Medsos dalam pusaran pajak, pembatasan akun, hingga monopoli monetisasi

Dalam waktu kurang dari sepekan, jagat digital Indonesia digemparkan oleh tiga isu penting yang tampaknya datang dari arah berbeda, namun sesungguhnya terhubung dalam satu benang merah yakni penguasaan atas media sosial.

Dimulai dari YouTube. Per 15 Juli 2025, platform milik Google itu memperketat aturan monetisasi. Istilah “konten berulang” diganti menjadi “konten tidak autentik”, dan dampaknya tak main-main. Kreator yang mengunggah video dengan sulih suara AI, kompilasi dari konten orang lain tanpa narasi, atau slideshow dengan teks monoton, kini tak bisa lagi masuk program bagi hasil. YouTube menuntut konten yang benar-benar orisinal, dengan kontribusi manusia yang nyata.

Kebijakan ini memicu perdebatan. Di satu sisi, ada dorongan untuk menjaga integritas konten di tengah banjir video repetitif. Namun di sisi lain, YouTube makin memperlihatkan perannya sebagai pemegang otoritas tunggal atas siapa yang layak mendapat penghasilan dan siapa yang tidak. Kreator dipaksa menyesuaikan diri dengan logika algoritma, tanpa ruang untuk banding yang adil. Bagi sebagian orang, ini bukan lagi soal kualitas, tapi soal dominasi sistem terhadap mata pencaharian.

Belum reda soal YouTube, publik dikejutkan oleh kabar dari Direktorat Jenderal Pajak. DJP mengonfirmasi penggunaan teknologi crawling untuk memindai unggahan di media sosial. Foto kendaraan mewah, gaya hidup mewah, hingga endorsement terselubung, kini berpotensi dijadikan dasar analisis kepatuhan pajak. Pajak yang dulu mengejar transaksi, kini masuk ke dimensi ekspresi.

Alasannya jelas, negara ingin menggali potensi penerimaan dari sektor digital yang terus tumbuh. Namun pendekatan ini menyisakan pertanyaan hukum dan etika. Apakah unggahan publik otomatis sah untuk dipakai menilai kewajiban pajak? Apakah gaya hidup digital setara dengan bukti formal? Di tengah maraknya tuntutan atas privasi digital, strategi fiskal seperti ini terasa makin jauh dari prinsip perlindungan data pribadi.

Tak berhenti di situ, Komisi I DPR turut menyumbang kontroversi. Usulan untuk melarang kepemilikan akun kedua di media sosial mulai digulirkan. Alasannya: akun ganda rawan disalahgunakan untuk menyebar hoaks, ujaran kebencian, hingga propaganda politik. Solusinya, menurut sebagian anggota DPR, adalah membatasi warga memiliki satu akun resmi untuk menjaga keteraturan ruang digital.

Usulan ini menuai kritik luas. Akun kedua tidak selalu identik dengan niat buruk. Banyak digunakan untuk memisahkan urusan pribadi dan profesional, menjaga keamanan pribadi, hingga mendukung kelangsungan bisnis kreatif. Justru dalam banyak kasus, identitas digital yang terpecah adalah bagian dari adaptasi warga terhadap algoritma dan kebutuhan sosial.

Tiga isu ini memperlihatkan arah yang sama: ruang digital, khususnya media sosial, tengah menjadi medan perebutan kuasa—antara kepentingan komersial platform, kepentingan fiskal dan politik negara, dan hak-hak sipil warga digital. Dan sejauh ini, warga adalah pihak paling lemah dalam negosiasi ini.

Di negara-negara seperti Jerman atau Prancis, hak atas ruang digital dilindungi melalui regulasi seperti Digital Services Act (DSA) dan General Data Protection Regulation (GDPR). Platform wajib menjelaskan keputusan algoritma mereka, sementara negara dibatasi ketat dalam menggunakan data warga, bahkan untuk tujuan pajak. Kreator di sana memiliki hak untuk tahu, membantah, dan memperjuangkan penghidupannya secara adil.

Indonesia sejatinya punya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tetapi penerapannya belum sungguh-sungguh berjalan. Ketika unggahan di media sosial bisa dianalisis bebas untuk keperluan fiskal, atau ketika akun bisa dilarang tanpa proses hukum, UU ini seperti tak punya gigi.

Media sosial hari ini bukan lagi taman bermain bebas, melainkan ruang publik digital yang dipagari oleh tembok kekuasaan negara dan pagar algoritmik milik platform. Warga tidak lagi sepenuhnya punya kendali. Platform bisa mencabut penghasilan hanya karena video dianggap “tidak cukup autentik”. Negara bisa mengintip unggahan untuk menilai kelayakan pajak. Dan kini, bahkan hak untuk memiliki akun kedua pun mulai dipertanyakan.

Jika kekuasaan negara dan korporasi teknologi terus bertumbuh tanpa kontrol publik, kita bukan lagi pengguna, melainkan pengikut di tanah digital yang dulu kita kira merdeka.

Pertaruhannya bukan sekadar konten atau akun. Tapi masa depan kebebasan sipil di ruang digital.

Karena pertanyaannya hari ini bukan lagi siapa yang paling banyak followers-nya, tetapi siapa yang benar-benar memiliki ruang digital ini, kita, negara, atau mesin algoritma?

@IndoTelko