Akrobat regulasi meredam anonimitas

Sudah lebih dari satu dekade pemerintah Indonesia berupaya menertibkan ruang digital dari praktik anonimitas.

Awalnya, mencoba menerapkan kebijakan registrasi kartu SIM berbasis NIK dan KK.

Argumennya demi mencegah penipuan, spam, dan tindak kriminal berbasis telekomunikasi. Tetapi praktiknya, aturan itu hanya menyelesaikan sebagian masalah, sementara celah distribusi kartu perdana tetap terbuka lebar. Operator menjual jutaan nomor siap pakai, dan data kependudukan kerap disalahgunakan tanpa sepengetahuan pemilik.

Kini, wacana serupa kembali muncul dengan wajah baru yaitu single digital ID yang akan mengikat seluruh akun media sosial pada identitas tunggal, bahkan diverifikasi lewat biometrik seperti scan wajah atau sidik jari.

Pemerintah menegaskan bahwa seseorang tetap boleh punya banyak akun, asalkan semuanya bisa ditelusuri ke identitas aslinya. Kedengarannya wajar, namun esensinya tetap sama yakni mempersempit ruang anonimitas yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari internet.

Momentum munculnya “niat baik” ini seperti ingin menjawab dinamika sosial politik belakangan.

Peristiwa akhir Agustus 2025 memperlihatkan betapa masif dan organiknya mobilisasi Gen Z melalui media sosial. Aksi-aksi jalanan yang berawal dari unggahan TikTok, Twitter, dan Instagram membuktikan bahwa ruang digital bukan sekadar arena bercakap, melainkan mesin mobilisasi sosial. Ia mampu mengubah kekecewaan menjadi gerakan, dan gerakan menjadi tekanan politik. Dari perspektif negara, ruang yang demikian liar jelas menakutkan.

Karena itu, gagasan mengikat akun media sosial dengan wajah dan sidik jari tidak bisa dilepaskan dari konteks politik.

Ini bukan sekadar urusan keamanan digital atau pencegahan penipuan daring. Ada niat lebih jauh yakni memastikan setiap ekspresi publik dapat ditelusuri, setiap suara bisa dikenali, dan setiap aksi dapat dipetakan ke identitas personal. Dalam logika kontrol, semakin sedikit ruang untuk bersembunyi, semakin mudah mengendalikan percakapan.

Namun, kontrol yang ketat sering kali berbalik menjadi bumerang. Sejarah internet membuktikan bahwa generasi muda selalu menemukan cara baru untuk mengakali sekat. Dari VPN, platform alternatif, hingga teknologi desentralisasi, semakin keras regulasi, semakin canggih pula respons masyarakat digital. Bila negara memaksa biometrik menjadi pintu masuk media sosial, risiko besar yang muncul bukan hanya kebocoran data sensitif, melainkan juga fragmentasi ruang digital ke kanal-kanal yang lebih sulit dipantau.

Ide penerapan biometrik bisa juga mengguncang fondasi ekonomi digital. eCommerce, fintech, dan startup di Indonesia sangat bergantung pada fleksibilitas akun, dari promosi berbasis multi-akun hingga eksperimen pemasaran digital.

Bila verifikasi biometrik menjadi syarat mutlak, proses onboarding pengguna baru akan makin berat, engagement bisa menurun, dan tingkat churn berpotensi meningkat karena orang enggan menyerahkan wajah atau sidik jarinya ke platform. Bukannya menumbuhkan ekonomi digital, kebijakan ini justru bisa menghambatnya.

Alhasil, membatasi anonimitas digital lewat scan wajah ibarat meminta setiap orang yang masuk ke pasar untuk menempelkan KTP mereka di dahi. Memang, tidak ada lagi yang bisa menyamar. Tetapi pasar jadi kaku, penuh rasa takut, dan orang lebih memilih berbisik di lorong sempit ketimbang bicara terbuka di tengah keramaian. Pada akhirnya, bukan keteraturan yang tercipta, melainkan hilangnya kepercayaan publik pada pasar itu sendiri.

Selain itu, kebijakan ini juga bersinggungan langsung dengan hak privasi dan kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi. Pertanyaan mendasar yang belum dijawab adalah siapa yang akan menyimpan data biometrik ratusan juta warga, bagaimana mekanisme pengawasannya, dan sejauh mana publik bisa mengaudit keamanan data tersebut? Kita punya pengalaman pahit kebocoran data NIK dan KK. Membayangkan hal yang sama terjadi pada data wajah atau sidik jari jelas menakutkan.

Indonesia juga bukan negara pertama yang tergoda dengan gagasan identitas tunggal digital. India dengan sistem Aadhaar pernah menghadapi kebocoran data masif yang mengorbankan jutaan warga. Tiongkok dengan kebijakan real-name registration memang sukses menertibkan ruang digital, tapi dengan harga mahal dimana ruang publik daring yang steril dari kritik dan penuh pengawasan. Dua contoh ini seharusnya jadi pelajaran, bahwa membatasi anonimitas dengan biometrik bukanlah solusi tanpa risiko.

Padahal, ada jalan lain. Bila tujuan utamanya adalah menekan penipuan dan kejahatan digital, maka langkah yang lebih relevan adalah memperkuat literasi digital masyarakat, meningkatkan penegakan hukum siber, serta menuntut transparansi platform global untuk lebih proaktif dalam mendeteksi akun palsu atau penyalahgunaan.

Fokus kebijakan harusnya bukan menyeret seluruh warga ke sistem verifikasi biometrik, melainkan menutup celah regulasi yang nyata, seperti praktik penjualan kartu perdana siap pakai, lemahnya otoritas perlindungan data, dan kurangnya edukasi pengguna.

Mengikat akun media sosial dengan wajah atau sidik jari bukan hanya soal menjinakkan ruang ekspresi, tapi juga bisa memukul fondasi ekonomi digital kita. Bukankah aneh jika di satu sisi negara ingin mendorong generasi muda jadi motor digital economy, tapi di sisi lain justru menakut-nakuti mereka dengan regulasi yang membuat ruang digital terasa seperti lapangan dengan kamera pengawas di setiap sudut?

Kalau negara sungguh ingin menata ruang digital, yang dibutuhkan sebenarnya perlindungan privasi yang kuat, transparansi tata kelola data, serta ekosistem digital yang memberi rasa aman sekaligus kebebasan.

Tanpa itu, ide single digital ID hanya akan menambah daftar panjang regulasi reaktif yang gagal menyelesaikan masalah dari akarnya.

@IndoTelko