Sudah lebih dari satu dekade Indonesia menerapkan kebijakan registrasi kartu SIM prabayar.
Sejak pertama kali dikenalkan pada 2005, lalu diperketat dengan validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK) pada 2017, pemerintah tak henti-hentinya melakukan revisi aturan demi alasan keamanan digital.
Terbaru, muncul wacana pembatasan jumlah nomor maksimal tiga per NIK untuk tiap operator.
Wacana ini tentu memunculkan diskusi di ranah publik. Tak hanya dari pelanggan yang merasa dibatasi, tetapi juga dari para pelaku industri telekomunikasi, terutama operator besar dan retailer kartu perdana.
Di tengah maraknya kejahatan siber dan penipuan daring, pemerintah memang punya argumen kuat untuk menata ulang tata kelola SIM card. Namun, masalah utamanya tetap sama, mengapa setiap pejabat baru selalu datang dengan regulasi baru hanya untuk mengulang pola yang gagal di masa lalu?
Masalah Lama
Jika menelusuri rekam jejak kebijakan registrasi SIM di Indonesia, pola kegagalan yang berulang ini bukan sesuatu yang mengejutkan.
Sejak awal, fondasi regulasi ini memang rapuh.
Sistem validasi data kependudukan, misalnya, belum sepenuhnya akurat meski sudah terhubung dengan Dukcapil. Banyak kasus penyalahgunaan NIK tetap terjadi karena lemahnya autentikasi dan perlindungan data pribadi.
Di sisi lain, praktik penjualan kartu SIM secara massal oleh retailer masih marak di lapangan. Kartu perdana siap pakai dijual bebas, bahkan secara online, tanpa kontrol berarti.
Tantangan lainnya datang dari perilaku konsumen Indonesia sendiri yang memang terbiasa menggunakan banyak nomor sekaligus. Dalam ekosistem digital, wajar jika seseorang memiliki beberapa kartu untuk mengoptimalkan promo paket data, mengatasi masalah sinyal di berbagai lokasi, atau sekadar memisahkan nomor pribadi dan bisnis.
Masalahnya, operator dan retailer pun selama ini ikut diuntungkan oleh situasi tersebut. Penjualan kartu perdana menjadi sumber pendapatan yang signifikan, sehingga mereka cenderung setengah hati dalam mendukung pengetatan kebijakan. Di sisi lain, literasi digital masyarakat juga masih rendah. Tak banyak yang paham risiko penyalahgunaan identitas atau pentingnya perlindungan data pribadi, sehingga kebijakan registrasi selalu dianggap merepotkan.
Ketika semua faktor itu digabungkan, kita bisa memahami kenapa setiap kali kebijakan ini diperketat, reaksi penolakan hampir selalu muncul, dan masalah dasarnya tak kunjung terselesaikan.
Risiko Finansial
Namun, berbeda dengan sebelumnya, wacana pembatasan satu NIK untuk tiga nomor ini berpotensi membawa dampak finansial yang jauh lebih besar bagi operator besar di Indonesia. Terutama karena struktur bisnis telekomunikasi kita yang masih sangat bergantung pada pelanggan prabayar.
Telkomsel, misalnya, menghadapi risiko penurunan pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) yang cukup besar. Banyak pelanggan Telkomsel yang memanfaatkan multi-SIM untuk menikmati paket data murah atau promo bundling. Jika kebijakan ini diterapkan, ruang manuver tersebut akan menyempit.
Di sisi lain, biaya kepatuhan yang harus ditanggung operator juga tak sedikit. Penguatan sistem verifikasi, integrasi biometrik, hingga pembaruan infrastruktur backend menjadi beban baru yang mau tak mau harus mereka tanggung. Walaupun Telkomsel relatif lebih siap karena basis pelanggan pascabayar mereka cukup kuat, tetap saja potensi kerugian ini tidak bisa diabaikan.
Ancaman yang lebih besar justru menghantui Indosat Ooredoo Hutchison (IOH). Sebagai operator dengan basis pelanggan menengah ke bawah yang sangat sensitif terhadap harga, IOH bisa kehilangan banyak pelanggan yang selama ini mengandalkan kartu perdana murah. Risiko perpindahan pelanggan atau churn sangat tinggi, apalagi jika proses registrasi menjadi rumit. Biaya kepatuhan di tengah proses transformasi digital pasca-merger juga menjadi tantangan tersendiri.
Sementara itu, entitas baru hasil merger, XLSmart, menghadapi dilema ganda. Di satu sisi, mereka harus menata ulang seluruh infrastruktur registrasi yang sebelumnya berbeda antara XL Axiata dan Smartfren. Di sisi lain, segmen pasar mereka sangat bergantung pada pelanggan data prabayar di luar Jawa yang akrab dengan kartu sekali pakai. Risiko kehilangan pelanggan di segmen ini tak bisa dianggap remeh, apalagi ketika mereka tengah fokus menstabilkan kinerja pasca-merger.
Efek Domino
Dampak kebijakan ini juga bisa merembet ke sektor lain, khususnya eCommerce dan layanan digital.
Di Indonesia, nomor ponsel masih menjadi tulang punggung verifikasi akun di berbagai platform, mulai dari marketplace, layanan transportasi daring, hingga dompet digital. Jika akses terhadap nomor baru dibatasi, proses onboarding pelanggan baru di sektor digital bisa tersendat.
Bagi para pelaku usaha kecil yang bergantung pada banyak nomor untuk mengelola toko daring atau melakukan promosi, pembatasan ini jelas menjadi hambatan. Mereka bisa kehilangan fleksibilitas yang selama ini dinikmati dalam menjalankan bisnis berbasis nomor ponsel.
Namun, di balik potensi hambatan ini, ada peluang baru yang bisa dimanfaatkan. Pembatasan ini, jika diterapkan dengan bijak, bisa mendorong adopsi layanan digital yang lebih aman seperti eSIM atau nomor virtual. Operator bisa memanfaatkan momentum ini untuk menawarkan produk berbasis identitas digital yang lebih stabil, sekaligus mendorong masyarakat beralih ke layanan pascabayar atau bundling data dengan verifikasi yang lebih kuat.
Sayangnya, peluang itu tak akan datang otomatis. Tanpa strategi adaptasi yang matang dari operator, kebijakan ini justru lebih mungkin memicu gelombang resistensi besar-besaran.
Menghindari Masalah
Melihat siklus revisi kebijakan registrasi SIM di Indonesia selama satu dekade terakhir, kita bisa menyimpulkan satu hal: terlalu banyak energi habis untuk mengutak-atik teknis aturan, tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya.
Batasan jumlah nomor, kewajiban registrasi biometrik, atau ancaman blokir layanan memang penting. Namun, tanpa reformasi menyeluruh pada sistem distribusi kartu perdana, perubahan model bisnis operator, dan peningkatan literasi digital, semua kebijakan itu hanya akan menjadi siklus yang berulang.
Persoalan ini bukan sekadar tentang jumlah nomor SIM yang boleh dimiliki, tetapi tentang keseriusan kita membenahi fondasi sistem telekomunikasi nasional.
Jika ingin bicara terus terang, kebijakan registrasi SIM card di Indonesia selama ini tak ubahnya seperti menambal pagar bocor tanpa pernah memperbaiki fondasi pagar itu sendiri. Setiap kali muncul celah baru, kita buru-buru menambalnya, tanpa menyadari bahwa akar masalah justru ada di fondasi yang sudah rapuh.
Selama masalah di tingkat retail, bisnis kartu perdana, dan rendahnya literasi digital tidak dibenahi, kita hanya akan terus sibuk menambal, tanpa pernah menyelesaikan masalah sebenarnya.
Jika pemerintah benar-benar serius, inilah saatnya meninggalkan pendekatan tambal sulam dan mulai membangun fondasi baru yang kokoh.
Jika tidak, besar kemungkinan lima atau sepuluh tahun ke depan, kita akan kembali membahas revisi kebijakan SIM card, dengan masalah yang sama, hanya dibungkus dengan istilah yang berbeda.
@IndoTelko