Blokir rekening tidur dan retaknya kepercayaan publik

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) belum lama ini membuat gebrakan yang meresahkan publik yakni memblokir 1,22 juta rekening dormant atau tidak aktif.

Langkah ini disebut sebagai bagian dari strategi besar memberantas judi online (judol) yang menggerogoti sendi-sendi ekonomi masyarakat.

Tak berhenti di situ, PPATK juga mewacanakan langkah serupa untuk e-wallet dormant, dengan alasan modus kejahatan finansial kini semakin kreatif memanfaatkan celah teknologi.

Kebijakan ini banyak yang mempertanyakan logikanya. Di berbagai lini masa, muncul komentar sinis, bukankah rekening yang dipakai untuk judol justru aktif bertransaksi? Mengapa yang diblokir justru rekening pasif?

Dari sisi regulasi, rekening dormant umumnya didefinisikan sebagai rekening tanpa transaksi dalam jangka waktu tertentu, biasanya 6 hingga 12 bulan, dan perbankan memiliki prosedur khusus untuk mengelolanya.

Rekening seperti ini memang bisa dimanfaatkan pelaku kejahatan, misalnya sebagai “rekening cangkang” untuk menampung dana hasil judi sebelum dipindahkan, atau sebagai jalur layering dalam pencucian uang. Namun, penggunaan tersebut relatif kecil dibanding arus transaksi yang sangat aktif di rekening operasional pelaku.

Yang membuat publik kian bertanya-tanya adalah absennya data rinci. Dari 1,22 juta rekening yang diblokir, berapa persen yang terverifikasi terkait aktivitas judol? Berapa total nilai dana yang ikut terdampak? Tanpa angka ini, langkah sweeping massal terkesan seperti mengayun pedang tanpa tahu arah.

Efek ke industri perbankan pun terasa. Di beberapa daerah, terdengar kabar gejala “rush” kecil-kecilan, ketika sebagian nasabah menarik dana mereka karena khawatir rekeningnya tiba-tiba dibekukan.

Jika dibiarkan, keresahan ini bisa merembet ke sektor keuangan digital yang selama ini berjuang membangun kepercayaan publik. Data Asosiasi Fintech Indonesia tahun lalu menunjukkan bahwa 67% pengguna dompet digital masih menyimpan kekhawatiran soal keamanan dana. Kebijakan yang terburu-buru justru bisa mempertebal rasa waswas ini.

Sebenarnya jika kita menggunakan perspektif dari PPATK, sepertinya lembaga ini resah menghadapi fenomena di mana jaringan judol memanfaatkan rekening tidur yang dibeli murah di pasar gelap, kemudian diaktifkan kembali sebagai penampung dana. Dalam kerangka ini, sweeping bisa dianggap langkah preventif untuk memutus salah satu simpul jaringan. Namun, jika pendekatan ini tidak dibarengi penyaringan berbasis intelijen keuangan yang akurat, risiko “collateral damage” pada nasabah patuh menjadi tinggi.

Praktik di negara lain menunjukkan pendekatan berbeda. Singapura, misalnya, lebih fokus pada penguatan verifikasi identitas, real-time transaction monitoring, dan kerja sama lintas bank untuk mendeteksi pola anomali. Mereka tidak membekukan rekening massal tanpa pembuktian langsung keterkaitannya dengan tindak pidana. Model ini membuat operasi penegakan hukum lebih presisi, sekaligus menjaga kepercayaan publik.

Di Indonesia, sesuai Undang-undang kewenangan pemblokiran rekening ada pada aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan, dengan koordinasi bersama PPATK. PPATK memegang peran analisis dan rekomendasi, sementara eksekusi blokir semestinya dilakukan lewat mekanisme hukum yang jelas, transparan, dan dapat diuji publik.

Seharusnya kebijakan memerangi kejahatan finansial berlandaskan prinsip targeted enforcement yakni data valid, verifikasi berlapis, dan perlindungan hak nasabah patuh. Pemerintah dan otoritas keuangan bisa memperkuat KYC (Know Your Customer), membangun sistem deteksi dini transaksi mencurigakan, dan memperluas kerja sama antar-lembaga sebelum melangkah ke pembekuan massal.

Tikus memang harus diburu, tapi membakar lumbung hanya akan membuat seluruh negeri kelaparan.

@IndoTelko