Wacana kenaikan tarif ojek online (ojol) kembali mengemuka. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana menaikkan tarif sebesar 8% hingga 15%.
Alasan pemerintah mengambil langkah ini untuk menyesuaikan tarif dengan inflasi, harga bahan bakar, dan kebutuhan hidup pengemudi.
Namun, di balik wacana ini, ada persoalan besar yang justru luput dari perhatian.
Selama bertahun-tahun, setiap perdebatan soal tarif ojol selalu berputar di angka—berapa persen kenaikan yang ideal, seberapa besar tarif minimum yang layak, atau berapa rupiah biaya per kilometer yang tepat.
Nyatanya, sejak ojek online hadir di Indonesia pada pertengahan 2010-an, perdebatan semacam ini tak pernah benar-benar menyentuh akar masalah.
Model bisnis aplikator yang menempatkan pengemudi sekadar sebagai “mitra” tanpa ikatan kerja tetap menciptakan jurang ketimpangan yang lebar.
Kenaikan tarif sering kali tak berbanding lurus dengan peningkatan penghasilan pengemudi.
Di atas kertas, tarif memang naik. Namun, di lapangan, aplikator bisa mengatur ulang skema insentif atau menyesuaikan algoritma agar dampaknya terhadap driver tak terlalu besar. Pada akhirnya, pengemudi kembali menjadi pihak yang paling dirugikan.
Sejak pemerintah menerapkan regulasi tarif ojek online lewat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019, persoalan ini tak kunjung tuntas.
Kebijakan itu menetapkan tarif batas bawah dan atas berdasarkan zonasi wilayah. Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Potongan komisi aplikator tetap tinggi, bisa mencapai 20%. Di saat yang sama, biaya operasional seperti bensin, cicilan kendaraan, dan perawatan terus meningkat.
Pengalaman dalam sepuluh tahun terakhir seharusnya cukup untuk membuktikan bahwa menaikkan tarif semata tak cukup menyelesaikan persoalan.
Sebab, yang lebih menentukan bukan hanya tarif, melainkan bagaimana keuntungan itu dibagi. Tanpa pengaturan komisi yang adil dan transparansi skema algoritma, pengemudi tetap akan terus terjepit, tak peduli berapa pun tarif yang ditetapkan.
Jika butuh contoh konkret, Singapura bisa menjadi rujukan yang menarik. Di negara itu, pemerintah melalui Land Transport Authority (LTA) dan Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS) mengatur industri ride-hailing dengan ketat.
Potongan komisi oleh aplikator dibatasi maksimal 10% hingga 12%. Lebih penting lagi, Singapura juga menerapkan tarif dasar minimum atau fare floor yang wajib dipenuhi oleh aplikator. Skema ini memastikan setiap pengemudi mendapatkan pendapatan minimum yang layak.
Bukan itu saja. Singapura mewajibkan aplikator membuka data secara transparan, termasuk soal algoritma yang mengatur distribusi order dan skema insentif. Dengan pengawasan seperti ini, setiap perubahan tarif langsung berdampak adil bagi pengemudi, karena aplikator tidak bisa sembarangan mengutak-atik sistem.
Di Indonesia, situasinya justru berkebalikan. Kenaikan tarif sering dijadikan alasan untuk mengerek harga layanan, tetapi tanpa diimbangi pengawasan pada perilaku aplikator.
Alhasil, aplikator tetap diuntungkan, sementara pengemudi hanya menerima imbas kenaikan biaya hidup tanpa jaminan peningkatan pendapatan.
Terjebak
Kita sudah terlalu lama terjebak di angka. Perdebatan soal tarif ojek online tak seharusnya berhenti di angka rupiah per kilometer. Sudah waktunya pemerintah berani menyentuh akar persoalan, yakni ketimpangan model bisnis di industri ini.
Langkah pertama yang paling mendesak adalah membatasi potongan komisi aplikator secara tegas, idealnya maksimal di kisaran 10% hingga 12% seperti di Singapura.
Pemerintah juga perlu mewajibkan aplikator membuka skema algoritma dan insentif secara transparan. Tanpa keterbukaan, pengemudi akan terus berada dalam posisi paling rentan.
Selain itu, regulasi tarif minimum sebaiknya disusun berbasis kajian menyeluruh yang melibatkan semua pihak: pemerintah, aplikator, asosiasi pengemudi, hingga akademisi. Dengan begitu, kebijakan yang dihasilkan benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar angka.
Naiknya tarif ojol mungkin bisa memberikan angin segar jangka pendek bagi pengemudi. Namun, jika model bisnis aplikator tidak diubah, persoalan ini hanya akan kembali berulang. Solusi sejati bukan sekadar menaikkan tarif, melainkan memastikan ekosistem ride-hailing berbasis keadilan dan transparansi.
Merevisi tarif ojek online memang penting. Tapi, yang jauh lebih penting adalah memastikan nilai ekonomi yang dihasilkan dibagi secara adil bagi semua yang terlibat di bisnis ini.
@IndoTelko