Lelang pita frekuensi 1,4 GHz akhirnya melahirkan dua pemenang yang sama sekali di luar prediksi yakni MyRepublic Indonesia dan PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI).
Keduanya berhasil menumbangkan penguasa pasar telekomunikasi nasional, Telkom.
Kemenangan ini bukan sekadar kejutan di atas kertas, tetapi bisa menjadi sinyal bahwa peta kekuatan bisnis internet di Indonesia tengah berubah.
Setelah bertahun-tahun dikuasai pemain lama yang berfokus pada infrastruktur serat optik dan seluler, kini muncul dua entitas yang berani bertaruh pada frekuensi tergolong “tidur” yakni 1,4 GHz.
Tidak Murah
Dari hasil lelang, WIFI melalui anak usahanya Telemedia Komunikasi Pratama, memenangkan regional I meliputi Pulau Jawa, Maluku, dan Papua dengan penawaran Rp403 miliar untuk pita selebar 80 MHz.
Sementara MyRepublic menguasai regional II, mencakup Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, dengan nilai hampir serupa.
Sekilas, harga ini tampak murah. Tetapi jika dihitung per MHz, nilainya sekitar Rp5 miliar per MHz untuk sepuluh tahun, atau Rp500 juta per MHz per tahun.
Bandingkan dengan lelang 2,1 GHz pada 2022, di mana Telkomsel harus mengeluarkan Rp600 miliar untuk 10 MHz nasional, alias sekitar Rp60 miliar per MHz alias lebih dari sepuluh kali lipat.
Murah di atas kertas, tentu. Tapi konteksnya jauh berbeda. Frekuensi 2,1 GHz sudah memiliki ekosistem perangkat matang, dipakai oleh hampir seluruh smartphone dan BTS komersial di dunia. Sementara 1,4 GHz adalah eksperimen tunggal dimana Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menggunakannya untuk layanan komersial.
Singkatnya, biaya frekuensi 1,4 GHz mungkin murah, tapi biaya membangun ekosistemnya sangat mahal.
Ambisi Besar
Baik WIFI maupun MyRepublic sama-sama mengusung narasi besar yaitu internet cepat, murah, dan merata.
Targetnya, layanan internet hingga 100 Mbps dengan harga Rp100.000 per bulan.
Secara teknis, model bisnis yang diusung keduanya berbasis Fixed Wireless Access (FWA). Artinya, frekuensi 1,4 GHz hanya digunakan untuk akses nirkabel dari rumah ke jaringan operator, sementara tulang punggungnya tetap serat optik.
Jika dijalankan dengan benar, model ini bisa menjadi solusi di kawasan padat penduduk seperti Jawa dan kota-kota besar lain, di mana menggulung kabel fiber ke rumah satu per satu sudah terlalu mahal.
Namun di sisi lain, biaya operasionalnya tidak ringan. Selain harus membangun tower, elemen radio, listrik, dan jaringan backhaul, operator juga harus menyediakan perangkat penerima di sisi pelanggan. Sebuah beban tambahan yang membuat janji “Rp100 ribu per bulan” terasa sulit direalisasikan tanpa subsidi besar.
Mungkin, kondisi di atas yang membuat Telkom memilih “mengalah”. Sekitar satu dekade lalu, mereka pernah mengelola layanan berbasis Broadband Wireless Access (BWA). Namun proyek itu berakhir senyap.
Boleh jadi, dari pengalaman pahit itu Telkom belajar bahwa memiliki spektrum bukan jaminan bisnis yang sehat, terutama jika harus membangun pasar dari nol.
Tantangan Besar
Secara teknis, pita 1,4 GHz memang menarik. Dengan jangkauan lebih luas dibanding 2,1 GHz, ia bisa mengurangi kebutuhan tower hingga 2030 persen. Dalam simulasi, 80 MHz bandwidth memungkinkan throughput tinggi untuk ribuan pelanggan per sektor.
Namun keuntungan fisik itu akan percuma tanpa ekosistem perangkat yang siap. Hingga kini, belum banyak chipset, modem, atau router komersial yang mendukung 1,4 GHz. Tidak ada dukungan massal dari vendor global seperti Qualcomm atau Huawei untuk produksi perangkat di pita ini.
Global System for Mobile Communications Association (GSMA) bahkan menilai 1,4 GHz belum punya rantai pasok matang, berbeda dengan pita populer 3,5 GHz, 2,6 GHz, atau 2,1 GHz.
Jika dihitung sederhana, dengan investasi awal Rp400 miliar dan tambahan infrastruktur sekitar Rp2 triliun untuk jaringan akses dan core, operator butuh 35 tahun untuk menutup modal, dengan asumsi 500 ribu pelanggan aktif di Jawa.
Namun, karena pasar residensial sangat sensitif harga, margin keuntungan sulit dijaga tanpa efisiensi skala besar. Bila layanan dibanderol Rp100 ribu per bulan, operator hanya bisa mengantongi ARPU sekitar Rp6070 ribu setelah dikurangi biaya operasional dan perangkat.
Menginngat ekosistem perangkat masih terbatas, strategi go to market akan sangat menentukan. MyRepublic mungkin diuntungkan karena sudah punya basis pelanggan tetap dari bisnis fixed broadband apalagi ada dukungan finansial dari konglomerasi Sinar Mas dan pengalaman digital lewat entitas Smartfren.
Eksperimen Ulang
Dalam konteks kebijakan digital nasional, lelang 1,4 GHz bisa dibaca sebagai upaya pemerintah memperluas alternatif konektivitas tanpa bergantung penuh pada fiber optik.
Namun keberhasilan rencana ini tidak bisa dilepaskan dari pembentukan ekosistem. Tanpa dukungan vendor perangkat global, lembaga pembiayaan, dan kebijakan fiskal yang mendorong adopsi, frekuensi 1,4 GHz berisiko menjadi reinkarnasi BWA, yang menguap tanpa jejak setelah beberapa tahun.
Kemenangan MyRepublic dan WIFI adalah momentum penting dalam sejarah telekomunikasi Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, pemain baru punya peluang nyata menantang dominasi lama.
Namun seperti semua eksperimen besar, hasil akhirnya tidak ditentukan di ruang lelang, melainkan di pasar dan ekosistem.
Siapa yang benar-benar siap? Siapa yang mampu mengubah spektrum menjadi layanan nyata, bukan sekadar angka di atas kertas?
Waktu yang akan menjawab nantinya, apakah semua ini awal era baru atau sekadar pengulangan pelajaran lama yang belum tuntas.
@IndoTelko