KPPU dalami dugaan kartel Pinjol

JAKARTA (IndoTelko) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kembali menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan atas Perkara Nomor 05/KPPU-I/2025 terkait dugaan pelanggaran Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai praktik kartel pada layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi atau fintech peer-to-peer (P2P) lending. Sidang digelar di Kantor Pusat KPPU Jakarta, Selasa (26/8).

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Komisi Rhido Jusmadi bersama delapan anggota lainnya, Investigator Penuntutan KPPU kembali membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP). Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada para terlapor yang tidak hadir pada persidangan sebelumnya.

Menurut LDP, dugaan pelanggaran melibatkan sejumlah perusahaan fintech lending yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Praktik tersebut diduga berlangsung sejak 2019 hingga Oktober 2023, dengan pola dugaan kesepakatan penetapan harga bunga dan biaya lainnya di antara para anggota asosiasi. Periode penyelidikan resmi berlangsung mulai 4 Oktober 2023 hingga 11 Maret 2025.

Agenda persidangan kali ini berlanjut dengan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian alat bukti surat serta dokumen pendukung LDP. Pemeriksaan dokumen dijadwalkan berlangsung dalam tiga sesi hingga Kamis, 28 Agustus 2025. Sidang berikutnya akan berfokus pada tanggapan para terlapor atas LDP, yang dapat berupa penerimaan maupun bantahan. Jika terlapor mengajukan bantahan, maka perkara akan masuk tahap pemeriksaan lanjutan sesuai Pasal 67 Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2023.

Kasus dugaan kartel bunga pinjol ini menjadi perhatian publik karena industri fintech lending telah tumbuh pesat di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah penyaluran pinjaman fintech mencapai lebih dari Rp70 triliun pada semester I 2025, dengan pengguna didominasi oleh masyarakat yang belum terjangkau layanan perbankan.

Namun, industri ini juga diwarnai berbagai masalah, mulai dari tingginya bunga pinjaman, praktik penagihan yang agresif, hingga potensi persaingan usaha tidak sehat. Jika benar terbukti terjadi kesepakatan penetapan bunga di antara pemain, hal ini berpotensi merugikan konsumen dan menghambat dinamika pasar fintech di Indonesia.

KPPU sendiri sudah beberapa kali menyoroti sektor digital, termasuk transportasi online, e-commerce, hingga fintech, sebagai industri yang rawan terjadi kesepakatan antarpelaku usaha karena keterhubungan melalui asosiasi atau platform digital.(wn)