Simalakama jurnalisme warga

Jakarta kembali diguncang demonstrasi besar sejak 25 Agustus. Gelombang massa memuncak pada 28 Agustus, hingga merenggut nyawa seorang pengemudi ojek online yang terjebak di lokasi kericuhan. Sehari kemudian, 29 Agustus, situasi ibu kota semakin panas—aksi buruh bercampur dengan kelompok lain yang menumpang agenda.

Fenomena menarik bukan hanya eskalasi di jalanan, tetapi juga cara masyarakat mencari informasi.

Televisi nasional tak banyak dilirik publik karena tak menayangkan jalannya demo secara langsung. Masyarakat mencari informasi melalui kanal media sosial milik stasiun TV, media daring resmi, hingga siaran warga melalui ponsel yang ramai menyiarkan live streaming.

Publik seperti membangun “jalan tikus” di ruang digital agar informasi bisa disebarluaskan. Semua ini tak bisa dilepaskan beredarnya surat dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jakarta yang melarang liputan bagi media massa karena berpotensi memicu eskalasi.

Bagi sebagian warga, menyalakan fitur live streaming menjadi bentuk ekspresi sekaligus pengawasan agar demokrasi tetap berada di tangan publik.

Inilah wajah baru jurnalisme warga di era digital, di satu sisi menjaga transparansi, di sisi lain berbenturan dengan regulasi penyiaran formal.

Pelindungan atau Kontrol?
Pemerintah merespons dengan menegaskan komitmen melawan disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK).

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyebut live streaming demo rawan dipelintir menjadi alat provokasi atau monetisasi. Polda Metro bahkan secara terbuka melarang siaran langsung, terutama di TikTok, dengan ancaman penindakan bagi akun yang melanggar.

Alasan tersebut memang masuk akal, konten real-time berpotensi memicu eskalasi. Namun, pelarangan ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah negara benar-benar melindungi publik dari hoaks, atau justru membatasi hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat dan mendokumentasikan realitas?

Fenomena jurnalisme warga sejatinya bukan hal baru. Pada demonstrasi Reformasi Dikorupsi 2019, unggahan Twitter dan Instagram jauh lebih cepat dibanding liputan televisi. Begitu pula saat demo Omnibus Law 2020, ketika video amatir kekerasan aparat lebih dulu viral di media sosial sebelum akhirnya diberitakan media arus utama.

Dua momentum itu memperlihatkan peran ganda jurnalisme warga: membuka mata publik pada fakta lapangan, sekaligus berpotensi menjadi sumber misinformasi atau framing yang membakar emosi. Dilema inilah yang membuat pemerintah curiga terhadap live streaming warga.

Fenomena serupa juga terjadi di luar negeri. Di Hong Kong (20192020), live streaming menjadi senjata utama demonstran melawan sensor. Di Iran (2022), pemerintah memutus internet untuk menghentikan arus video protes, namun justru menuai kritik global. Sebaliknya, di Amerika Serikat saat Black Lives Matter 2020, live streaming dilindungi konstitusi, meski tetap menuai perdebatan etika karena menampilkan wajah demonstran yang kemudian ditindak aparat.

Persimpangan
Indonesia kini berada di jalur tengah, tidak menutup total akses, tetapi berusaha mengendalikan narasi dengan aturan penyiaran dan imbauan anti-hoaks.

Ironinya, pemerintah sibuk melarang live streaming di jalan, tetapi tak berdaya menghadapi platform asing yang justru menjadi panggung utama.

X (Twitter) bahkan tak memiliki kantor di Indonesia, namun warganet tetap bebas menyiarkan apa pun di sana. TikTok dan Meta tetap beroperasi seolah kebal aturan lokal.

Akhirnya, yang terjadi justru paradoks, dimana negara gagah menertibkan warga dengan UU ITE, tetapi ciut saat berhadapan dengan kantor pusat platform di Singapura atau Amerika. Demokrasi digital pun lebih banyak dijaga netizen dengan ponsel, sementara negara sibuk “mengatur” sesuatu yang tak sepenuhnya bisa ia kendalikan.

Jika benar ingin menjaga ruang digital, solusinya bukan membungkam warga, melainkan membangun literasi, memperkuat transparansi, dan menegakkan kedaulatan digital. Tanpa itu, setiap larangan hanya menjadi teatrikal.

Di era digital, membungkam kamera sama saja dengan menutup mata. Dan bangsa yang memilih menutup mata, cepat atau lambat akan tersandung sejarahnya sendiri.

@IndoTelko