Kemudahan pembangunan SKKL tingkatkan potensi Indonesia sebagai hub data center ASEAN

JAKARTA (IndoTelko)— Pemerintah menegaskan kemudahan perizinan dan percepatan pembangunan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) menjadi faktor kunci agar Indonesia mampu menjadi hub data center di Asia Tenggara.

Direktur Kebijakan dan Strategi Infrastruktur Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Denny Setiawan, mengatakan pertumbuhan pusat data sangat bergantung pada kehadiran SKKL. “Setiap kali ada kabel laut mendarat di Indonesia, otomatis pusat data akan ikut tumbuh di sekitarnya. Karena trafik data yang besar butuh diproses dan disimpan dekat dengan lokasi pendaratan,” ujarnya belum lama ini.

Saat ini Indonesia memiliki lebih dari 20 SKKL aktif yang mendarat di Batam, Jakarta, Jawa Barat, Bali, hingga Manado. Sejumlah kabel baru sedang dibangun oleh perusahaan global seperti Google, Meta, dan konsorsium internasional. Namun Denny menekankan, pembangunan data center tidak akan berjalan optimal tanpa infrastruktur kabel laut.

“Kalau kabel lautnya tidak masuk, data center juga tidak akan tumbuh. Jadi ini dua hal yang harus kita selesaikan bersama, perizinan yang mudah dan pembangunan SKKL,” katanya.

Kemudahan perizinan, lanjut Denny, menjadi perhatian utama agar investor tidak mengalihkan investasi ke negara lain. “Investor mempertimbangkan kecepatan dan kepastian hukum. Kalau prosesnya terlalu lama, mereka bisa lari ke negara lain,” ujarnya.

Indonesia dinilai memiliki keunggulan pasar. Dengan lebih dari 210 juta pengguna internet dan transaksi e-commerce senilai US$ 62 miliar pada 2023, Indonesia sudah menjadi pasar digital terbesar di Asia Tenggara. Riset IDC juga memproyeksikan pasar cloud Indonesia akan mencapai US$ 4,3 miliar pada 2027.

Meski demikian, persaingan regional semakin ketat. Singapura masih menjadi pusat data terbesar di Asia Tenggara berkat regulasi sederhana, kepastian hukum, dan konektivitas SKKL yang langsung terhubung ke pusat finansial global. Malaysia mulai agresif memberikan insentif, sementara Thailand dan Vietnam ikut berlomba menarik investor.

Selain itu, Indonesia menghadapi tantangan lain berupa ketersediaan energi terbarukan untuk memenuhi tuntutan pusat data ramah lingkungan, serta implementasi UU Perlindungan Data Pribadi yang perlu diperjelas untuk memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara internasional.

Kendati begitu, pemerintah optimistis peluang Indonesia tetap terbuka. “Pasar kita besar, tapi tanpa infrastruktur dan kepastian izin, sulit untuk mengejar ketertinggalan. Kalau dua hal itu bisa kita selesaikan, Indonesia bisa jadi pusat data terbesar di Asia Tenggara,” pungkas Denny.

Pasar pusat data dan komputasi awan (cloud) di ASEAN diprediksi mencapai US$600 miliar pada 2030, bahkan bisa menembus US$ 1 triliun jika ditopang kebijakan tepat. Indonesia sendiri menjadi pemain penting, dengan nilai bisnis data center yang diperkirakan naik dari US$2,52 miliar pada 2025 menjadi US$ 5,82 miliar di 2030.

Meski begitu, kapasitas pusat data Indonesia baru sekitar 500 MW, jauh dari potensi ideal 2.700 MW. Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus peluang besar agar Indonesia benar-benar bisa menjadi pusat data regional di tengah lonjakan kebutuhan digital, cloud, hingga kecerdasan buatan (AI).(ak)