Aspakrindo dorong kripto jadi alat pembayaran

JAKARTA (IndoTelko) — Potensi aset kripto untuk berkembang sebagai alat pembayaran kembali mencuat di tengah pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo-ABI) mendorong agar revisi tersebut memberi ruang inovasi lebih luas bagi kripto, tidak hanya sebagai instrumen investasi, tetapi juga sebagai sarana transaksi.

Wakil Ketua Umum Aspakrindo-ABI, Yudhono Rawis, mengatakan pihaknya mengusulkan adanya harmonisasi antara otoritas sektor keuangan, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), agar ekosistem kripto dapat tumbuh secara seimbang.

“Rekomendasi kami terkait inovasi, terutama untuk alat pembayaran. Pembayaran masih diatur di Bank Indonesia, sedangkan exchange dan blockchain di OJK. Harapan kami dengan harmonisasi antarinstitusi, kripto bisa berkembang dari instrumen investasi menjadi pembayaran,” ujar Yudho.

Menurut Yudho, mekanisme serupa telah diterapkan di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, yang mulai mengakui stablecoin sebagai alat pembayaran dalam transaksi harian.

Dukungan terhadap usulan tersebut juga datang dari pelaku industri. CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menilai regulasi yang jelas dan progresif akan menjadi kunci agar kripto dapat diadopsi lebih luas oleh masyarakat.

“Regulasi yang jelas dan harmonis bukan hanya memberi kepastian bagi pelaku industri, tetapi juga mampu membuka jalan bagi adopsi kripto yang lebih luas di masyarakat,” ujar Calvin.

Ia menambahkan, inisiatif Aspakrindo untuk memperluas fungsi kripto menjadi alat pembayaran merupakan momentum penting agar Indonesia tidak tertinggal dari negara lain dalam inovasi keuangan digital.

“Jika diarahkan dengan tepat, kripto bisa menjadi katalis bagi percepatan digitalisasi keuangan nasional, sekaligus menguatkan daya saing industri teknologi finansial di tingkat global,” katanya.

Selain rencana jangka panjang, Calvin menilai pemerintah juga dapat mengambil langkah jangka pendek untuk memperkuat ekosistem kripto nasional.

“Beberapa hal yang bisa dipertimbangkan misalnya pemberian insentif pajak yang lebih ringan, percepatan proses listing token-token baru, hingga dukungan untuk produk inovatif seperti Staking dan Futures. Langkah-langkah tersebut bisa menstimulasi pertumbuhan pasar kripto secara lebih cepat,” jelasnya.

Tantangan
Meski peluang kripto sebagai alat pembayaran terbuka lebar, sejumlah tantangan masih perlu diatasi, mulai dari maraknya exchange ilegal, hingga regulasi perpajakan yang belum sepenuhnya adaptif terhadap karakteristik pasar kripto yang bersifat lintas batas.

Calvin menekankan pentingnya sinergi antarotoritas, seperti OJK, BI, dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk membangun kerangka regulasi yang seimbang antara perlindungan konsumen, stabilitas sistem keuangan, dan ruang inovasi. Ia juga menyoroti kontribusi nyata kripto terhadap penerimaan negara. Berdasarkan data DJP, penerimaan pajak kripto hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp1,61 triliun, atau sekitar 4% dari total pajak ekonomi digital nasional sebesar Rp41,09 triliun.

“Potensi kripto sebagai instrumen pembayaran di Indonesia tidak hanya bergantung pada kesiapan teknologi, tetapi juga pada keberanian regulasi untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, kripto dapat berevolusi dari sekadar instrumen investasi menjadi bagian penting dalam sistem pembayaran digital nasional,” pungkas Calvin.(wn)