Revisi TKDN dan masa depan industri HKT nasional

Pemerintah lewat Kementerian Perindustrian resmi merilis aturan baru soal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) melalui Permenperin Nomor 35 Tahun 2025.

Regulasi ini memberi kemudahan sertifikasi, memperpanjang masa berlaku hingga lima tahun, memberi insentif tambahan untuk riset dan investasi, bahkan membiarkan pencantuman logo TKDN menjadi opsional.

Dalihnya sederhana, aturan lama dianggap berbelit, mahal, dan membuka celah penyalahgunaan lewat praktik TKDN washing.

Sejauh ini semua terdengar masuk akal. Tetapi jika kita menelisik lebih dalam, revisi ini justru menyimpan risiko besar.

TKDN bukan sekadar instrumen administratif. Ia adalah instrumen industrialisasi. Aturan lama, meski penuh lubang, telah mendorong lahirnya investasi nyata di sektor manufaktur.

Belanja produk ber-TKDN pemerintah naik drastis dari Rp989 triliun pada 2022 menjadi hampir Rp1.500 triliun pada 2023. Jumlah produk bersertifikat TKDN melonjak dua kali lipat dalam lima tahun. Tak main-main, brand global seperti Samsung, Oppo, Xiaomi, hingga HP Indonesia rela membangun lini perakitan di tanah air hanya untuk patuh pada regulasi ini.

Artinya, TKDN berhasil menjadi pagar agar pasar Indonesia tidak sepenuhnya dikuasai barang impor. Tapi sekarang pagar itu justru hendak diturunkan dengan alasan birokrasi terlalu rumit. Pemerintah seolah lupa bahwa dalam setiap regulasi strategis pasti ada friksi, dan tugas regulator adalah memperbaiki kelemahan tanpa menghancurkan fondasi yang sudah berdiri.

Sektor HKT
Sektor Handphone, Komputer genggam, dan Tablet (HKT) akan menjadi ujian utama.

Di sektor inilah praktik TKDN washing paling masif, mulai dari perakitan semu hingga sekadar ganti kemasan. Aturan baru yang membuka jalan self-declare bagi IKM rawan kembali disalahgunakan oleh pemain besar yang mencari jalan pintas. Jika ini dibiarkan, maka mereka yang sudah berinvestasi serius akan dipaksa bersaing tidak sehat dengan importir yang hanya bermodal stiker.

Kita tidak boleh lupa, TKDN lahir bukan untuk sekadar memenuhi angka di atas kertas, melainkan untuk menumbuhkan ekosistem industri. Batam, Tangerang, dan Bekasi kini punya jejak manufaktur elektronik berkat regulasi lama. Jika aturan baru gagal menutup celah pengawasan, maka semua benih ini bisa layu sebelum menjadi pohon.

Pemerintah boleh bicara efisiensi prosedur atau diplomasi dagang dengan Amerika Serikat di bawah Trump. Tetapi jangan menjadikan industri dalam negeri sebagai tumbal.

Revisi TKDN hanya akan bermakna jika dibarengi audit ketat, insentif fiskal nyata, serta keberpihakan pada investor yang sungguh-sungguh membangun basis produksi di Indonesia. Tanpa itu, revisi ini hanya akan tercatat sebagai jalan mundur, bukan lompatan maju.

Karena pada akhirnya, pertaruhan dari sebuah kebijakan TKDN bukanlah sekadar sertifikat, melainkan masa depan industri manufaktur nasional.

@IndoTelko