SAFEnet catat 65 kasus pelanggaran hak digital selama demonstrasi

JAKARTA (IndoTelko) Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat sedikitnya 65 kasus pelanggaran hak digital yang terjadi dalam periode gelombang demonstrasi 25 Agustus hingga 5 September 2025.

Data itu terdiri atas 33 kasus hasil pemantauan langsung dan 32 kasus berdasarkan aduan publik. SAFEnet menegaskan kasus-kasus ini mencakup kriminalisasi, serangan digital, pembatasan akses internet, operasi berita bohong, moderasi berlebihan, ujaran kebencian, hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO).

“Pelanggaran hak digital ini sudah sangat mengganggu rasa aman warganet, khususnya mereka yang bersuara kritis. Pemerintah seharusnya menjamin rasa aman, bukan justru menimbulkan ketakutan di ruang digital,” tegas SAFEnet dalam keterangan resminya.

Serangan Digital
Dari total 65 kasus, SAFEnet mencatat 11 kasus kriminalisasi terhadap admin media sosial yang dianggap provokator kerusuhan. Para aktivis ini hingga kini masih menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya.

Selain itu, 32 kasus serangan digital menjadi bentuk pelanggaran yang paling dominan. Serangan mencakup spam call, doxing, pengambilalihan akun, order fiktif, hingga intimidasi melalui foto editan yang menampilkan korban seolah-olah buronan polisi.

Salah satu korban, sebut saja M, menerima teror melalui WhatsApp yang dikirimkan ke keluarganya. Pesan tersebut disertai foto dirinya lengkap dengan data pribadi yang diframing sebagai pelaku kriminal. “Modus seperti ini jelas menimbulkan efek ketakutan dan mengganggu rasa aman korban,” jelas SAFEnet.

Gangguan Akses
SAFEnet juga menemukan gangguan akses internet, mulai dari kesulitan mengunggah konten kritis di Instagram hingga pemadaman fitur siaran langsung di TikTok. TikTok mengaku menonaktifkan fitur live dengan alasan keamanan, namun langkah ini dinilai membatasi akses informasi publik dan merugikan pelaku UMKM.

Platform digital pun disebut melakukan overmoderation. Beberapa akun ditangguhkan karena mengunggah video dugaan perintah polisi menembak massa aksi. SAFEnet menilai langkah tersebut menghapus ekspresi sah yang seharusnya dilindungi.

Operasi Informasi
Laporan juga menyebut adanya penyebaran informasi bohong secara sistematis, yang mengatasnamakan konsolidasi mahasiswa untuk memprovokasi kerusuhan. Tak sedikit pula serangan berbentuk ujaran kebencian dan kekerasan berbasis gender online, yang menyasar kelompok minoritas etnis, perempuan, dan anak.

SAFEnet menegaskan bahwa pelanggaran hak digital, sekecil apapun, tetaplah pelanggaran yang berdampak serius pada demokrasi.

“Di bulan kemerdekaan ini, kebebasan berekspresi justru terasa terancam. Pemerintah harus menghentikan praktik represif di ruang digital dan menjamin perlindungan HAM warga negara,” tegas SAFEnet.(ak)