Pemerintah ingin punya AI berdaulat dan inklusif

JAKARTA (IndoTelko) — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan komitmennya untuk membangun ekosistem kecerdasan artifisial (AI) yang berdaulat, inklusif, dan etis, demi memastikan teknologi ini membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas, bukan sekadar menjadikan Indonesia sebagai pasar.

Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyatakan pentingnya pengembangan AI yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, khususnya dalam menjawab kesenjangan digital di wilayah 3T.

“Kami ingin setiap teknologi yang dikembangkan membawa manfaat langsung, bukan hanya sekadar proyek. Peluncuran Indosat AI Experience Center di Jayapura adalah contoh konkret kolaborasi pemerintah dan swasta untuk kesetaraan akses,” kata Meutya.

Ia juga mengapresiasi peluncuran platform Sahabat AI oleh Indosat yang dinilai ramah pengguna dan bisa menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Meutya mendorong agar inisiatif seperti ini terus dikembangkan dalam skema sovereign AI factory.

“Indonesia sudah berada di langkah untuk memimpin. Bersama operator, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lainnya, kami yakin dapat mempersempit kesenjangan pengembangan AI,” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria menekankan pentingnya kedaulatan digital dalam strategi AI nasional.

Menurutnya, Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar atau pengguna, tetapi harus menjadi bagian dalam rantai nilai global AI.

“Foundation model AI saat ini dibangun dengan nilai-nilai dari negara asalnya, terutama Barat. Tanpa intervensi dari kita sendiri, AI bisa membawa bias nilai yang tidak sesuai dengan konteks Indonesia,” kata Nezar.

Nezar menyoroti perlunya ekosistem nasional yang kuat, mulai dari riset dan pengembangan (R&D), komputasi, regulasi, hingga peningkatan kualitas SDM digital. Saat ini, anggaran R&D Indonesia baru 0,24% dari GDP, angka yang dinilainya masih jauh dari memadai.

Ia juga menyampaikan bahwa Indonesia memiliki modal strategis, seperti sumber daya alam penting untuk industri semikonduktor dan AI global — termasuk nikel dan boron. Namun, hingga kini belum ada desain besar nasional untuk menempatkan kekayaan tersebut sebagai bagian dari bargaining power Indonesia di ekosistem AI global.

“Kalau tidak dibarengi pusat riset dan komputasi nasional yang kuat, kita akan tertinggal. Kita butuh infrastruktur, talenta digital, dan perencanaan matang,” tegas Nezar.

Dalam hal regulasi, Indonesia kini menjadi negara pertama di ASEAN yang menyelesaikan dokumen Readiness Assessment Methodology for AI (RAM-AI), yang dijadikan rujukan oleh beberapa negara lain.

“Regulasi AI harus berorientasi pada etika yang adaptif terhadap inovasi, tapi juga mampu melindungi nilai-nilai lokal dan mencegah risiko seperti disinformasi dan deepfake,” tambahnya.

Nezar juga menyampaikan bahwa ekonomi digital ASEAN diperkirakan mencapai US$1 triliun pada 2030, dan Indonesia menyumbang sekitar US$366 miliar dari proyeksi tersebut.

“Dengan 280 juta penduduk, Indonesia memegang posisi strategis untuk memimpin arah digital ASEAN,” tegasnya.

Ia menutup dengan menyatakan bahwa transformasi digital tidak bisa dilihat sektoral. “Geopolitik, keamanan, ekonomi, pendidikan, dan perlindungan budaya lokal adalah satu ekosistem digital yang saling terkunci. Tidak bisa dipisahkan,” tutupnya.(ak)