Ilusi fiskal dalam pajak eCommerce

Pemerintah kembali mengapungkan ide melakukan pemungutan pajak bagi pedagang di eCommerce. Isu ini sebenarnya bukan barang baru.

Pada 2018, Kementerian Keuangan pernah menerbitkan PMK 210/2018 yang mewajibkan marketplace memotong Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% dari omzet pedagang.

Namun, regulasi itu ditangguhkan karena resistensi kuat dari pelaku UMKM digital dan belum siapnya infrastruktur perpajakan berbasis data saat itu.

Kini, narasi itu muncul kembali dalam situasi fiskal yang berbeda. Penerimaan pajak negara sedang tertekan.

Data terakhir menunjukkan bahwa realisasi pajak hingga Mei 2025 menurun lebih dari 11% dibanding tahun sebelumnya.

Di sisi lain, sektor digital, khususnya eCommerce, terus tumbuh melampaui sektor konvensional. Gross merchandise value (GMV) eCommerce nasional diperkirakan mencapai Rp1.400 triliun tahun ini. Angka itu tampak menjanjikan untuk didekati sebagai objek pajak baru. Bahkan ada sejumlah pengamat menyebut potensi nilai pajaknya bisa tembus Rp10 triliun per tahun.

Menyesatkan
Namun di sinilah letak kekeliruan banyak kalkulasi yang beredar. GMV bukanlah omzet pedagang, apalagi laba.

Ia hanya menunjukkan nilai bruto transaksi, termasuk transaksi antar-reseller, akun dropshipper, atau penjualan fiktif yang tidak menghasilkan nilai tambah.

Artinya, menjadikan GMV sebagai proyeksi penerimaan pajak sangat berisiko menyesatkan kebijakan.

Simulasi moderat menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% hingga 20% dari GMV yang layak dianggap sebagai omzet riil pelaku usaha yang bisa dikenai pajak.

Bila asumsi ini dikombinasikan dengan struktur tarif yang berlaku, yakni PPh final 0,5% bagi UMKM dan PPh umum (sekitar 15% dari laba) bagi non-UMKM, maka potensi fiskal riil dari sektor ini hanya berkisar antara Rp 1 hingga Rp2,5 triliun per tahun.

Angka ini jauh dari klaim bombastis, tapi tetap masuk akal dan layak dioptimalkan.

Tidak Mudah
Tentu implementasi kebijakan ini tidak akan mulus. Marketplace sebagai pemungut harus mampu memverifikasi status perpajakan seller, menghitung pungutan secara akurat, dan menyetor ke kas negara.

Bagi platform dengan jutaan merchant aktif, tugas ini membutuhkan sistem backend yang canggih dan kepastian regulasi yang detail.

Di sisi lain, mayoritas pelapak di platform saat ini masih beroperasi secara informal dimana tidak punya NPWP, tidak menyusun pembukuan, dan minim literasi perpajakan.

Langkah pemungutan yang tiba-tiba tanpa sosialisasi dan segmentasi justru berisiko memicu eksodus merchant ke jalur informal atau platform lintas negara yang tidak dapat dijangkau otoritas domestik.

Di tengah kompleksitas itu, perlu kehati-hatian. Indonesia belum punya preseden dalam hal ini, dan negara-negara ASEAN pun belum banyak yang sukses.

Singapura dan Malaysia fokus pada pemungutan pajak atas layanan digital asing, bukan pada pedagang lokal.

Thailand dan Filipina baru berada di tahap perumusan. Bila Indonesia tetap melangkah sebagai pionir, maka regulasinya harus adil, adaptif, dan berbasis data riil pelaku usaha.

Ekonomi digital Indonesia memiliki daya ungkit yang besar, tapi salah urus bisa menimbulkan gesekan yang menggerus kepercayaan dan partisipasi.

Pemungutan pajak eCommerce tetap perlu dilakukan sebagai bagian dari reformasi fiskal yang inklusif.

Namun, pendekatan berbasis literasi, segmentasi pelaku usaha, dan kemitraan dengan platform digital harus menjadi fondasi utama.

Jangan sampai keinginan menambal defisit anggaran justru menciptakan kegaduhan di ruang digital yang tidak perlu.

@IndoTelko