Komdigi dorong platform punya fitur deteksi konten AI

JAKARTA (IndoTelko) Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mendorong platform digital global menghadirkan fitur pengecekan konten berbasis kecerdasan artifisial (AI). Langkah ini dinilai penting untuk membantu masyarakat mengenali hoaks dan deepfake yang semakin marak di ruang digital.

“Kita berharap platform media sosial global juga bisa melakukan filter, atau setidaknya menyediakan fitur untuk mengecek apakah sebuah konten buatan AI atau bukan. Fitur ini sebaiknya bisa digunakan publik secara gratis,” ujar Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria.

Menurut Nezar, fenomena deepfake kian mengkhawatirkan. Data Sensity AI mencatat peningkatan 550 persen konten deepfake dalam lima tahun terakhir. “Saya yakin jumlahnya jauh lebih besar karena kemampuan aplikasi untuk membuat video atau foto deepfake kini sangat masif,” tegasnya.

Nezar menegaskan platform memiliki teknologi komputasi dan algoritma yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik. “Kalau kita meragukan satu isi konten, bisa dicek dengan kekuatan komputasi dan AI yang mereka punya. Misalnya di Meta atau Google, fitur seperti ini bisa jadi bagian layanan standar,” jelasnya.

Ia menambahkan, pemerintah berupaya menyeimbangkan inovasi dengan regulasi agar pemanfaatan AI tidak disalahgunakan. Indonesia sudah memiliki perangkat hukum seperti UU ITE, UU PDP, PP TUNAS, dan sejumlah aturan teknis. Saat ini, pemerintah juga menyiapkan regulasi khusus untuk pemanfaatan AI yang etis, bermakna, dan bertanggung jawab.

Selain regulasi, Komdigi juga menggandeng berbagai pihak, termasuk Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan media, dalam program cek fakta. “Ruang digital ini milik kita bersama, maka kita perlu kerja sama yang erat untuk menjaga publik dari hoaks dan konten negatif,” kata Nezar.

Ketua Mafindo Septiaji Eko Nugroho menyebut fenomena deepfake mulai masuk ke Indonesia pada 2023 dan kini berkembang pesat. Konten tersebut kerap disalahgunakan untuk penipuan digital maupun menggiring opini publik di isu politik.

“Untuk isu politik juga ada, tapi deepfake paling banyak digunakan untuk penipuan digital. Kalau ada konten hoaks bentuknya video yang muncul di tahun 2025 dengan tema penipuan digital, itu mayoritas adalah deepfake,” ungkap Septiaji.

Ia menegaskan Mafindo akan terus bekerja sama dengan Komdigi, media, dan komunitas literasi digital untuk memperkuat pengecekan fakta atas konten deepfake dan hoaks yang beredar di ruang digital.(wn)