CTI Group gelar Golden Circle Club 2025

JAKARTA (IndoTelko) - Ketidakpastian ekonomi global kembali menjadi perhatian utama pelaku industri di tahun 2025. Kombinasi faktor eksternal seperti ketegangan geopolitik, kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat, dan konflik di Timur Tengah turut menekan perekonomian nasional.

PT Computrade Technology International (CTI Group), merupakan penyedia solusi cloud dan digital terkemuka di Asia Tenggara yang dikenal dengan inovasi inovasi progresif dan solusi teknologi yang komprehensif, kembali menyelenggarakan GCC Economic Outlook 2025, sebuah forum tahunan eksklusif bagi para eksekutif C-Level dari mitra bisnis CTI Group yang tergabung dalam komunitas Golden Circle Club (GCC) untuk mendiskusikan arah ekonomi dan strategi bisnis teknologi di tahun mendatang.

Mengusung tema “Thriving Through Economic Tightness: How Technology Solutions Providers Navigate in 2026”, acara tahun ini dikemas dalam format Executive Roundtable Discussion yang memungkinkan pertukaran pandangan secara lebih mendalam antar para pelaku bisnis IT. Diskusi dipandu oleh Toto A. Atmojo, Presiden Direktur PT Defender Nusa Semesta (Defenxor), salah satu anak perusahaan CTI Group, dengan menghadirkan Bhima Yudhistira, Founder dan Executive Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS), sebagai keynote speaker.

Bhima memaparkan, perekonomian nasional masih dihadapkan pada ketidakpastian global, terutama akibat belum selesainya negosiasi tarif antara Amerika Serikat dan sejumlah negara mitranya, termasuk Indonesia.

Kondisi ini memicu fluktuasi nilai tukar rupiah serta mendorong investor beralih ke aset aman seperti emas, yang justru mencerminkan meningkatnya kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi dunia.

Dijelaskannya, pelemahan rupiah dan ketidakpastian global kini menekan biaya produksi di berbagai sektor, terutama manufaktur dan ritel. Hal ini membuat banyak perusahaan menunda proyek berskala besar dan lebih selektif dalam berinvestasi. “Arahinvestasi sekarang lebih ke solusi yang memberikan efisiensi cepat dan menjaga produktivitas,” ujarnya.

Ia menilai, di tengah tekanan tersebut, justru muncul peluang baru di sektor teknologi informasi. Penurunan pendanaan startup digital mendorong pergeseran talenta dan investasi ke sektor tradisional seperti manufaktur, FMCG, dan kesehatan yang kini mulai memperkuat backbone teknologi mereka.

“Industri perlu menggabungkan investasi pada mesin produksi dengan infrastruktur IT seperti cloud, data analytics, dan sistem monitoring agar lebih efisien dan tangguh,” jelasnya. Menurutnya, langkah ini sejalan dengan arah kebijakan ekonomi 2026 yang menekankan efisiensi energi, pengurangan emisi karbon, serta penguatan infrastruktur digital nasional.

Toto selaku moderator menyoroti bahwa kuartal III tahun ini menjadi periode yang penuh tantangan bagi pelaku industri IT. Ia menjelaskan, beberapa perusahaan yang tercatat di bursa menunjukkan tekanan pada margin laba dan perubahan signifikan pada siklus penjualan yang kini lebih panjang dibanding tahun tahun sebelumnya. “Kondisi pasar saat ini sangat menantang, banyak perusahaan menahan proyek besar dan lebih berhati-hati dalam belanja IT,” ujarnya.

Menurutnya, melemahnya daya beli perusahaan justru membuka peluang bagi penyedia solusi lokal. Ia mengungkapkan bahwa pasar kini mulai lebih menerima produk dan layanan buatan dalam negeri, selama kualitasnya tetap terjaga. “Buying power turun, tapi ekspektasi juga ikut menyesuaikan. Ini jadi kesempatan bagi produk lokal untuk naik kelas,” jelasnya.

Toto menyebut bahwa efisiensi akan menjadi arah utama di tahun depan. “Mau tidak mau, semua pelaku industri harus mengencangkan ikat pinggang dan menyesuaikan diri dengan kemampuan pasar. Produk atau layanan yang spesifik dan memberikan nilai nyata akan tetap mendapat tempat,” ujarnya. Ditegaskannya, fase ini bisa menjadi momen bagi industri IT nasional untuk menata ulang strategi dan memperkuat fondasi agar lebih tangguh menghadapi 2026.

Para peserta menilai, efisiensi dan ketahanan operasional akan menjadi fokus utama di tengah pelemahan rupiah, tekanan margin, serta perubahan pola belanja teknologi. Arah kebijakan fiskal pemerintah dan tren ekonomi global diperkirakan menjadi indikator penting bagi arah investasi, sementara kebutuhan terhadap solusi berbasis AI, cloud, dan produk lokal dipandang sebagai peluang baru untuk menjaga daya saing di tengah pasar yang kian selektif.

CEO CTI Group, Rachmat Gunawan mengungkapkan, CTI Group berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis bagi para penyedia solusi teknologi di Indonesia. Sejalan dengan visi CTI Group untuk tumbuh bersama mitra dalam mempercepat transformasi digital, kami percaya kolaborasi yang kuat akan menciptakan nilai dan peluang baru bagi seluruh ekosistem.

Ia berharap, lewat forum seperti Golden Circle Club, dapat membantu para mitra memahami lanskap ekonomi yang dinamis sekaligus merumuskan strategi terbaik dalam menghadapi tantangan di 2026. (mas)