Mencari keadilan bagi babang ojol

Ribuan pengemudi ojek online, yang dikenal sebagai abang ojek line (Babang Ojol), menggelar aksi unjuk rasa dengan tajuk “Aksi 205” di berbagai lokasi strategis di Jakarta, seperti Kantor Kementerian Perhubungan, Istana Merdeka, DPR RI, dan kantor perusahaan penyedia layanan aplikasi.

Aksi demonstrasi massal ini menjadi puncak dari rasa frustrasi dan kekecewaan para driver terhadap kebijakan pemotongan pendapatan yang dilakukan oleh para aplikator, yang mereka anggap sangat merugikan dan tidak adil.

Salah satu isu utama yang diangkat adalah dugaan pelanggaran terhadap Kepmenhub KP No. 1001 Tahun 2022 yang menetapkan batas maksimal potongan aplikasi sebesar 20%.

Secara rinci tuntutan dari babang ojol yaitu:
- Sanksi tegas kepada aplikator yang melanggar regulasi pemerintah.
- DPR RI melalui Komisi V mengadakan rapat dengar pendapat gabungan bersama Kemenhub, asosiasi, dan aplikator.
- Potongan aplikasi diturunkan dari 20% menjadi maksimal 10%.
- Revisi tarif penumpang dan penghapusan skema harga seperti “aceng, slot, hemat, prioritas”.
- Penetapan tarif layanan makanan dan kiriman barang melibatkan asosiasi, regulator, aplikator, dan YLKI.

Bagi aplikator, jika penurunan potongan aplikasi menjadi kurang dari 10% berdampak pada ekosistem transportasi online karena akan sulit untuk inovasi.

Aplikator juga berdalih dana potongan itu dialokasikan untuk keselamatan melalui pembiayaan asuransi bagi mitra pengemudi maupun penumpang. Penggunaan lainnya, yaitu untuk program bantuan operasional bagi pengemudi ojol.

Mencari Keadilan
Para pengemudi menuntut satu hal sederhana: keadilan. Mereka merasa praktik bisnis perusahaan aplikasi ride-hailing seperti Gojek dan Grab kian memberatkan dan tidak transparan.

Potongan komisi dari tiap perjalanan kerap kali melebihi batas maksimal yang ditetapkan regulasi, yaitu 20%. Bahkan, banyak pengemudi melaporkan potongan aktual bisa mencapai 25% hingga 30%—bahkan lebih—karena adanya biaya tambahan tersembunyi seperti biaya layanan, biaya administrasi, dan skema promosi yang dibebankan secara sepihak.

Sebagai ilustrasi, jika seorang pengemudi menyelesaikan perjalanan dengan tarif Rp 50.000, secara logis ia seharusnya menerima Rp 40.000 jika mengikuti potongan 20%. Namun kenyataannya, ia hanya menerima sekitar Rp 35.000 atau bahkan lebih rendah karena potongan tambahan yang tidak pernah dijelaskan secara terbuka. Pendapatan ini jelas tidak sebanding dengan biaya operasional harian seperti bahan bakar, perawatan kendaraan, dan risiko kerja di lapangan.

Masalah utama bukan hanya besarnya potongan, tetapi juga minimnya transparansi dan lemahnya perlindungan hukum. Sebagai pekerja informal, para pengemudi tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial, asuransi, atau mekanisme pengaduan yang adil. Mereka juga tidak dilibatkan dalam penentuan skema tarif dan tidak diberi informasi cukup mengenai struktur biaya yang dikenakan. Praktik ini mencederai prinsip dasar hubungan kerja yang adil.

Kondisi ini tentu tidak unik di Indonesia, tetapi respons pemerintah kita masih tertinggal dibanding negara lain.

Di Inggris, misalnya, pengemudi Uber dinyatakan sebagai “workers” oleh Mahkamah Agung dan berhak atas upah minimum, cuti berbayar, serta perlindungan kerja. Di Australia, pemerintah New South Wales memberikan hak negosiasi tarif dan data transparan kepada pengemudi. Di Amerika Serikat, kota-kota seperti Minneapolis mulai menerapkan upah minimum per mil dan menit untuk layanan ride-hailing.

Indonesia bisa belajar dari langkah-langkah ini. Pertama, perlu ada revisi regulasi yang menegaskan batas maksimum potongan dan memperjelas elemen biaya dalam sistem tarif.

Kedua, perusahaan aplikator harus diwajibkan menyediakan transparansi penuh dalam perhitungan tarif dan potongan. Ketiga, pemerintah perlu memperkuat perlindungan hukum dan jaminan sosial bagi para pengemudi sebagai bagian dari ekosistem ekonomi digital yang berkeadilan.

Perjuangan babang ojol bukan semata soal penghasilan, tetapi juga soal harkat, martabat, dan keadilan.

Mereka adalah tulang punggung mobilitas kota, yang setiap hari berjibaku dengan panas, hujan, dan risiko kecelakaan demi pelayanan masyarakat. Maka sudah sewajarnya negara hadir melindungi mereka, bukan membiarkan mereka bergulat sendirian dengan sistem yang timpang.

Keadilan bukan hanya untuk pemilik modal. Keadilan juga milik mereka yang menggerakkan roda ekonomi dari balik kemudi sepeda motor. Jika industri ride-hailing ingin tumbuh secara sehat, maka fondasinya harus dibangun di atas prinsip keadilan dan keseimbangan antara profit dan kesejahteraan pekerja.

@IndoTelko