Payment ID, satu pintu untuk mengintip?

Bank Indonesia (BI) kabarnya tengah menyiapkan gebrakan di dunia sistem pembayaran nasional.

Namanya Payment ID, sebuah identitas pembayaran tunggal yang diklaim akan memudahkan transaksi lintas platform.

Awalnya diberitakan akan diluncurkan 17 Agustus, namun BI meluruskan bahwa rencana itu belum final, Payment ID baru akan memasuki tahap uji coba pada September 2025 di Banyuwangi, dengan fokus pada penyaluran bantuan sosial non-tunai.

Lalu, apa sebenarnya Payment ID ini? Dalam konsepnya, Payment ID adalah kode unik yang berperan layaknya “alamat tunggal” untuk seluruh transaksi keuangan seseorang. Kode ini bisa dihubungkan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan dikaitkan ke berbagai rekening bank, dompet digital, atau layanan pembayaran lain. Dengan begitu, masyarakat tak perlu menghafal banyak nomor rekening—cukup satu Payment ID untuk menerima atau mengirim dana dari berbagai sumber.

Niatnya, proses transaksi dirancang lebih aman dimana akses data transaksi hanya dilakukan dengan persetujuan (consent) pemilik, dan penggunaannya diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. BI menyebut, integrasi ini akan membantu pemerintah menyalurkan dana tepat sasaran, mempermudah UMKM menerima pembayaran, sekaligus membangun credit profile bagi mereka yang belum tersentuh layanan perbankan formal.

Namun, di balik janji kemudahan itu, terselip kegelisahan publik. Sentralisasi data dalam satu ID memunculkan kekhawatiran soal potensi pengawasan berlebihan. Wajar, sebab memori kolektif masyarakat masih segar dengan kasus pembekuan rekening secara sepihak, misalnya karena status dormant. Meski BI menegaskan hanya akan memantau data secara agregat, persepsi bahwa Payment ID bisa menjadi “alat intip” sudah telanjur tumbuh.

Kekhawatiran ini bukan semata soal teknologi, tapi soal rasa aman. Di masyarakat dengan literasi privasi digital yang belum merata, istilah seperti “analisis profil keuangan” atau “akses data dengan persetujuan” mudah ditafsirkan sebagai bentuk kontrol penuh negara atas dompet warganya. Efeknya, bukan tidak mungkin sebagian orang justru menghindari perbankan formal, memindahkan transaksi ke jalur informal atau tunai demi merasa lebih bebas.

Pengalaman negara lain bisa menjadi cermin. Singapura, misalnya, berhasil membangun sistem integrasi pembayaran dan data keuangan tanpa memicu paranoia publik. PayNow di sana hanya berfungsi sebagai alamat pembayaran, sedangkan agregasi data dilakukan lewat SGFinDex dengan enkripsi ketat dan persetujuan aktif pengguna.

Untuk urusan pencegahan pencucian uang, Negeri Singa itu menggunakan COSMIC, platform khusus berbagi data antar-bank, yang fokus pada transaksi berisiko tinggi saja. Semua itu berjalan di bawah kerangka hukum yang jelas, Payment Services Act dan Personal Data Protection Act, yang membatasi ruang gerak otoritas maupun pelaku industri.

Jika Indonesia ingin Payment ID diterima, prinsip yang sama perlu diadaptasi. Fungsinya harus dipisah, Payment ID sebagai alamat pembayaran, dan pengumpulan data profil keuangan dilakukan di kanal berbeda. Mekanisme persetujuan pengguna harus nyata, bukan sekadar pasal di peraturan. Uji coba sebaiknya dimulai dari skenario terbatas seperti bansos, dengan evaluasi terbuka yang melibatkan publik. Dan yang terpenting, sanksi tegas bagi penyalahgunaan data harus menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ini.

Namun, semua rancangan itu tak akan berarti tanpa komunikasi publik yang tepat. Kelemahan BI justru ada di sini, penjelasan yang setengah matang, klarifikasi yang datang belakangan, dan cara menyampaikan yang memicu lebih banyak tanda tanya ketimbang rasa percaya.

Setelah kejadian rekening diblokir karena dormant, jarak psikologis antara masyarakat dan sistem perbankan makin melebar. Jika pola ini berulang, Payment ID berisiko lahir bukan sebagai simbol kemajuan, melainkan penanda semakin pudarnya rasa percaya pada lembaga keuangan.

@IndoTelko