segmen urban. Sejumlah analis bahkan menilai kebijakan digital satu tahun terakhir lebih fokus pada aspek pengawasan konten ketimbang memperkuat fondasi teknologinya.
Proyek Strategis
Hal yang menggembirakan jelang satu tahun usia pemerintahan adalah dikeluarkan Perpres Nomor 77 Tahun 2025.
Isi dari beleid ini menetapkan Palapa Ring Integrasi (PRI) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini memiliki nilai investasi mencapai Rp23,16 triliun,
Dalam beleid tersebut, selain PRI, di sektor teknologi ada beberapa proyek seperti Proyek Satelit Multifungsi (SMF), Pengembangan Drone Male Kombatan, Pengembangan Industri Garam, Percepatan Pembangunan Technopark, hingga Pengembangan Teknologi Produksi IVO dan Bensin Sawit dengan Katalis Merah Putih yang Terintegrasi dengan Kebun Rakyat.
Hal pelik lainnya, dalam setahun terakhir tingkat pertumbuhan pendapatan operator seluler selama 2025 hanya sekitar 1,9%, jauh di bawah rerata pertumbuhan lalu lintas data yang mencapai 28%. Artinya, konsumsi data meningkat pesat, tapi pendapatan tidak mengikuti karena tekanan harga dan tingginya biaya spektrum.
Pemerintah juga belum menunjukkan strategi baru untuk memperbaiki struktur pasar telekomunikasi yang semakin oligopolistik. Konsolidasi operator memang disebut-sebut perlu dilakukan untuk efisiensi, tetapi regulasi merger dan akuisisi masih kabur.
Industri menilai kebijakan digital selama setahun terakhir masih bersifat administratif, bukan struktural. Banyak fokus pada penertiban konten, literasi digital, dan koordinasi antar kementerian, tetapi minim terobosan yang mengubah lanskap ekonomi telekomunikasi secara signifikan.
Satu hal yang menarik dari setahun perjalanan Komdigi adalah pergeseran fokus kebijakan. Di masa lalu, Kementerian Kominfo cenderung berperan sebagai fasilitator industri. Kini, Komdigi tampil lebih kuat sebagai regulator dan pengendali ruang digital.
Penegakan hukum terhadap judi daring, konten pornografi, dan disinformasi memang penting, tetapi jika perhatian pemerintah terlalu berat ke ranah kontrol digital, maka agenda percepatan industri telekomunikasi akan semakin tertinggal.
Laporan ASEAN Digital Economy Scorecard 2025 menempatkan Indonesia di posisi ke-5 di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam hal kesiapan infrastruktur dan efisiensi regulasi.
Setahun bukan waktu lama, tetapi cukup untuk membaca arah. Pemerintah PrabowoGibran berhasil menata ulang birokrasi digital dan menampilkan citra pemerintahan yang protektif terhadap ruang siber.
Namun, pekerjaan rumah besar masih menanti di sektor telekomunikasi. Pemerintah harus kembali melihat telekomunikasi bukan semata urusan jaringan, tetapi fondasi kedaulatan digital nasional. Tanpa fondasi itu, visi Indonesia Digital 2045 hanya akan menjadi slogan di atas bandwidth yang belum stabil.
@IndoTelko